Sore hari menjelang pulang kerja, Nadia bersiap dengan tas selempangnya. Dia beranjak dari kursinya dan akan berpamitan dengan Arda.
"Pak Arda nggak pulang, saya mau ijin pulang dulu."
"Baiklah, Nad. Sampai jumpa besok."
Nadia menganggukkan badannya lalu beralih menuju pintu keluar. Belum sampai melewati pintu keluar, Arda memanggilnya kembali.
"Ada apa, Pak?"
Arda tak menjawab, tetapi justru semakin mendekati Nadia yang berdiri di depan pintu yang masih tertutup. Saking begitu dekatnya Nadia ingin menghindari dengan memundurkan badannya sampai menabrak pintu.
"Pak Arda...,"
"Bahkan kamu mau pulang kerja saja masih terlihat cantik," ucap Arda dengan suara khasnya membuat tubuh Nadia meremang. Jantungnya berpacu dan dia pastikan wajahnya sudah memerah karena tersipu malu.
"Bapak mau apa?" seru Nadia dengan suara lirih dan memejamkan matanya karena wajah Arda yang yang tinggal beberapa centi di depannya. Bahkan aroma maskulin parfum Arda pun tercium olehnya. Sungguh parfum yang memabukkan pikir Nadia.
Ckrekk,
Suara pintu terbuka, Nadia membuka matanya. Alhamdulillah nggak terjadi apa-apa seperti yang dibayangkan. Atau justru dia berharap apa yang dipikirkan terjadi. Huff, sungguh konyol.
"Kamu jadi mau pulang nggak?" seru Arda yang sudah menahan ketawanya telah berhasil mengerjai Nadia.
"Kamu berharap kita melakukan apa?" godanya.
"Tau ah..., Bos menyebalkan. Awas kalau berani mendekati saya lagi, siap-siap dihajar suami saya," ancam Nadia dengan wajah kesal. Sementara Arda hanya mengangkat kedua tangannya seakan menyerah. Senyum tersungging di bibirnya kala berhasil membuat sekretarisnya itu kesal. Entah perasaan senang itu muncul secara tiba-tiba saat bisa mbuat Nadia kesal dan marah.
"Bareng aja, nanti saya antar sampai rumah," pinta Arda.
"Maaf saya sudah dijemput, Pak. Lain kali aja terima kasih," balas Nadia.
Nadia memdapat chat bahwa Aldo telah sampai di depan gedung. Nadia bingung dan belum siap jika Arda dan Aldo bertemu. Dia berpikir keras bagaimana memisahkan diri dari bosnya. Akhirnya Nadia beralasan ke toilet dan meminta Arda tidak menunggunya.
Arda pun mengangguk paham.
Sampai di depan gedung, Arda melangkahkan kakinya menuju parkiran. Namun seseorang memanggil namanya.
"Arda..., Kamu kerja di sini juga?"
"Lho, Aldo apa kabar? Sedang apa di sini?'
"Aku jemput istriku?"
"Wah, nikah nggak bilang-bilang, Al."
"Kamu sendiri juga nikah nggak bilang. Istrimu orang mana?" tanya Aldo seketika membuat wajah Arda yang sumringah bersama Nadia tadi memudar. Entah apa yang terjadi dengan pernikahan dirinya yang sedang diujung tanduk.
"Kabar Yaya gimana, Al? Sudah nikah belum dia?"
Deg, Aldo ragu mau menjawab atau tidak pertanyaan Arda. Dalam pikirannya ada rasa kesal kenapa Nadia tidak cerita kalau satu kantor dengan Arda.
"Oh, iya dia..."
Drrt,
"Halo"
"Saya pulang dulu, Pak Arda. Sudah dijemput suami nih."
Nadia mencoba menelpon Arda supaya segera pergi meninggalkan Aldo.
"Oke, hati-hati. Bye."
"Sampai ketemu lagi, Al. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya tentang Yaya."
Aldo hanya terbengong karena belum melanjutkan ceritanya tentang Yaya. Nadia dulu semasa sekolah suka dengan panggilan Yaya. Jadi tak banyak yang mengenalnya dengan nama asli Nadia. Begitu juga Arda yang memang suka memanggil namanya Yaya. Aldo tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Arda tau dia menikah dengan Yaya yang tak lain adalah Nadia.
"Ayo pulang, Mas. Kenapa melamun?" tegur Nadia pada Aldo yang pikirannya menerawang jauh. Nadia mencium tangan suaminya lalu menaiki jok motor.
Sampai di rumah, Nadia membersihkan diri dan sudah tampak segar dengan daster motif floral kebanggaannya. Sementara Aldo mengantri kamar mandi sambil santai di depan TV.
"Mas, mau dimasakin apa?"
"Hmm,"
"Ihhh, kok cuma hmm aja?" Aldo tak menjawab, malah langsung bergegas membersihkan diri.
'Aneh, Mas Aldo kenapa? Ahh, apa jangan-jangan dia tadi ketemu Arda ya? Gawat, gimana nih.' guman Nadia yang sedang kebingungan menghadapi suaminya.
Dalam kekalutannya kawatir Aldo marah, Nadia memilih memasak makanan cemilan kesukaan Aldo. Dia juga membuat minuman jahe anget untuk menyegarkan badan dari rasa capek bekerja. Setelah semua siap, Nadia membawa minuman dan camilan itu ke kamar sambil menanti Aldo selesai mandi.
Aldo keluar kamar mandi dengan wajah segar dan rambut masih sedikit basah. Dia mengeringkannya dengan handuk. Nadia tak memungkiri dirinya bertambah kagum dengan pesona suaminya itu. Saat seperti ini, Aldo kelihatan semakin tampan. Tubuhnya atletis karena memang pelatih karate membuat Nadia senyum sendiri.
"Sudah selesai mengagumi diriku?" ucapan Aldo sontak membuat Nadia terbangun dari lamunannya. Wajahnya tersipu malu tertangkap sedang mengagumi suaminya. Dia menundukkan wajahnya supaya tidak terlihat Aldo. Namun justru Aldo semakin mendekatinya. Tangannya mengangkat dagu Nadia, kedua mata mereka beradu pandang.
"Mas..., Aku dah siapin minum dan cemilan." ucap Nadia
"Kenapa nggak cerita kalau kamu sekantor sama Arda?"
Deg...,
Jantung Nadia berdebar mendengar pertanyaan Aldo. Nadia gugup dan bingung mencari jawaban.
"Kenapa nggak cerita kalau kamu sekantor sama Arda?"
Deg...,
Jantung Nadia berdebar mendengar pertanyaan Aldo. Nadia gugup dan bingung mencari jawaban. Ada sorot kemarahan yang dilihat Nadia di mata Aldo.
"Kamu berniat balikan sama dia?"
"Haaah, itu Mas. Nggak mungkin lah, dia sudah menikah."
"Kalau belum menikah, berarti iya?"
'Hufh, rasanya aku selalu kalah ngomong smaa Mas Aldo,' keluh Nadia masih dalam mood takut Aldo marah.
"Ckkk, bukan gitu Mas. Ma..af..."
Belum selesai Nadia bicara, Aldo sudah mendaratkan ciumannya ke Nadia. Karena kondisi Nadia tak siap membuatnya terjatuh di ranjang. Aldo sudah kalab dengan emosinya yang harus diluapkan. Meski tak lembut seperti biasa Aldo lakukan, namun Nadia mengimbanginya dengan baik. Mereka berdua dalam posisi berbaring dalam satu selimut setelah bergulat meluapkan emosi masing-masing.
Nadia melingkarkan tangannya memeluk Aldo. Dia sadar harus bicara baik-baik untuk meluluhkan hati suaminya. Toh dia yang salah tidak memberi tahu karena takut diminta resign bagaimana bisa dapat biaya operasi ayah mertuanya.
"Mas, maafkan aku. Sebenarnya aku juga kaget Arda bekerja di sana. Aku janji tidak akan mendekatinya. Aku hanya berhubungan dengannya seperti antar karyawan biasanya."
"Hmm, aku percaya padamu. Jangan pernah menghilangkan kepercayaanku, Nad."
"Mas juga, kalau ada apa-apa ya ngomong dulu. Jangan diam saja, aku nghak suka," Nadia pura-pira kesal sambil tangannya mengusap d**a Aldo.
"Kamu mau lagi?" tantang Aldo dengan senyum smirknya.
"Enggak..., Apaan sih."
"Lapar nih, Nad."
"Lhah, menguras emosi makanya lapar." Keduanya tertawa bersama lalu menikmati cemilan dan minuman jahe yang dibawa Nadia. Ada rasa lega di hati Nadia melihat kemarahan Aldo yang sudah memudar. Dia berharap akan semakin bertambah rasa cintanya pada Aldo pun begitu juga sebaliknya.
----
Hari ini Aldo tidak bisa mengantar Nadia bekerja karena harus piket pagi di sekolahnya. Mau tak mau Nadia berangkat sendiri naik angkutan umum. Tiba di kantornya, Nadia segera melangkahkan kaki memasuki lift. Kali ini semangat kerjanya lebih dari biasanya karena perasaannya lega Aldo sudah tahu dia kerja satu kantor dengan Arda meskipun belum tau bahwa Arda adalah bosnya. Nadia menghela nafas sembari matanya terpejam saat di dalam lift hanya sendirian, dia menikmati aroma parfum yang tak asing. Ternyata pintu lift dibuka lagi dan Arda yang masuk. Nadia membuka matanya dan memundurkan badan hingga terpojok.
"Kamu kenapa ketakutan, memang saya hantu?"
"Maaf, Pak. Saya hanya kaget." Nadia mencoba menetralkan nafas dan detak jantungnya. Arda menatapnya tajam tanpa berkedip membuat Nadia menunduk. Tangannya segera mengangkat dagu Nadia dan mengikis jarak mereka.
"Mata itu, aku sungguh mengenalmu bukan?"
"Haah, tidak...Pak. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya kan?" Nadia mencoba menjawab dengan rasa was-was dan takut ketahuan.
Arda tak melepaskan pandangannya, tangan kanannya segera mengambil tusuk sanggul rambut Nadia membuat rambut indahnya tergerai. Lalu Arda melepas kacamata yang dipakai Nadia membuat pemiliknya sebentar lagi menangis kalau ketahuan bosnya.
"Tak salah lagi, kamu Yaya kan? Katakan yang sebenarnya?"
"Pak Ar...da. Aku bukan Yaya tapi Nadia."
"Aku tak mungkin salah. Kamu memang berubah sampai aku tak mengenalimu. Kamu kemana saja?"
Arda membawa Nadia ke dalam pelukannya. Seketika Nadia tenggelam dalam suasana itu, membalas pelukan Arda dan menyandarkan kepalanya di d**a bidang laki-laki masa lalunya itu.
'Hwaaa, gimana ini Arda sudah tahu aku.' Nadia kalut dan tak bisa membayangkan kalau Arda menginterogasinya. Dia belum siap mengatakan kalau Aldo.adalah suaminya. Arda segera melepas pelukannya, ada kerinduan di mata masing-masing.
"Jadi, siapa suamimu?"
Deg,...