Di tengah nyenyaknya ia tertidur bahkan mimpi indahnya seolah menjadi kenyataan. Kecupan demi kecupan yang singgah di lehernya juga dekapan hangat seorang pria, membuat Gendis makin menelusupkan wajah di dadaa bidangnya. Rasanya begitu hangat dan nyaman. Belum lagi ketika ia merasakan sentuhan di setiap jengkal kulit tubuhnya, Gendis tak dapat menahan lenguhan serta desahan yang keluar dari sela bibirnya. Matanya mengerjab diiringi dengan deru napas yang memburu mengenai tengkuknya. Mata Gendis terbelalak mendapati Gilang yang kini berada dalam jarak begitu dekat dengannya.
"Mas!"
Gilang tersenyum dengan sangat tampan. Gendis sampai mengerjab-ngerjabkan mata demi meyakinkan diri bahwa apa yang ia lihat sekarang adalah benar suaminya.
"Aku merindukanmu," ucap Gilang, lalu mengecup lembut bibir Gendis.
Perempuan itu hilang kewarasan karena hasrat yang selama berhari-hari tertahan, dapat ia salurkan juga seiring dengan perlakuan lembut dan manis oleh suaminya.
Cahaya mentari pagi yang menyilaukan mata, membuat Gendis kelabakan. Menyingkap asal selimut yang membungkus tubuhnya karena ia kesiangan bangun. Gendis harus lekas pergi kerja jika tidak ingin terlambat nantinya. Namun, tangan kekar yang membelit pinggangnya, membuat Gendis mengernyitkan kening.
'Ya, Tuhan! Bagaimana aku bisa lupa jika semalam Mas Gilang pulang,' ucap Gendis dalam hati.
Kepalanya menoleh ke belakang. Melihat wajah damai suaminya yang masih lelap dalam tidur. Gendis tersenyum mengingat apa yang semalam telah ia lakukan bersama suaminya. Tak ada yang berubah. Masih tetap panas seperti biasanya. Gilang memang bukan tipe suami romantis jika dihadapkan dengan banyak orang. Bisa dikatakan Gilang adalah suami yang dingin dan apa adanya. Tidak pernah memberi perhatian secara berlebihan. Apalagi ucapan serta janji manis yang hampir tak pernah Gilang lakukan. Namun, ada kalanya perbuatan kecil yang dilakukan Gilang, sudah mewakili bentuk kasih sayang serta rasa cinta Gilang untuk Gendis.
Lima tahun berumah tangga, rasa cinta Gendis pada Gilang tak pernah luntur sedikit saja. Namun, semua kasih sayang serta cinta yang Gendis miliki, mulai goyah lantaran pengakuan Gita.
Inginnya Gendis tak menanggapi apapun yang Gita lakukan dan ucapkan. Hanya saja Gendis merasa egois jika dia tetap bersikukuh bahwa rumah tangganya dengan Gilang baik-baik saja.
Soalan anak yang selama ini berusaha untuk tidak Gilang bahas hanya karena ingin menjaga hatinya, patut Gendis pertimbangkan. Siapa yang tidak ingin memiliki keturunan di lima tahun pernikahan. Cobaan yang berat sebenarnya, tapi berusaha Gendis abaikan dan menganggap hal itu bukanlah masalah besar dalam rumah tangganya.
Gendis menundukkan kepalanya, mengecup pipi sang suami sebelum ia turun dari atas ranjang untuk membersihkan diri.
•••
Gendis tau jika hari ini Gilang pasti tidak berangkat ke kantor sebab baru semalam suaminya itu pulang. Oleh sebab itulah, saat dia berangkat kerja sengaja tak membangunkan suaminya. Namun, sebagai seorang istri Gendis tidak melupakan kewajiban untuk menyiapkan makanan. Untung saja di dalam kulkas masih ada persediaan makanan beku seperti ayam ungkep. Sehingga Gendis hanya perlu memasak nasi dan menggoreng lauk. Gilang adalah tipe-tipe suami yang tidak cerewet dan akan melahap makanan apapun yang sudah Gendis siapkan. Jika Gendis tidak memasak, Gilang juga tidak pernah protes. Dengan senang hati akan membeli makanan via online atau pergi keluar membeli makanan.
"Telat lu, Dis? Tumben?" tanya Gea ketika Gendis baru saja mendudukkan tubuhnya di kursi kerja.
"Iya. Telat bangun tadi."
"Mas Gilang udah pulang emangnya?"
"He em," jawab Gendis singkat karena tak mau membahas soalan Mas Gilang lagi. Bukan maksud Gendis untuk melupakan begitu saja tentang Gita. Tidak sama sekali. Gendis tetap akan membahas masalah itu nanti. Dia hanya tidak mau merusak suasana hatinya pagi ini yang lumayan membaik.
"Mau ke mana?" Lagi-lagi Gea bertanya ketika melihat Gendis beranjak berdiri.
"Pantry. Mau ngopi. Elu mau juga?" tawar Gendis yang dijawab Gea dengan gelengan kepala. Karena bangun kesiangan, jadinya Gendis melewatkan ngopi saat di rumah tadi.
Langkah kaki Gendis memasuki area pantry. Namun, wanita itu harus dikejutkan dengan keberadaan sosok laki-laki yang tadi memang tidak ia temui di meja kerjanya.
"Kamu di sini juga, Gam? Pantas tadi di meja kerjamu nggak ada," celetuk Gendis yang menuju rak kabinet. Mengambil cangkir juga kopi sachet di dalamnya.
"Kenapa memangnya Mbak? Perhatian banget sama saya," jawab Gama asal tanpa perlu melihat apa yang sedang Gendis lakukan. Pria itu memilih fokus menikmati kopi dan menggigit roti panggang untuk menu sarapan. Gama sendiri hari ini juga kesiangan sehingga sarapannya saja dipaksa oleh mamanya agar dibawa ke kantor.
Gendis menolehkan kepala ke belakang. Berdecak memperhatikan Gama. Pemuda itu memang misterius. Selain pendiam, jika bicara kadang juga asal sehingga tak jarang mengejutkan lawan bicaranya.
"Memangnya boleh ya jika aku perhatian sama kamu?" Gendis mulai memancing Gama.
Gendis tahu jika Gama juga terkejut mendengar jawabannya. Gendis mencoba menahan tawanya. Siapa dulu tadi yang memulai.
Gama tidak menjawab dan hanya menatap Gendis sekilas sebelum pada akhirnya sibuk mengunyah makanannya.
Gendis duduk di hadapan Gama dengan cangkir kopi di tangan. Memperhatikan cara makan Gama yang tampak terburu-buru.
"Pelan-pelan makannya, Gam. Nanti kesedak. Aku nggak akan minta kok. Tenang aja."
"Meski pun mbak minta, aku nggak akan kasih."
"Dasar pelit."
"Baru tahu jika orang keuangan itu pelit dan selalu penuh perhitungan?"
Gendis berdecak. "Pantas saja sih kamunya kelihatan nggak punya pacar. Pasti kamu pelit dan perhitungan juga kalau punya pacar."
Gama melotot mendengar penghakiman Gendis. Padahal dia mana pernah pelit. Hanya saja memang sengaja Gama tidak mau terlalu royal pada orang lain agar tidak dimanfaatkan oleh mereka.
"Nggak juga. Apa Mbak mau jadi pacar saya biar bisa membuktikan jika saya ini memang pelit atau tidak."
Gendis membulatkan matanya. "Dasar bocah sableng! Bisa-bisanya ngajak pacaran istri orang."
"Karena istri orang lebih menggoda," jawab Gama lalu terkekeh.
"Benar-benar, ya kamu ini! Udah deh, Gam. Bagus-bagus kamu jadi pendiam aja. Daripada banyak bicara bikin pusing kepala."
Gendis beranjak berdiri. "Aku duluan! Kamu juga tuh. Buruan habiskan makanannya."
Gama melirik Gendis yang keluar dari dalam pantry. Kepala pemuda itu geleng-geleng sembari menyunggingkan senyuman. Dalam hati Gama berdecak, 'sayang banget kamu sudah ada yang punya. Jika tidak, sudah aku seret ke KUA kamu, mbak!'
Merutuki diri sendiri yang justru menyukai wanita bersuami. Jangan salahkan Gama, karena sebagai wanita Gendis itu tak hanya cantik di wajahnya saja. Gendis juga baik, suka membantu, kocak, banyak bicara yang akan menghibur semua orang-orang di sekitarnya. Dan Gama bisa-bisanya suka dengan semua yang Gendis punya bahkan sejak ia pertama kali masuk kerja sekitar tiga bulan lalu