Aku menyukai suamimu, Mbak!
Kata-kata yang kembali terngiang di telinga Gendis. Ingatan perempuan itu terlempar pada kejadian minggu lalu di saat Gilang Ramadhan--sang suami, membawanya pergi ke sebuah acara Family Gathering yang diadakan oleh perusahaan tempat suaminya itu bekerja. Seorang wanita setara usia dengannya yang Gendis tau adalah rekan kerja Gilang, mengatakan sebuah kenyataan yang mengejutkan Gendis tentu saja. Bagaimana Gendis tidak terkejut karena tiba-tiba mendapat pengakuan bahwa Gita menyukai suaminya. Lantas, apakah suaminya juga menyukai Gita? Gendis belum tahu jawabannya karena sejak hari itu hingga sekarang, Gendis belum ada keberanian untuk bertanya langsung dan membahas hal penting ini dengan suaminya. Bukan tanpa sebab jika Gendis masih diam membungkam mulutnya. Itu semua karena Gilang terlalu sibuk dan tak ada waktu berduaan dengannya. Gendis juga tak akan membahas soalan rumah tangga seperti itu hanya sekilas saja. Menurut Gendis, pembahasan seputar kehidupan berumah tangga itu harus dilakukan secara baik-baik dan dalam kondisi hati serta emosi yang baik pula, demi mencari solusi bersama.
Lantas, jika memang faktanya Gilang juga memiliki perasaan yang sama dengan Gita, atau lebih parahnya lagi, sang suami mengakui ada benih-benih perselingkuhan di dalamnya, apa kiranya yang akan Gendis lakukan?
Ya, Tuhan. Pikiran Gendis makin kacau saja ketika lagi-lagi terngiang akan peringatan Gea. Apakah suaminya beneran keluar kota sebab urusan pekerjaan atau yang lainnya?
Rasa curiga makin menghantui hidup Gendis. Tak mau diliputi banyak pertanyaan yang belum ia tahu kebenarannya, perempuan itu gegas meraih ponsel yang ia letakkan asal di atas meja.
Membuka aplikasi pesan yang membuat Gendis mendesah kecewa. Gilang terakhir kali mengirim pesan padanya adalah siang tadi. Bahkan Gendis tak merespon dengan tidak memberikan balasan. Nyatanya, Gilang seolah tidak peduli akan tanggapan Gendis ketika sang istri harus sering ia tinggalkan ke luar kota seperti ini.
Helaan napas panjang keluar dari sela bibir Gendis. Jari jemarinya menekan layar ponsel untuk menelepon Gilang. Harap-harap cemas menanti panggilan yang tak kunjung dapat jawaban.
Hingga di percobaan panggilan yang ketiga, barulah Gilang meresponnya.
"Halo, Dis. Kamu belum tidur?"
Suara Gilang terdengar biasa saja. Tak ada sapaan yang lebih lembut atau hangat lagi. Gendis sudah biasa dengan sikap Gilang yang seperti itu. Lima tahun menikah, sudah cukup bagi Gendis mengenal bagaimana sosok suaminya.
"Gimana aku bisa tidur jika kamunya mendadak ngilang lagi begitu. Aku kesepian Mas di rumah sendirian. Memangnya ada urusan apalagi kamu keluar kota, Mas? Bukankah kamu baru pulang dua hari yang lalu. Masak iya sekarang sudah pergi lagi."
"Dis, aku ini kerja ikut orang. Jika atasan meminta padaku untuk ke lokasi proyek ... meskipun itu ada di luar kota atau luar pulau sekali pun, aku tetap harus berangkat."
"Tapi, Mas ...." Belum sempat Gendis mengungkap protesnya lagi, Gilang sudah menyela.
"Dis, sudah ya. Jangan mengajakku berdebat malam-malam begini. Aku baru aja sampai. Aku lelah dan ingin istirahat. Kamunya malah mengajakku berantem lagi. Capek tahu nggak, Dis!"
Mendengar nada bicara Gilang yang meninggi, Gendis tak mau ribut dan memilih untuk mengalah saja. Ia menghela napas panjang. Mulutnya sudah hendak bersuara ketika indera pendengaran Gendis menangkap suara lain yang berasal dari ponsel suaminya.
"Mas ... aku sudah siapkan air hangatnya. Buruan mandi, nanti keburu malam!"
Ya, itu teriakan perempuan. Siapa gerangan seseorang yang sedang bersama Mas Gilang? Batin Gendis meronta-ronta dan ia pun tak bisa tinggal diam begitu saja mengetahui ada sesuatu yang sedang Gilang sembunyikan darinya.
"Mas! Itu suara siapa? Kamu sedang sama perempuan?" Rentetan pertanyaan langsung Gendis lontarkan akibat rasa penasaran.
"Dis! Sabar dulu. Kamu ini kebiasaan. Jangan suka berpikir yang macam-macam. Itu tadi suara Gita. Kamu kenal Gita, kan?" Dengan enteng Gilang berkata. Tidak tahukah pria itu jika saat ini di tempat yang berbeda, Gendis sedang menahan emosi yang ingin diluapkan.
Bagaimana mungkin Gilang bisa bersikap santai seperti ini. Padahal Gendis sedang dibakar cemburu mengetahui sang suami sedang berduaan bersama wanita lain. Dan itu adalah Gita. Wanita yang menyukai suaminya.
"Kamu sedang berduaan bersama Gita, Mas? Di dalam kamar? Habis ngapain kalian?"
Nada suara Gendis memang terdengar marah. Namun, Gilang tak ingin mendebat apalagi mencari pembenaran. Dia tahu, bicara dengan seorang wanita dalam kondisi emosi akan sia-sia.
"Dis, mari kita bicarakan hal ini saat nanti aku sudah kembali ke rumah. Satu hal yang perlu kamu tahu. Jangan berpikir yang macam-macam apalagi sampai menuduhku selingkuh dengan Gita. Aku dan Gita berada di sini hanya sebab perkejaan. Tidak lebih. Dan apa yang sedang aku lakukan bersama Gita ... itu semua tidak seburuk dengan apa yang kamu pikirkan."
"Mas!" teriak Gendis makin emosi.
"Sudah, Dis. Mas mau mandi. Kamu lekas tidur. Jangan begadang. Bye!"
Gilang sengaja menutup sepihak panggilan teleponnya. Dia tidak mau Gendis memusuhinya sebab soalan Gita. Padahal jelas-jelas dia dan Gita memang sedang tidak melakukan apa-apa.
"Kenapa lagi istrimu?" Dengan tidak merasa bersalah sama sekali Gita bertanya. Wanita itu melipat tangan depan dadaa sembari memperhatikan sosok Gilang yang meraup wajahnya kasar sembari meletakkan ponsel di atas meja.
"Biasa. Salah paham. By the way ... makasih, ya. Maaf sudah merepotkanmu. Aku numpang mandi sebentar. Tubuh ini penat sekali."
Gita mengangguk lalu menyingkir meninggalkan Gilang yang kini masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara itu, Gendis berteriak histeris seorang diri demi membuang kekesalannya. Jangan ditanya lagi apa yang saat ini memenuhi kepalanya. Telinga Gendis masih normal untuk mendengar apa yang tadi Gita katakan. Wanita itu bahkan menyiapkan air untuk mandi Gilang.
Oh, Tuhan! Gendis sungguh takut jika suaminya menentang takdir Tuhan dengan bertindak diluar batas bersama seorang perempuan yang bukan istrinya.
Gendis menghirup napas dalam lalu ia embuskan perlahan. Ia lakukan itu berkali-kali sampai rasa sesak di dalam dadanya sedikit berkurang.
"Baiklah, Mas. Jika memang itu yang kamu inginkan ... terpaksa aku harus ambil tindakan. Aku menyayangimu, Mas. Dan aku tidak mau kamu melakukan dosa besar dengan selingkuh di belakangku." Gendis berkata pada dirinya sendiri.
Mencoba tegar menghadapi apa yang nanti akan terjadi pada kehidupan rumah tangga yang telah ia jalani bersama Gilang Ramadhan selama lima tahun ini.
Mengusap kasar air mata yang tanpa diminta sudah membasahi pipi. Gendis berjanji pada dirinya sendiri bahwa malam ini adalah terakhir kali baginya menangisi sang suami. Setelah ini Gendis harus kuat menghadapi apapun yang akan terjadi.