Gendis mengangkat pergelangan tangan kanannya. Melihat arloji yang melingkar di sana sudah pukul lima kurang lima belas menit. Biasanya Gendis akan santai saja meski jam pulang kerja sudah mepet. Tapi tidak dengan sekarang. Ada hal yang ingin dia bicarakan dengan sang suami sehingga Gendis harus buru-buru pulang agar ia memiliki banyak waktu lebih berada di rumah bareng suaminya.
Baginya, waktu adalah sangat berharga. Apalagi jika bisa berduaan dengan suaminya. Gilang adalah tipe pria yang kurang bisa memberikan perhatian berlebihan. Jika sudah kerja, maka Gilang akan jarang menghubunginya. Pun halnya jika sedang keluar kota. Palingan hanya akan menelepon sehari satu kali. Gendis tidak bisa menuntut lebih pada sang suami karena dia tahu memang seperti itulah sifat Gilang. Sedikit cuek dan tidak suka diomeli berlebihan oleh wanita. Hidup Gilang memang selow dan apa adanya.
Gendis gegas menyimpan semua pekerjaan yang baru saja dikerjakan. Tumpukan file mulai ia pilah-pilah lagi mana yang sudah beres dan mana yang masih perlu ia selesaikan esok hari. Dia rapikan sebelum pulang agar besok dia tidak kebingungan untuk menyelesaikan pekerjaan yang mana dulu.
"Tumben udah beres-beres. Mo pulang lu?"
Gea ini memang seperhatian itu dengan Gendis. Selain mereka berdua adalah bestie, meja kerja yang berdampingan membuat apa saja yang Gendis lakukan, tertangkap mata oleh Gea. Bekerja di kantor ini selama beberapa tahun, Gea sudah hafal dengan perilaku Gendis. Wanita itu bukan tipe-tipe yang on time sekali jika memang sedang tidak ada sesuatu yang memang sifatnya penting. Entah sedang janjian dengan Gilang atau saat akan pergi ke rumah orangtuanya.
"Iya. Mas Gilang kan hari ini enggak kerja. Jadi gue mo buru-buru pulang. Ingin menghabiskan waktu dengannya. Rasanya udah lama sekali nggak ngobrol berdua."
"Gue rasa rumah tangga lu udah kagak sehat, Dis. Mana ada sih suami istri yang tinggal di satu rumah yang sama tapi jarang mengobrol dan bertukar pikiran. Ya maaf, Dis. Gue cuma kesian sama elu. Kalau elu diam-diam bae, lama-lama elu bisa stres karena kena mental akan semua sikap Mas Gilang."
Apa yang Gea katakan ada benarnya juga. Tapi Gendis mencoba menepis semua ketakutan yang akhir-akhir ini kerap muncul menghantuinya.
"Ge, elu kayak kagak tau gimana Mas Gilang. Dia itu kan emang pendiam. Malas bicara dan tidak suka basa basi dengan obrolan yang ngalor ngidul gitu."
Gea menghela napas. Dalam hati kecilnya dia merasa bahwa rumah tangga sahabatnya memang tidak sehat. Dan entah kenapa Gea kurang menyukai sosok Gilang yang terlihat kurang peduli pada Gendis. Sayangnya Gendis selalu saja membela Gilang acapkali dia berusaha mengingatkan.
"Ge, gue duluan ya! Kasihan ojol gue nunggu lama entar."
Gea hanya menganggukkan kepalanya. Saat Gendis beranjak berdiri, bersamaan dengan Gama yang putar badan meninggalkan ruangan. Pria itu adalah tipe-tipe pekerja yang on time. Saat berangkat dan pulang selalu tepat waktu. Jarang di antara rekan kerja yang mau berbasa-basi dengan Gama karena pemuda itu sendiri juga lebih banyak diamnya daripada menghabiskan waktu untuk saling mengobrol dengan teman-temannya. Ada alasan tersendiri kenapa Gama melakukan itu semua. Gama memang tidak mau ada orang yang dekat dengannya lalu sampai mengenali siapa dia lebih jauh lagi. Akan sangat berbahaya bagi kelangsungan misi yang sedang diembannya kini. Lebih baik begini. Jadi orang pendiam, tidak suka bergaul, dan menjauh dari kehidupan kantor yang banyak gosip serta ghibahan.
•••
Gendis sedang menunggu ojek langganan di samping lobi. Biasanya para pekerja juga banyak yang mengantri ojek di sekitar sana. Karena ramai, Gendis kurang nyaman hingga memutusakan untuk berjalan keluar sampai melewati gerbang masuk gedung perkantoran. Ia berdiri di trotoar jalan menunggu ojek langganan yang biasa mengantar jemputnya setiap hari. Ada mobil di rumah, tapi dipakai oleh Gilang. Ada motor juga, tapi jarang Gendis pergunakan. Keseharian wanita itu ya seperti inilah, pulang pergi kerja dengan ojek langganan yang biasa mangkal di depan perumahannya.
Gendis sedikit berdecak. Tidak biasanya Bang Supri akan telat menjemput. Padahal tadi Gendis sudah mengirim pesan agar menjemput lebih awal.
Kepala celingak celinguk ke kiri dan ke kanan, memperhatikan lalu lalang kendaraan di jalanan.
Mata Gendis menyipit ketika sebuah mobil mewah yang baru melintas di depannya dan tertangkap oleh matanya, seperti dia mengenali sosok yang duduk di balik kemudi.
"Apa itu tadi Gama?" tanya Gendis pada diri sendiri. Jelas Gendis melihat jika mobil mewah tadi keluar dari kantornya. Dan dari kaca depan, mata Gendis yang jeli bisa mengenali wajah si pemiliknya. Tidak salah lagi, tadi memang Gama. Lantas, kenapa Gama bisa memiliki mobil mewah yang Gendis tahu hanya segelintir orang di Indonesia ini yang memilikinya sebab harganya yang menyentuh milyaran rupiah.
Sibuk melamun dan memikirkan harga mobil Gama, sampai Gendis tidak menyadari ketika Bang Supri sudah sampai dan berhenti di hadapannya.
"Mbak, Ayok! Malah ngelamun."
Gendis tersentak. Nyengir sembari mendekat ke arah Bang Supri. "Habisnya abang sih aku tungguin lama."
"Ye kan biasanya Mbak Gendis juga agak malaman pulangnya."
"Ya udah, Bang. Buruan jalan!"
Gendis berada di boncengan motor ojek. Menempuh perjalanan lebih kurang tiga puluh menit lamanya hingga sampailah ia di depan pagar rumahnya.
Gendis tersenyum mendapati mobil suaminya masih terparkir dengan manis di carport depan. Itu tandanya Mas Gilang ada di rumah.
Dengan penuh semangat Gendis memasuki halaman. Mengucap salam sembari membuka pintu depan. Melihat suaminya yang sedang menyiapkan makanan di atas meja. Senyum Gendis makin lebar saja karena mengetahui sang suami memasak untuknya. Perhatian Gilang untuk menunjukkan kasih sayang kepadanya adalah seperti ini. Jika Gilang masih bisa bersikap manis dan menghangatkan hatinya begini, apakah Gendis rela melepaskan pria itu untuk wanita lain.
"Hei, Dis. Tumben sudah pulang. Biasanya agak malaman."
Gendis tersenyum. Bukannya menjawab apa yang Gilang tanyakan, tapi justru balik melontarkan pertanyaan. "Kamu masak, Mas?"
"Iya. Bosan juga di rumah mau ngapain."
"Oh," jawab Gendis singkat setelahnya ia duduk di sofa yang ada di depan televisi.
Gilang berdiri di sisi meja makan, menatap wajah Gendis yang seperti banyak pikiran. "Kamu belum jawab pertanyaanku. Tumben belum jam enam kamu sudah pulang?"
Gendis mendongak, "Mas nggak suka jika aku pulang cepat?"
"Bukan begitu, Dis. Untung saja kan masakanku sudah matang. Jika tidak .. kamu pasti harus bantu-bantu aku padahal masih capek pulang kerja begitu."
Gendis tersenyum dipaksakan. "Sengaja aku buru-buru pulang agar memiliki waktu lebih untuk berdua bersama Mas Gilang."
Pria itu tertawa. "Ya udah sana buruan mandi. Habis itu kita makan."
Gendis menganggukkan kepalanya. Beranjak berdiri sembari menenteng tas kerjanya. Sudah hampir masuk ke dalam kamar, tapi ia kembali membalikkan badan ketika terdengar ponsel suaminya berdering dengan sangat nyaringnya.
Gilang dengan cepat menyambar ponsel yang tadi ia letakkan di atas meja makan. Menempelkan di telinga, mendengarkan apa yang lawan bicaranya katakan.
Gendis masih memperhatikan setiap ekspresi suaminya. Sayangnya dia tidak bisa ikut mendengar dan tidak tahu siapa gerangan yang sedang menelpon suaminya itu.
"Iya ... Iya. Lima belas menit lagi aku sampai. Bye!"
Gilang berkata entah dengan siapa yang Gendis tidak tau. Karena penasaran, Gendis urung masuk kemar, malah menghampiri suaminya yang sudah menurunkan ponsel dari telinga.
"Siapa Mas?"
"Dis, maaf aku harus pergi sekarang. Gita telepon katanya mobilnya mogok di jalan. Minta tolong aku buat jemput dia."
Mata Gendis melotot mendengar nama Gita disebut-sebut oleh suaminya. Gilang bahkan sudah berlalu meninggalkannya masuk ke dalam kamar. Tidak lama setelahnya, Gilang kembali keluar dengan memasang jaket di badan.
"Aku tinggal dulu sebentar. Jika kamu sudah lapar ... makan saja duluan."
Gendis tidak bisa terima karena Gilang lebih mementingkan menjemput Gita daripada menemaninya makan dan berduaan di rumah. Memang, Gita itu siapanya, Hah! Sungguh, Gendis tak akan bisa tinggal diam sekarang. Dia ingin tahu seberapa dekat hubungan Gilang dengan Gita, agar Gendis tidak lagi ragu dalam mengambil keputusan nantinya.
"Mas!" teriak Gendis cukup lantang hingga menghentikan langkah kaki Gilang yang hampir mencapai pintu depan.
Pria itu menoleh ke belakang, "Ya?" Dia pikir ada yang ketinggalan sampai istrinya memanggil begitu.
Namun, dugaan Gilang salah karena Gendis sudah berjalan cepat menyusulnya. "Aku ikut."