BDM 2

1096 Kata
Hufh, hari pertama kerja berkasnya setumpuk gini ya. Semangat Nad, demi apa coba kamu kerja keras begini. Ingat Bapak sedang butuh pengobatan. Tapi harus ada perang batin nih tiap hari. Membaca berkas setumpuk gini tiap lembar ada namanya. Ya Allah, hanya melihat namanya saja hatiku berdesir. Mana bisa aku ngetik tidak sekaligus baca namanya di layar. "Kamu ngapain geleng-geleng kepala nggak jelas?" Sontak Nadia terbangun dari lamunannya. Jantungnya tambah berdetak kencang seiring Arda yang mendekat ke mejanya. Saat Arda mencondongkan badan tepat wajahnya di depan wajah Nadia, spontan Nadia menahan nafas dan memundurkan badannya. 'Kenapa saat seperti ini dia bertambah tampan. Ingat suami Nad. Astaghfirullah.' "Ba...pak mau apa?"ucap Nadia terbata. "Bisa buatkan saya secangkir kopi?" 'Haduh, kirain mau ngapain Pak. Bikin senam jantung saja.' "Baik, Bapak tunggu sebentar ya." Nadia membawakan secangkir kopi untuk bosnya dan segera meletakkan di meja kerja Arda. "Terima kasih, cantik." 'What? Dia bilang aku cantik, hufh kalau ingat dulu waktu sekolah kamu selalu mengataiku lugu dan polos enggak modis. Aslinya mau bilang jelek tapi nggak tega kali ya sama teman.' "Terima kasih pujiannya Pak tapi saya sudah menikah," ucap Nadia seraya tersenyum. "Memang kenapa kalau sudah menikah? Suamimu pasti juga sering memujimu cantik kan?" 'isshh, dasar bos nggak paham.' Nadia menuju kursinya dengan wajah kesal. Semakin merasa dibuat kesal oleh Arda, Nadia semakin teringat masa lalunya. ---- Sepanjang perjalanan pulang naik motor, Nadia memikirkan pertemuannya kembali dengan Arda. Gimana caranya nih nanti kalau ditanya Mas Aldo siapa bosnya atau gimana suasana kerjanya. Duh, jadi pusing tujuh keliling nih. Aldo yang sudah santai di rumah sejak siang kini sedang menyiram tanaman bunga koleksi Nadia. "Hai, sudah pulang. Gimana hari pertama di kantor? Sepertinya melelahkan." Nadia memasang senyum tak ingin memperlihatkan rasa kesalnya terhadap kelakuan Arda bosnya. "Ahamdulillah lancar, Mas." "Bosnya galak ya, sudah tua pastinya?"tanya Aldo penuh semangat menanti cerita dari Nadia. Deg, duh kenapa harus nanya yang itu Mas. Kalau kamu tahu bosku adalah Arda pasti kamu nggak ngijinin aku kerja disana. "Hmm, nggak galak kok cuma bikin kesal aja." jawab Nadia sambil menyengir. "Aku mandi dulu ya, Mas." Perasaan Nadia jadi tak enak menyembunyikan identitas bosnya ke Aldo. Dia belum siap melihat respon suaminya karena mereka dulu bertiga teman satu SMA. Nadia juga nggak pernah cerita kalau dulu dekat dengan Arda bahkan sakit hati karenanya. Nadia keluar kamar mandi dengan wajah yang segar, ternyata Aldo sudah duduk manis di ranjang kamar. "Ayo lanjutin ceritanya tentang bos kamu." Hwaaa, kenapa Mas Aldo masih penasaran sih. Tiba-tiba terlintas dibenak Nadia untuk melakukan ini agar suaminya tak bertanya lebih lanjut. Nadia menatap lekat mata suaminya. Dia menyelami mata itu semakin dalam dan mendekatkan wajahnya. Aldo justru kaget melihat tingkah istrinya yang tidak biasa. "Hei, aku belum mandi tau." Aldo spontan langsung masuk kamar mandi. Yes, syukurlah Mas Aldo segera kabur. 'Hmm Bos..., menyingkirlah dari pikiranku.' Nadia harus berpikir keras bagaimana bersikap biasa pada Aldo supaya tidak terbongkar identitas bosnya. Bagaimanapun niat Nadia membantu keuangan keluarganya. Jika dirasa sudah stabil, dia berjanji dalam hati akan mencari pekerjaan lain. Untuk sementara biarlah aku bekerja pada Arda, pikirnya. Nadia juga menimbang-nimbang sebenarnya dirinya masih punya perasaan pada Arda atau hanya rasa rindu yang sesaat karena lama tidak bersua. Dia segera menepis pikirannya supaya tidak ngelantur kemana-mana. Dia harus fokus pada Aldo yang sudah menjadi suaminya. Dia tidak ingin semangat membangun cintanya Bersama Aldo runtuh begitu saja. ------- Pagi hari Nadia dan Aldo sudah rapi dan bersiap sarapan. Nadia tetap menyempatkan memasak sarapan meski mulai bekerja. Kaki ini nasi goreng telur ceplok dilengkapi segelas s**u. Masalah sarapan memang nomer satu untuk dipikirkan. Nadia tidak mau suaminya berangkat kerja tanpa sarapan. Kalaupun tidak sempat sarapan di rumah karena tergesa, dia pasti membawakan bekal untuk suaminya. "Hari ini berangkat bareng, ya!" pinta Aldo pada Nadia yang masih fokus sarapan. "Mas Aldo nggak telat kalau nganter aku dulu?" Nadia sebenarnya senang bisa diantar jemput layaknya pasangan yang sedang menikmati masa pacaran setelah menikah. Tapi di sisi lain, dia takut Aldo ketemu Arda. Bukan hal yang mustahil mereka berdua bisa ketemu di kantor saat Aldo mengantar Nadia. "Kebetulan jadwal ngajar pagi dipakai tes pendalaman materi kelas XII. Jadi aku free pagi ini." ucapnya sambil mengulas senyum menatap Nadia yang suda tersipu malu. Saat seperti ini, hati Nadia berdesir menatap wajah Aldo yang tak kalah tampan dibanding Arda. Aldo memiliki badan lebih atletis mengingat dia adalah guru olahraga juga pelatih karate. Mungkin hal-hal macam inilah yang perlu diingat Nadia untuk menumbuhkan cintanya pada Aldo. Meski Aldo bisa beladiri, dia tak sembarangan menggunakan kemampuannya. Dia hanya menggunakan untuk perlindungan diri serta saat melatih siswanya. "Kenapa malah ngalamun? Masih mau menikmati wajah mempesonaku?" Aldo spontan mencium kening Nadia yang tengah melamun membuatnya terbelalak kaget dan malu. "Isshhh, pede banget sih jadi orang. Gak apa-apa kan lihatin suami sendiri daripada lihatin orang lain." "Yeay, nggak usah sewot kali. Nanti cantiknya hilang. Udah yuk berangkat nanti dimarahi bosmu kalau terlambat. Bisa dipotong gaji nanti." Aldo mengantar Nadia menggunakan motornya. Sampai di depan gedung, Nadia salam takzim dan Aldo berpesan akan menjemputnya nanti. Lalu dia bergegas menuju sekolah tempat mengajarnya. "Nadia, diantar siapa tadi?" "Eh, Pak Arda ngagetin saya aja." "Lha kamu dari tadi saya jalan di belakangmu malah lihat kesana kemari." 'Duh ini bos kok ya ingin tahu banget apa yang aku lakuin. Padahal aku kan baru lihat situasi kali aja bos melihat Aldo saat nganter aku.' "Diantar suami?" Arda masih bertanya karena Nadia tak kunjung menjawab. "Suami kerja di mana?" "Hmm, guru karate Pak." Nadia tidak bilang kalau suaminya guru SMA di sekolahnya dulu, bisa-bisa dia akan mengungkit masa lalu sampai ke identitasnya. "Oh, hebat dong. Bisa menghajar orang-orang yang mengganggumu." ucap Arda seakan menggoda Nadia. "Iya..., termasuk Bapak kalau mengganggu saya." Arda hanya tertawa mendengarnya. Kini keduanya masuk ke lift untuk naik ke ruang kerjanya. Nadia merasa canggung berada satu lift dengan Arda. Dia segera menghela nafas untuk menetralkan gugupnya. "Kamu kenapa, Nad? Sesak nafas atau punya sakit jantung?" "Ah, itu...enggak Pak. Saya hanya sedikit gugup." jawab Nadia sembari jujur. "Hmm, kenapa kamu gugup?" Arda justru menggoda Nadia dengan pertanyaan konyolnya. "Sa..saya nggak tau Pak. Tiba-tiba saja begitu." Arda semakin mengikis jarak keduanya dan menatap tajam manik mata Nadia. Nadia semakin gugup tak.terkira dan menahan nafasnya. "Melihat matamu mengingatkan saya pada seseorang, Nad." Seketika Nadia mendorong bosnya untuk menjauh. Dia memperbaiki posisi berdirinya dan menghela nafas panjang mengurangi kegugupannya. "Apa-apaan Pak Arda membuat saya senam jantung tau nggak?" "Hahaha, segitunya kamu kalau dekat sama saya." "Bapak, jangan bercanda." "Sudah, ayo segera bekerja," ajak Arda melangkah lebih dulu meninggalkan Nadia yang kesal dibuatnya. 'Hufh, semua akan berat kalau aku tak mengingat kebaikan-kebaikan Mas Aldo nih.'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN