"Selamat pagi!" sapa Gendis dengan riang dan suara lantang ketika dia baru saja memasuki tempat kerjanya. Sebuah ruangan yang tak seberapa luas dengan beberapa meja kerja bersekat berbentuk melingkar di tengah ruangan. Sementara di setiap sisi dinding, dipenuhi dengan lemari berkas untuk menyimpan file yang masih diperlukan setiap hari.
Tak hanya Gea saja yang mendongak setelah suara nyaring Gendis menggema, tapi ada Gama juga. Meski pemuda itu hanya sekilas saja memperhatikan kedatangan Gendis, dan setelahnya pria itu kembali menundukkan kepala sibuk dengan berkas di atas meja.
Gendis menuju meja kerjanya yang bersisihan dengan Gea, dan berseberangan dengan Gama. Ada sekitar enam meja kerja yang terdapat di divisi administrasi. Dengan bagiannya masing-masing, Gendis mendapatkan tugas sebagai administrasi penjualan bersama Gea. Sementara Gama dan satu orang lagi sebagai staff administrasi keuangan. Dua sisanya adalah administrasi perkantoran.
"Dis, wajah elu ceria bener pagi ini. Baru menang lotere?" tanya Gea ngasal saja. Pasalnya yang ia tahu, seharian kemarin wajah Gendis yang masam sudah ditekuk saja membuat siapa saja yang melihat langsung ingin menyetrika saking kusutnya.
"Menang lotere gundulmu! Suka heran punya sahabat gesrek macam elu. Maren gue enggak semangat, elu nistain. Sekarang gue ceria masih juga elu ghibahin."
Gea terkekeh. "Habisnya elu plin plan. Bentar wajah elu baikan, bentaran lagi udah macam benang layangan. Kusut, ruwet, amburadul nggak karuan."
Gendis berdecak. "Namanya orang hidup yang macam gini, Ge. Emang elu! lurus-lurus aja kagak ada seru-serunya."
"Makanya itu gue kagak mau nikah. Ngurus hidup sendiri aja udah nggak betah dan pengen muntah, apalagi harus urus anak laki orang yang cuma bikin susah."
"Nggak semua laki bikin susah kali, Ge!"
"Masak sih?"
"Elu kagak tahu aja jika kehidupan pernikahan kek le mineral. Ada manis-manisnya," ucap Gendis terkekeh.
Gea malah menanggapi dengan cebikan. "Bukannya banyak paitnya, ya? Buktinya elu aja suka ngomel-ngomel ngadepin Mas Gilang."
"Ya elah. Kenapa Mas Gilang lagi sih yang elu bahas."
Nggak tahu kenapa bawaannya Gendis lagi malas saja mengingat tentang suaminya. Bahkan sejak semalam hingga detik ini, tidak ada juga konfirmasi dari Gilang. Telepon atau pesan pun tak Gendis dapatkan. Padahal Gendis ingin sekali mendengar penjelasan suaminya. Setidaknya permintaan maaf karena Gilang berada bersama Gita semalam.
"Ehem!" Deheman dengan suara keras, mengehentikan ocehan mulut Gendis dan Gea. Dua wanita itu saling pandang. Mereka cukup tau jika Gama kemungkinan merasa terganggu dengan kebisingan yang telah mereka ciptakan.
Gendis meringis melirik pada Gama yang tanpa ekspresi, bahkan pemuda itu sedang sibuk menatap layar komputernya.
"Elu sih, buruan kerja!"
Gendis melotot pada Gea. Namun, tak lagi ada kata yang keluar dari sela bibirnya. Perempuan itu pun segera menyalakan komputer dan memulai pekerjaannya.
•••
Gilang sungguh sangat lelah. Meeting dengan pimpinan proyek yang dilanjut dengan visit lokasi, membuat energinya terkuras habis. Meski pun demikian, pria itu nampak lega sekali. Setidaknya pekerjaannya telah selesai dan dia bisa segera pulang.
Jujur, Gilang memang sangat merindukan rumah dan juga Gendis tentunya. Namun, pekerjaan yang begitu banyak membuatnya sering meninggalkan sang istri di rumah sendiri.
Gilang bekerja keras seperti ini juga karena ingin menyenangkan istrinya. Jika tabungan mereka sudah cukup banyak, Gilang bahkan berencana untuk mendirikan usaha sendiri. Agar dia tidak lagi jadi pegawai yang bisanya hanya menurut dengan perintah atasannya.
Pria itu tersentak akan lamunan ketika tiba-tiba sebuah tangan menyodorkan minuman kemasan di hadapan wajahnya.
Gilang mendongak, tersenyum ketika melihat sosok Gita yang kini sudah duduk di sampingnya.
"Thanks," ucap Gilang lalu menerima minuman yang Gita berikan. Membuka penutup botolnya, langsung menenggak isinya hingga tandas separuh.
"Kamu jadi pulang nanti malam, Mas?" tanya Gita yang sebenarnya tidak setuju ketika Gilang seolah terburu-buru ingin segera pulang.
"Iya. Kasihan Gendis sering aku tinggal sendirian di rumah."
"Ya salah istrimu sendiri kenapa tak kunjung hamil dan punya anak agar dia tidak kesepian dan tidak sendirian saat kamu tinggal kerja seperti ini."
Perkataan Gita, tidak disetujui oleh Gilang. Bagaimana pun juga apa yang terjadi dalam rumah tangganya, orang lain tidak boleh ikut campur.
"Ini bukan salah Gendis, Git. Lagipula sejak awal kami menikah, kami memang sepakat untuk tidak memiliki anak dulu sebelum punya rumah. Tapi ternyata malah kebablasan. Rumah, mobil sudah kami punya. Sayangnya anak yang kami tunggu belum hadir juga. Belum rejeki mungkin."
Gilang tersenyum kecut mengingat apa yang dulu dia dan Gendis sepakati saat baru saja menikah. Mereka ingin mapan baru memiliki momongan. Namun, rupanya hingga di tahun kelima pernikahan Gendis tak kunjung hamil juga. Bahkan mereka berdua sudah konsultasi dengan beberapa dokter kandungan. Hasilnya, mereka berdua baik-baik saja. Mungkin memang belum rejeki saja.
"Mungkinkah Mbak Gendis mandul," celetuk Gita asal.
"Tidak. Kami berdua baik-baik saja."
"Mas Gilang yakin?"
"Kita sudah periksa ke beberapa dokter kandungan. Hasilnya sama. Di antara kami berdua memang baik-baik saja. Tidak ada yang bermasalah."
"Siapa tahu saja hasil pemeriksaan itu tidak akurat. Mas! apa kamu tak ada keinginan untuk mencoba membuat anak dengan wanita lain? Siapa tahu kamu beruntung dan bisa langsung mendapatkan momongan."
Gilang tersentak kaget dengan ucapan Gita. Bahkan wanita itu memiliki ekspresi wajah yang biasa saja saat mengatakan itu semua.
"Kamu ini bicara apa sih, Git? Ngelantur nggak jelas gitu."
Gita berdecak sebal. Bisa-bisanya Gilang malah mengira dia asal bicara saja.
"Aku nggak ngelantur Mas Gilang. Jika kamu mau ... Aku bersedia jadi kelinci percobaanmu."
Gilang melongo. "Hah?! Maksudmu?"
Gita menatap lurus manik mata Gilang. "Aku suka sama kamu, Mas. Nggak masalah kalau harus jadi istri keduamu sekali pun. Bahkan aku bersedia melahirkan keturunan untuk kamu."
Gilang menelan ludah kasar. Sungguh ini semua diluar dari pemikirannya. Bisa-bisanya Gita yang selama ini baik kepadanya malah mengakui bahwa menyukainya. Yang benar saja.
"Git, ini bukan saatnya kita bercanda. Sudah lah ayo kita balik ke penginapan. Aku belum siap-siap."
Gilang beranjak berdiri. Inginnya meninggalkan Gita yang entah kenapa membuatnya ngeri sendiri. Namun, pergelangan tangan yang dicekal oleh Gita membuatnya menoleh seketika. Jangan ditanyakan lagi bagaimana jantung Gilang yang sudah memompa dengan begitu cepatnya. Dia tidak pernah merasakan hal mendebarkan seperti ini bersama Gita karena selama ini dia hanya menganggap Gita rekan kerja saja. Tidak lebih dari itu. Gilang sendiri juga selama masa pernikahan dengan Gendis selalu berusaha menjadi suami yang setian. Meski sikap Gilang tak bisa seromantis suami-suami pada umumnya.
"Pulang besok saja. Ayo malam ini kita bersenang-senang."