“ Kamu gila ya Za? Perjuangin dong. Jangan asal mau begitu. Aku bukannya ngajarin kamu buat durhaka, tapi kamu jelas punya hak untuk menolak.” ucap Aji ketika aku memberinya undangan pernikahan. Kalian tahu? Dia tampak sangat terkejut. Tentu saja, aku bahkan sudah menebaknya dari awal.
“ Ibuku Ji.”
“ Yah… Kalau kamu udah bawa-bawa Tante Arum aku udah nggak bisa komentar apa-apa.” tukas Aji sambil menyendarkan kepalanya di sofa ruang tamunya. Oh iya, ngomong-ngomong saat ini aku sedang berada di rumah Aji. Dan kalau tidak salah, ini adalah kali ketiga aku main ke rumahnya. Kami lebih sering bertemu di rumahku. Maka tidak heran jika Aji sangat akrab dengan ibuku. Tante Arum yang tadi Aji maksud adalah ibuku.
“…”
“ Mas Danu! Tas gue lo apakan heh?!” aku dan Aji langsung menoleh ketika mendengar suara dari arah belakang.
“ Sorry Dek. Ketumpahan tinta tadi.”
“ Ya ampun Massss!!! Tas itu baru. Pemberian temen pula!”
Beberapa detik kemudian, dua orang muncul dari arah belakang.
“ Danu ! Dek Una ! “ Panggil Aji lantang. Praktis dua orang tadi menoleh kearah Aji. Dan apa yang aku lihat selanjutnya membuatku melongo untuk beberapa saat. Itu Aluna kan? Mahasiswi bimbinganku? Bentar… jadi, adik perempuan yang Aji maksud itu Luna? Itu berarti, dosen tembok yang dia maksud itu aku? Astaga… anak itu benar-benar.
“ Danu, kamu apain tasnya?!”
“ Liat nih mas. Jadi item-item begi---“ kalimat Luna berhenti begitu melihatku.
“ Pak Reza?!” Luna tampak terkejut melihatku.
“ Kamu kenal dia dek? Dimana?” tanya Aji sambil melihat kearahku dan Luna bergantian.
“ Dia mahasiswa bimbinganku Ji.” Jawabku sebelum Luna menjawab pertanyaan Aji.
“ Bentar… Jadi yang kamu maksud dosen tembok itu dia dek?”
“ Mas Ajiiii… Jangan keras keras…” Luna tampak melotot kearah Aji sebelum menatapku sambil nyengir.
“ Bapak apa kabar?” tanya Luna yang aku yakini hanya sekedar basa-basi.
“ Baik.” jawabku singkat.
“ Duduk sini dek.” Perintah Aji pada Luna. Anak itu menurut dan duduk tepat di samping Aji.
“ Lihat nih…” ucap Aji sambil menyerahkan undangan pernikahanku pada Luna.
“ Ini apa mas?”
“ Buka aja.”
…
“ Waow… Pak Reza mau nikah seminggu lagi?! Wah, satu kelas bakal patah hati ini mah.” ucap Luna begitu membuka undangan itu.
“ Termasuk kamu?” tanyaku kemudian. Aji hanya menatapku heran. Sebenarnya aku juga heran kenapa aku bisa bertanya seperti itu.
“ Dih… enggak lah pak. Noh, fans-fans bapak. Aku mah ogah.” Seloroh Luna sambil meletakkan undangan itu di atas meja.
“ Hush… yang sopan sama dosen. Kamu ini.” Aji tampak menyentil kepala Luna. Luna tidak menyahut dan hanya mengusap-usap dahinya.
“ Kamu juga datang ya.”
“ Bapak ngundang yang lain nggak?”
“ Enggak. Saya cuma ngundang temen-temen sama keluarga dekat saja.”
“ Siap pak.”
“ Dek, Mas lihat-lihat, kamu akrab begini sama Eza. Kok kamu bilang dia orangnya cuek. Nyebelin kaya may---“
“ Mas Aji ya ampunnnn…” Luna membekap mulut Aji dan meringis kearahku.
“ Pak, jangan dengerin Mas Aji ya. Suka bohong dia mah.”
“ Nggak papa.”
Aku akan maklum andai Luna memang sering ngomong ‘aneh’ tentangku di belakang. Memang faktanya aku begitu.
“…”
Dan siang itu, aku pamit setelah ayah menelfonku untuk segera pulang.
***
Luna
“ Aluna…” Aku menghentikan langkah begitu seseorang memanggilku. Begitu balik badan, aku langsung meringis ketika tahu siapa yang memanggilku barusan.
“ Kapan mau bimbingan sama dosen tembok?” Astaga ini orang, nyindirnya nggak kira-kira.
“ Hehe. Maaf ya pak. Nggak maksud ngatain. Habisnya muka bapak lempeng banget kalau lagi di kampus. Beda jauh sama kemaren pas lagi sama Mas Aji.” Jawabku takut-takut. Iyalah takut, ini dosen satu udah pasang muka datar seperti biasanya.
“ Saya nggak nyangka kalau kamu ternyata adiknya Aji. Kalian beda jauh.”
“ Mau bilang kalau Mas Aji kalem terus saya bar-bar, gitu?”
“ Kamu yang bilang sendiri. Bukan saya.”
“ Bapak pinter banget pencitraan di depan Mas Aji.”
“ Maksud kamu?”
“ Nggak jadi.” Balasku sambil bersiap untuk pergi. “Permisi…”
“ Eh mau kemana?” tanya Pak Reza ketika aku mulai melangkah meninggalkannya.
“ Mau kuliah lah pak. Gimana atuh? Mana udah telat nih.” jawabku asal ceplos.
“ Kan pagi ini kamu kuliah sama saya. Telat dari mananya?” Tukas Pak Reza yang sukses membuatku melongo. Oh iya ya? Kok aku dodol banget sih sampe lupa?
“ Eh iya ya pak?” Aku cuma bisa nyengir.
“Hm…” Pak Reza mengehela napas sebelum berjalan mendahuluiku. k*****t. Mas Aji kenapa bisa punya teman model begini sih?
***
“ Permisi…” aku mengetok ruangan Pak Reza pelan. Hari ini rencananya aku akan menunjukkan sampai mana perkembangan teorema yang waktu itu Pak Reza tambahkan.
“ Masuk.”
“ Permisi Pak.”
“ Duduk.” Ucap Pak Reza tanpa menoleh kearahku sedikitpun. Dia tampak sibuk dengan kertas-kertas di depannya. Saat ini aku hanya diam menunggu Pak Reza mengatakan sesuatu.
“ Sampai mana pembahasanmu?”
“ Oh ini pak. Baru segitu sih pak.”
“ Saya lihat sebentar.”
Untuk beberapa saat lamanya, diantara kami tidak ada yang bicara. Pak Reza sibuk membaca pembahasanku sementara aku sibuk memainkan bulpoin.
“ Waktu seminggu hanya dapat segini? Dan perlu kamu tahu, ini masih salah. Tidak ada hubungan antara apa yang kamu kerjakan dengan teorema yang saya kasih kemarin. Kamu serius ngerjain tidak sih?” tanya Pak Reza sambil menatapku lurus-lurus.
“ Yang mana pak? Saya ikut prosedur pengerjaan di jurnal itu kok.”
“ Coba baca lagi hasil pembahasanmu.” Aku langsung mengambil kertas pembahasanku dan membacanya. Mana yang salah? Kayaknya bener-bener aja loh.
“ Aluna, definisi yang kamu pakai tidak ada hubungannya dengan teorema itu.”
“ Yang mana ya pak?” dan ketika aku mendongak, mata kami bertemu.
Deg~ Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdegup kencang.
“ Kamu pelajari lagi. Besok temui saya kalau kamu sudah tahu di mana letak kesalahan kamu.” Balas Pak Reza sambil meraih kertas-kertas yang tadi menyita perhatiannya sebelum aku datang.
Astaga ini dosen!
“ Harus besok ya pak?”
“ Iya.”
“ Kalau dua hari gimana?”
“ Kalau saya bilang besok ya besok.” Suara Pak Reza naik dan itu sukses membuatku agak terkejut. Ini orang kenapa sih? Perasaan tadi pagi waktu ngajar dia baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba jadi begini?
“ Santai dong pak. Saya kan mintanya baik-baik.”
“ Kalau masih mau saya bimbing, jangan banyak protes.”
“ Bapak kenapa jadi marah-marah?”
“ Kalau sudah selesai, kamu boleh keluar.” Aku melongo tak percaya. Sialan, aku diusir saudara-saudara. Kalau dosen analisis tidak cuma dia, sudah pasti aku buat surat ke kepala jurusan minta supaya pembimbingku diganti. Itupun kalau boleh. Serius, aku bisa cepet tua kalau tiap hari kena marah kaya gini.
“ Saya permisi pak.” Pamitku sebelum berdiri dan bergegas keluar ruangan.
“ Ya.”
***
Reza
“ Apa alasan kamu menerima perjodohan ini?” tanyaku pada Amelia setelah menyesap coklat hangat di depanku. Hari ini aku memutuskan untuk mengajaknya keluar. Kami menikah memang tinggal empat hari lagi, tapi bertatap muka langsung baru beberapa kali saja. Hebat bukan?
“ Aku hanya patuh apa kata orang tua.” Jawab Amel sambil menyesap coklat miliknya.
“ Kamu yakin kita bisa jalanin pernikahan konyol ini? Kita kenal bahkan belum ada satu bulan, Mel.” Ucapku sambil menatap wajahnya lurus.
“ Aku tahu Mas. Aku bahkan sering ngerasa kalau semua ini kaya mimpi. Tapi aku bisa apa?”
“ Kamu pernah menolak? Paling tidak sekali saja?”
“ Sepuluh kali juga ada mas. Tapi papa tetaplah papa. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Lah kalu Mas Reza sendiri kenapa mau?”
“ Sebelas dua belas kaya kamu. Bedanya, aku tidak berani menolak karena ibu yang memintanya langsung. Dan aku paling tidak bisa menolak permintaan ibu. Klasik banget ya?”
“ Kadang aku masih tidak habis pikir dengan jalan pikir mereka. Maksudku, orang tua kita.” Kali ini wajah Amelia tampak lesu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Tapi aku rasa ada sesuatu yang besar sedang dia sembunyikan.
“ Ya sudah. Kita jalani saja dulu. Kalau memang kita berjodoh, toh Tuhan pasti menyatukan kita. Andai tidak, pasti Tuhan sudah menyiapkan rencana lain. Aku rasa kita berdua sudah sama-sama dewasa.” aku tertawa sumbang.
“ Iya Mas.”
Oh iya, kalau kalian penasaran seperti apa calon istriku ini, maka aku akan kenalkan pada kalian. Dia adalah Amel. Amelia Putri. Umurnya dua tahun dibawahku. Saat ini dia berprofesi sebagai seorang designer di butik yang dia kelola bersama teman-temannya. Dia cantik dan tinggi semampai. Rambutnya lurus sepunggung. Dan ada lesung pipit di pipi kirinya. Aku rasa aku pernah bilang kalau secara fisik Amel ini mendekati sempurna.
“ Gaun pengantin sudah beres?” Tanyaku beberapa saat kemudian.
“ Sudah. Gedung pernikahan, catering, semuanya sudah beres. Semuanya papa yang ngatur.”
“ Bagus kalau gitu.”
“…”
***
Setelah mengantarkan Amel pulang kerumahnya, aku memutuskan untuk berhenti sejenak di salah satu warung sate langgananku. Aku lapar.
“ Laper banget ya pak?” aku langsung mendongak begitu mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku.
“ Hmmm.” Balasku acuh sambil tetap sibuk mengunyah.
“ Bisa kali pak, judesnya dikurangin. Ini kita lagi nggak di kampus loh.” Luna mengambil tempat duduk tepat di depanku.
“ Memangnya saya judes gimana?” tanyaku sambil menatapnya lurus. Mata kami bertemu. Dan itu hanya berlangsung sebentar karena aku kembali makan. Dilihat dari sudut manapun, Luna memang cantik.
Sebentar, kenapa aku malah memujinya?
“ Kata Mas Aji, bapak orangnya nggak judes sama sekali. Tapi kok kalau lagi di kampus bapak jadi berubah seratus delapan puluh derajat? Bapak kenapa nggak jadi diri sendiri aja? Bapak kaya gitu biar kelihatan keren? Gitu? Mentang-mentang banyak yang suka?” tanya Luna yang langsung membuat aktifitas makanku berhenti.
Luna benar. Aku tidak terlihat seperti diriku yang sebenarnya ketika berada di kampus. Kenapa? Itu karena aku memiliki kenangan buruk dengan salah seorang mahasiswaku dulu. Kenangan yang ingin aku buang jauh-jauh. Karena dari dulu cita-citaku ingin menjadi dosen, maka aku tidak bisa semudah itu menghindari lingkungan perkampusan. Cita-citaku tentu lebih penting. Mengorbankan cita-citaku hanya karena kenangan buruk yang sewaktu-waktu bisa hilang dan berhenti menghantuiku bukanlah keputusan yang tepat.
“ Semua orang memiliki alasan kenapa dia melakukan ini dan itu.”
“ Alasan apa sih pak? Bener kata saya tadi? Biar kelihatan keren, gitu?”
“ Apa saya terlihat seperti itu?” Tanyaku balik. Luna mengerutkan dahi sejenak.
“ Enggak tahu pak. Bisa jadi iya bisa jadi enggak.”
“ Terserah kamu saja mau menilai saya seperti apa.”
“ Iya deh pak, maaf saya nggak bahas itu lagi. Tapi tolong lah pak, kalau lagi bimbingan jangan marah-marah kaya kemarin. Gini-gini saya takut loh. Kemarin itu bapak kaya mau makan saya. Kalau mood bapak lagi jelek, bapak bisa bilang ke saya terus saya bimbingannya lain waktu. Kalau tiap saya bimbingan bapak marah-marah kaya kemarin, terus tiba-tiba saya sesak napas, siapa yang mau ngasih saya napas buatan? Bapak? Bapak keenakan dong--” Luna langsung menutup mulutnya begitu dia sadar bicaranya sudah ngelantur.
“ Kamu berharap kamu sesak napas supaya saya kasih napas buatan?” tanyaku sambil menahan senyum. Ini anak satu ternyata lucu juga.
“ Eh enggak pak. Maksud saya itu… maksudnya kalau---”
“ Ini neng satenya. Semuanya tigapuluh tujuh ribu.” Ucap penjual sate yang membuat Luna menghentikan kalimatnya.
“ Oh iya mas.” Luna menerima sate itu dan memberikan uang dua puluh ribuan dua lembar.
“ Sisanya ambil aja mas, nggak papa.”
“ Makasih neng.”
“ Pak Reza, saya duluan ya. Keburu kakak-kakak saya kelaparan.” Ucapnya sambil keluar tenda.
“ Salam buat Aji.”
“ Siap pak.” Balasnya sambil menyatukan jari jempol dan telunjuknya. Aku baru akan melanjutkan makanku ketika tiba-tiba Luna kembali berdiri di depanku.
“ Pak, yang tadi saya cuma bercanda loh ya.” ucapnya sambil nyengir.
“ Saya tahu.”
“ Ya sudah. Saya duluan pak.”
“ Iya.”
Setelah Luna pergi, aku kembali melanjutkan makanku yang tinggal sedikit. Aku tidak heran kenapa aku bisa bertemu Luna di sini. Warung sate ini memang terletak tidak jauh dari rumahnya.
***