Luna
“ Mas, gue sumpahin lo jomblo seumur hidup!!!” makiku pada Mas Danu yang seenak jidat mencomot donatku padahal aku lagi kelaparan. Mana dirumah nggak ada masakan sama sekali. Ibuk lagi nemenin bapak ke Semarang makanya dua hari ini rumah jadi berantakan. Model Mas Aji sama Mas Danu mana mau beres-beres rumah?
“ Sorry dek. Gue kelaperan.” Ucap Mas Danu dengan mulut penuh donat.
“ Emang lu aja yang laper? Gue juga Mas! Mana itu donat tinggal satu doang. Gue makan apa dah?” aku menggerutu kesal.
“ Bilang Mas Aji gih, suruh beliin kita makanan.”
“ Kenapa nggak lu aja yang bilang?”
“ Kan lu adek kesayangannya Mas Aji.”
“ Ngeles aja lo ah.” Akhirnya aku menyambar handphoneku yang terletak diatas meja. Mas Danu hanya cengar-cengir sambil terus menggigiti donat yang entah kenapa dimataku terlihat begitu enak.
“ Dek, skripsi lo sampai mana?”
“ Nggak sampai mana-mana.”
“ Katanya pengen lulus cepet?”
“ Pengennya. Tapi kayaknya nggak bisa deh. Otak gue kan biasa-biasa aja. Jangan dibandingin sama otak lo.” Entah kenapa, kalau ingat skripsi bawaannya pengen marah-marah terus.
“ Siapa juga yang bandingin? Orang gue cuma nanya. Sensi amat sih?!”
“ Gue lagi sebel Mas. Nggak tahu kenapa ya, bawaannya mau marah aja kalau lihat dosen pembimbing. Udah mukanya lempeng kaya jalan tol, mana kaku banget kaya tembok. Tau ah. Jadi males bimbingan.”
“ Loh, kemaren kamu bilang dosennya baik? Mau minjemin jurnal?”
“ Iya emang. Baiknya itu doang.” Aku merebahkan badanku dan menatap lurus langit-langit rumah.
“ Emang seburuk itu ya? Dia galak?”
“ Galak sih enggak Mas. Orang dia banyak diem. Kaku gitu. Kaya mayat idup.”
“ Ya ampun Dek, mendingan lo tobat deh. Ngatain dosen terus dari tadi. Yang katanya kaya jalan tol lah, kaya tembok lah, dan sekarang malah lo katain mayat idup.”
“ Habisnya gue kesel tau mas.”
“ Nikmati prosesnya dek, jangan banyak ngeluh.”
Kreeek!
“ Mas Ajiii!!!” serentak aku dan Mas Danu menoleh dan berteriak. Tanpa babibu, aku dan Mas Danu langsung mencomot potongan Pizza yang dibawa Mas Aji.
“ Mas Aji kok cepet sih?” tanyaku sebelum menggigit Pizza dengan lahapnya.
“ Orang pas pesan kamu masuk, aku lagi di toko Pizza. Tanpa kamu WA juga, aku tahu kalau kalian pada kelaparan.” Ucap Mas Aji sambil duduk dan menggulung lengan kemejanya.
“ Mas Aji emang terbaik ya dek?” ucap Mas Danu sambil ngunyah potongan Pizzanya.
“ Iya. Emangnya situ?”
“ Sialan malah kena.”
“ Udah udah… sehari nggak berantem bisa kan ya?” lerai Mas Aji sambil menahan tangan Mas Danu yang sudah bersiap menjitak kepalaku.
“ Hehe…” aku dan Mas Danu kompak nyengir. Ya beginilah aku dan Mas Danu, jadi nggak usah heran.
***
“ Yang ini teorinya masih salah. Kamu tidak bisa pakai asumsi kamu sendiri. Literaturnya harus jelas. Siapa yang bisa jamin teori kamu ini benar kalau sumbernya saja kamu masih ragu?” Badanku langsung lemas begitu mendengar komentar Pak Reza.
“ Masak nggak bisa diterima pak?”
“ Teori yang kamu pakai di bawah sedikit kurang relevan sama sebelumnya. Coba saja kamu hubungkan sama teori kamu yang atas. Tidak nyambung.”
Untuk sejenak, aku hanya memainkan jari-jariku. Aku bingung harus ngapain. Rasanya kali ini aku ingin menyerah. Benar ternyata, konsentrasi analisis tidak sesederhana itu.
“ Jangan berpikir untuk menyerah. Udah setengah jalan. Tanggung,” aku mendongak ketika mendengar ucapan Pak Reza barusan. Bussset, dia cenayang ya?
“ Tapi percuma juga dipaksakan. Sayanya nggak sanggup. Mending nyerah sekarang daripada menghabiskan waktu.” Jawabku sambil meraih skripsi yang terletak diatas meja.
“ Kalau tahu bakal tidak sanggup kenapa dulu berani ambil?”
“ Saya mana tahu, pak. Kalau saya tahu bakal begini, mana mau saya ambil ini. Dan saya juga taunya bakal dibimbing Bu Rini. Bukan bapak.” Ini dosen gimana sih? Sekalinya banyak ngomong, malah nggak ngenakin begini.
“ Oh, jadi kamu keberatan kalau saya bimbing?”
Duh! Tuh kan, aku malah salah ngomong.
“ Ya bukannya begitu pak. Maksud saya---“
“ Hari ini sudah dulu ya, saya banyak urusan. Secepatnya kamu perbaiki bagian yang saya tandai dengan spidol biru.” Mataku melotot begitu Pak Reza berdiri dan berjalan meninggalkanku. Enak banget nih dosen satu. Aku bahkan belum selesai ngomong.
Akhirnya, dengan badan lemas aku berjalan keluar dari ruangan Pak Reza. Lagi-lagi mataku melihat Pak Reza sedang bersama perempuan yang sama dengan yang aku lihat kemarin. Ketika perempuan itu tiba-tiba menoleh, dia tersenyum. Sontak aku membalasnya. Duh, mana cantik bener. Tapi malang, punya suami tembok model Pak Reza. Aku menggeleg miris.
“ Mbak…” aku menoleh kanan kiri ketika perempuan itu mendekat kerahku. Dia manggil aku atau siapa?
“ Iya. Mbaknya. Mbak Luna kan?” dia tersenyum ramah.
“ Aku?” tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.
“ Mbak, kenalin aku Ana. Adiknya Mas Eza. Eh maksudnya Pak Reza.” Aku menyambut uluran tangan itu. Sebentar, barusan dia bilang apa? Adik? Bukan istri?
“ Ah iya. Aku Luna. Panggil Una juga nggak papa.” Balasku sambil tersenyum.
“ Dek, ayo pulang…” itu suara Pak Reza
“ Bentar, mas…”
“ Ibu udah nunggu sama ayah.”
“ Iya, iya. Mbak, aku pergi dulu ya. Lain kali kita sambung lagi.”
“ Oh iya.”
Mataku terus menatap kepergian dua kakak beradik itu. Jadi perempuan itu adiknya? Pantas saja, agak mirip. Dari awal emang aku sempat mikir, kalau memang istrinya, kenapa wajahnya masih kelihatan muda sekali?
***
Reza
“ Jadi ucapan ibu kemarin nggak main-main? Astaga bu, aku masih bisa loh cari calon sendiri.” Aku mulai sedikit kesal. Tapi tetap saja, sekesal-kesalnya aku sama ibu, aku hampir tidak pernah bicara kasar pada beliau.
“ Ibu tau Le. Tapi masalahnya, ibu udah terlanjur janji sama temen ibu.”
“ Tapi kenapa harus aku sih bu?”
“ Begini ya Le, biar ibu jelasin. Jadi, perempuan yang mau ayah sama ibu jodohin ke kamu itu adalah anak dari temen deket ayah. Anaknya cantik kok. Cantik banget malah. Bisa buat cuci mata kamu tiap hari.”
“ Mahasiswa di kampusku banyak yang cantik loh bu.”
“ Alah kamu ini. Setuju saja apa susahnya sih?”
“ Ya ampun bu, yang ibu tawarin itu jodoh loh. Aku mana bisa sembarangan terima gitu aja?”
“ Jadi secara tidak langsung kamu barusan bilang kalau ibu cari jodoh buat kamu itu sembarangan? Ibu sama ayah itu cari jodoh buat kamu ya yang pasti jelas bebet, bibit, bobotnya. Dia cantik. Anaknya orang baik-baik.”
Untuk sejenak, aku dan ibu tidak ada yang bersuara.
“ Sekarang ibu tanya. Kalau kamu memang mau nolak tawaran ibu, kamu sanggup nggak cari pendamping dalam waktu satu minggu?”
“ Astaga ibu, ibu kira cari pendamping semudah cari tukang bakso?”
“ Gini Le, ayah sama ibu itu udah mikirin ini matang-matang dan udah dari jauh-jauh hari. Kamu mau ya? Nggak enak juga kalau kamu nolak. Soalnya ayahmu dulu yang nawarin.”
“ Perempuan yang mau dijodohin sama aku udah tahu? Apa malah udah mau?”
“ Entah. Ibu juga nggak tahu. Tapi harusnya sih sudah tahu.”
“ Aku pikir-pikir dulu ya bu.” Balasku akhirnya. Jujur, aku paling tidak bisa menolak permintaan ibu. Kenapa? Itu karena ibu hampir tidak pernah menolak keinginanku. Seperti contoh, ketika aku memutuskan kuliah S2 di luar negri. Ibu yang aslinya sangat tidak setuju karena aku adalah anak laki-laki satu-satunya yang beliau miliki, akhirnya setuju begitu saja ketika aku memintanya dengan baik-baik.
“ Jangan lama-lama ya Le. Dan tolong jangan kecewain ibu.”
“ Aku usahain bu.”
“...”
***
Lima hari kemudian…
“ Secepatnya lebih baik.” ucap ayah ketika Pak Tama, calon mertuaku bertanya mengenai tanggal pernikahan aku dan Amelia, perempuan yang akan dijodohkan denganku. Kaget ya? Sama. Aku bahkan lebih kaget. Semua berjalan begitu cepat. Semuanya seolah mendukung untuk aku menerima perjodohan konyol ini. Dan konyolnya juga, aku berada diposisi yang sama sekali tidak bisa menolak. Kenapa? Itu karena aku tidak memiliki alasan yang kuat untuk menolak.
Ibu benar, Amelia berwajah cantik. Badannya cukup tinggi dan kulitnya putih. Secara fisik, Amalia nyaris sempurna. Dan aku berharap, semoga tidak hanya luarnya saja yang cantik. Justru kecantikan dari dalam lah yang lebih penting.
“ Bagaimana kalau satu bulan lagi?” tawar ayah sambil menyesap teh.
“ Nak Eza gimana?” tanya Pak Tama padaku.
“ Saya ikut ayah saja.”
“ Kalau kamu Mel?” tanya Pak Tama pada anaknya.
“ Aku ikut.”
“…”
Singkatnya, malam itu diputuskan sudah kapan hari pernikahanku dilangsungkan. Boleh aku menertawakann semua ini? Kenapa aku bisa senaif ini? Bertindak seolah semua baik-baik saja padahal tidak demikian. Aku ingin berontak. Tapi tidak bisa. Ibu adalah satu-satunya alasan aku mau menerima perjodohan ini. Klasik memang, tapi apa boleh buat?
***