Reza
Aku mematut diriku didepan cermin untuk kesekian kalinya. Tolong kali ini jangan artikan aku sedang narsis. Aku hanya sedang meyakinkan diriku kalau hari ini aku benar-benar akan menikah. Dua jam lagi acara akan segera dimulai. Kata Mbak Maura, para tamu undangan sudah mulai berdatangan. Oh iya, sepertinya aku lupa memperkenalkan Mbak Maura pada kalian. Jadi, Mbak Maura adalah kakakku. Dia tiga tahun lebih tua dariku. Aku biasa memanggilnya Mbak Ira.
Tok tok tok!
Aku mendengar ada yang mengetuk pintu beberapa kali.
“ Masuk saja, nggak dikunci.”
“ Za…” aku tersenyum begitu mendapati Aji datang bersama Aluna.
“ Udah datang Ji?”
“ Udah dong.”
“ Selamat ya pak, atas pernikahannya.” Ucap Aluna sembari mengulurkan tangannya.
“ Belum.” Jawabku sambil tersenyum. Meski begitu, aku tetap menyambut uluran tangannya.
“ Nggak papa pak. Intinya mah bapak nikahnya hari ini. Sama saja.”
“ Makasih ya.” balasku tulus. Sebenarnya aku ingin sekali minta maaf pada Luna karena aku sudah melampiaskan marahku padanya beberapa waktu lalu.
“ Habis nikah, muka temboknya dikurangin ya pak.” Ucap Luna sambil nyengir.
“ Dek… kamu apa-apan sih?” Aji memperingatkan.
“ Apa sih mas?! Biarin ih. Pak Rezanya nggak marah kok.”
Aku barusaja akan membalas ucapan Luna ketika tiba-tiba ibu dan ayah masuk.
“ Om, Tante…” Aji serta merta memeluk kedua orang tuaku bergantian.
“ Nak Aji dateng sama siapa ini?” tanya ibuku sambil menunjuk Luna yang berdiri diam di samping Aji.
“ Ini adik saya tante…”
“ Ohhh… Ini si Luna adikmu itu? Cantik bangeeet.” Aku tersenyum melihat Luna bingung ketika orang tuaku mengetahui namanya. Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu. Mungkin Aji sering bercerita tentang Luna pada beliau berdua. Maklum, karena aku dan Aji sudah bersahabat sejak lama, Aji sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Tapi kalau diingat-ingat, Aji hampir tidak pernah bercerita tentang Luna padaku. Makanya aku sempat terkejut ketika tahu kalau Luna adalah adik kandung Aji.
“ Eh iya hmmm...” Luna tampak bingung.
“ Kamu bisa panggil Om sama tante kaya masmu. Ya?”
“ I.. ya Tante.” Luna nyengir dan itu membuat ibuku tersenyum. Sepertinya ibuku langsung menyukai Luna. Lihat saja sekarang, bahkan beliau terus mengajak Luna berbicara.
“ Tante, saya pamit ke toilet bentar ya?”
“ Iya. silahkan.”
Drrrt!
Aku melihat handphoneku bergetar. Rupanya ada satu pesan masuk. Mataku membulat sempurna begitu membaca isi pesan itu.
Mas Reza, ini Amel. Amelia.
Maaf seribu kali maaf mas. Aku tidak bisa menikah dengan kamu hari ini. Sebanyak apapun aku meyakinkan diri sendiri untuk menerima pernikahan ini, sebanyak itu pula batinku terus menolak. Aku memang bodoh kenapa membiarkan semua sudah berlangsung sejauh ini. Tapi aku tidak ingin lebih bodoh dengan melanjutkan semuanya. Ada laki-laki yang aku cintai mas. Maaf, aku belum pernah bilang sebelumnya. Sekali lagi maaf, Mas. Aku sama sekali tidak bisa. Mas Reza berhak mendapatkan perempuan yang mencintai Mas Reza. Dan tentu itu bukan aku. Sekali lagi, Aku minta maaf.
Badanku langsung bergetar hebat setelah membaca pesan itu.
“ Ayah, ibu…” panggilku pelan.
“ Gimana Za?”
“ Amel…”
“ Oh iya ya, kenapa anak itu belum dateng juga?”
“ Dia tidak akan datang bu. Pernikahan batal.” Ucapku sambil menyerahkan handphoneku pada ibu.
Satu detik
Dua detik
…
“ Ini gila. Gila sekali. Yah, Amelnya nggak mau datang. Ini gimana?”
“ Ada apa Tante?” tanya Aji beitu melihat ibuku panik.
“ Calonnya Eza Ji, dia ngirim pesan katanya nggak mau dateng. Ini gimana?”
“ Kok bisa, Tante?”
“ Nggak tahu Ji. Ayah, ini gimanaaa?” aku hanya bisa diam ketika melihat ibu mulai menangis.
“ Coba telfon nomornya Za.” Perintah Aji. Aku menurut saja. Dan sesuai dugaanku, nomor itu tidak aktif.
“ Nggak aktif Ji.”
Isakan ibu semakin keras ketika aku bilang nomor Amel tidak aktif. Sementara itu, Ayah sedang mencoba menghubungi nomor Pak Tama.
“ Sialan. Tidak diangkat.” maki Ayah kesal. Muka beliau sudah merah padam.
“ Ayah, lakukan sesuatu. Masa iya kita batalin pernikahan ini? Muka kita mau ditaruh dimana yah?” tanya ibu sambil terus terisak.
“ Tenang Tante, Tante tenang dulu.” Ucap Aji sambil mengusap bahu ibu.
“ Gimana tante mau tenang Ji? Anak tante gagal nikah. Muka tante mau ditaruh dimana ini? undangan yang disebar cukup banyak. Apalagi semua adalah keluarga besar.” Ibu terus terisak. Ya Tuhan, apa yang sedang Engkau rencanakan untukku? Dosa apa yang telah aku perbuat sampai hal sememalukan ini menimpa aku dan keluargaku?
“ Seandanya kita ke rumah Tama sekalipun, aku yakin mereka tidak akan ada dirumah.” Ucap Ayah dengan tangan mengepal keras.
Kreeek…
Semua orang yang berada diruangan ini menoleh ketika Luna datang.
“ Toiletnya agak jauh ya? Hotelnya gede.” Ucap Luna begitu masuk. Wajahnya langsung bingung begitu melihat ibuku menangis.
“ Tante kenapa nangis? Terharu ya, anak tante sebentar lagi mau nikah?”
“ Deeek…” Aji tampak mencubit lengan Luna.
“ Apa sih Mas?! Sakit, tau!”
Kreeek
Pintu kembali terbuka. Dan disana kedua orang tua Aji datang.
“ Wah Nak Reza udah gagah banget ini. Aji kapan kamu susul si Reza?” ucap Om Win sambil tersenyum padaku. Om Win ini adalah orang tua Aji.
“ Loh Mbak Arum, kenapa nangis?” tanya Tante Aida ketika melihat ibu terus menangis. Kedua orang tuaku dan orang tua Aji memang sudah kenal sejak lama. Mungkin sejak pertama kali aku dan Aji mulai berteman dekat.
“ Calonnya Reza mbak, dia-” ibu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Om Win, Tante Aida, dan Luna tampak sangat terkejut. Luna bahkan menatapku tidak berkedip. Tatapan anak itu seperti menyiratkan,
“ Bapak yang sabar ya?”
“Ini gimana Mbak Ida? Reza gagal nikah. Mukaku mau ditaruh dimana?” lagi-lagi ibu terus terisak.
“ Aduh gimana ya mbak? Kok bisa jadi kaya gini.” Tante Aida tampak bingung.
“Ehm…” Aku mendengar tiba-tiba Ayahku berdehem cukup keras. Mataku menyipit ketika Ayah berjalan mendekati Luna.
“ Luna,”
“ Iya Om?”
“ Luna mau ya, nikah sama Reza?”
....
Hah?
***
Luna
“ Luna mau ya, nikah sama Reza?”
“ Hah?” Mataku langsung melebar begitu mendengar apa yang barusan Om Burhan katakan. Om burhan ini adalah ayahnya Pak Reza. Aku juga baru tahu hari ini.
“ Ayaaah… jangan bawa siapapun ke dalam urusan keluarga kita. Aku nggak papa kalau memang acara nikahnya batal.” Ucap Pak Reza tegas.
“ Gimana Luna?” tanya Om Burhan lagi. Beliau sama sekali tidak mengindahkan kalimat Pak Reza barusan. Aku barusaja akan menjawab ketika tiba-tiba Mas Aji bersuara.
“ Dek, percaya sama Mas Aji. Dosenmu ini bisa diandalkan.”
“ Maksudnya?” kali ini aku gagal paham dengan kalimat Mas Aji.
“ Ehm…” Mas Aji berdehem.
“ Jujur saja, barusan waktu Om Burhan terang-terangan minta kamu supaya mau nikah sama Eza, aku kaget. Tapi setelah aku pikir-pikir, Eza memenuhi semua kriteria calon suami yang baik. Bukan apa-apa, aku sudah mengenal Eza sejak kapan tahu. Dan aku sudah hapal betul seperti apa dia.” Mas Aji menjeda kalimatnya sejenak sebelum menatap kearah bapak dan ibuk.
“ Sekarang Aji tanya bapak sama ibuk. Bapak sama ibuk setuju nggak kalau misalnya si Eza nikahin Luna?”
“ Kalau ibuk sih ya setuju-setuju aja. Lah Reza itu dari dulu sudah ibuk anggap seperti anak sendiri.”
“Kalau bapak gimana?”
“ Bapak sama kaya ibuk Ji.”
Sebentar, ini kenapa jadi begini sih? Hei… yang diminta nikah sama Pak Reza kan aku? Bukan mereka semua?!
“ Luna mau ya?” kali ini Tante Arum yang bersuara. Tangisnya sudah mulai mereda sejak beberapa saat yang lalu.
“ Aduh gimana ya? Luna masih kuliah, Tante. Skripsi aja baru mulai.” Jawabku berusaha sesopan mungkin. Ketika aku melirik Pak Reza, orang itu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
“ Nah, kamu malah bisa minta bantuan sama Eza. Dia kan dosen pembimbingmu juga.” Balas Mas Aji sambil menunjuk Pak Reza.
“ Mas Aji apa-apaan sih? Lagian Pak Reza kayaknya nggak mau tuh, nikah sama aku. Buktinya dari tadi dia diem terus.” Tukasku santai.
Nah iya kan?
“ Reza, jangan diam terus. Kamu putuskan sekarang. Tetap batal nikah, dengan kosekuensi keluarga kita menanggung malu, atau nikah sama Luna?” tanya Tante Arum setengah mendesak.
“Tante, aku belum jawab ‘iya’ loh ini.” ucapku mengingatkan pada semuanya kalau aku belum setuju menikah dengan Pak Reza.
“Aluna, ikut saya bentar.” Ucap Pak Reza ketika dia sudah berdiri di depanku.
“ Kemana pak?”
“ Ikut saja…”
Akhirnya aku mengekor dibelakang Pak Reza.
“ Pikirkan baik-baik dek.” Ucap Mas Aji sebelum aku keluar dari ruangan itu. Oh iya, ngomong-ngomong adiknya Pak Reza kemana ya? Dari tadi aku belum melihatnya sama sekali.
***
Aku menatap takjup pemandangan yang ada di depanku saat ini. Ketahuilah saudara-saudara, Pak Reza mengajakku ke atap hotel.
“ Aluna…” aku langsung menoleh begitu Pak Reza memanggilku.
“ Iya Pak?”
“ Kamu mau kan, menikah dengan saya?”
Glek~ To the point sekali orang ini?
“ Bapak lagi ngelamar saya?”
“ Kamu boleh menganggapnya begitu.”
“ Kalau saya bilang nggak mau, bapak mau apa?”
“ Saya berharapnya kamu mau.”
“ Bapak nggak ada romantis-romantisnya dih. Nggak mau saya.”
“ Kalau kamu mau menikah dengan saya, saya janji bakal bantu ngerjain skripsi kamu.” Balasnya dengan wajah serius. Seketika aku tersenyum miring.
“ Bapak kok gampang sekali bilang begitu? Saya mana mau mengorbankan masa depan saya hanya karena embel-embel dibantuin ngerjain skripsi. Saya juga bisa ngerjain skripsi sendiri pak. Saya cuma butuh waktu. Meski otak saya pas-pasan, saya yakin saya mampu. Bapak jangan main-main sama saya.” Nada suaraku mulai naik. Gila saja, ini tentang masa depanku coy!
“ Aluna, saya mengerti perasaanmu. Dan kali ini saya serius. Saya tidak sedang main-main.”
“ Saya nggak mau. Titik.” Jawabku sambil berjalan meninggalkan Pak Reza.
“ Aluna…” Aku terkejut ketika tangan Pak Reza menahanku.
“ Apa nih pegang-pegang. Nggak boleh!” Ketusku sambil menepis tangan Pak Reza. Bukannya sok suci, tapi kali ini timing-nya benar-benar lagi tidak pas.
“ Makanya kita nikah biar aku boleh pegang-pegang kamu.” Aku melongo mendengar apa yang Pak Reza katakan.
“ Aku? Kamu? Sejak kapan kita pakai aku-kamu Pak?” Aku mendelik.
“ Aluna, saya tanya kamu sekali lagi.” Eh, si bapak kembali pakai ‘saya’ lagi.
“ Apa?”
“ Kamu mau tidak menikah sama saya?”
“ Bapak tuh sebenernya lagi ngelamar apa maksa sih? Lagian kalau saya nikah sama bapak, apa untungnya buat saya?”
“ Tentu saja banyak. Pertama, kamu akan mempunyai suami tampan seperti saya.” Aku nyaris muntah mendengarnya. Aku tahu Pak Reza memang tampan. Tapi sejak kapan dia jadi senarsis ini?
“Kedua, saya bisa membantu skripsi kamu supaya cepat selesai. Ketiga, saya bisa memperbaiki keturunan kamu kelak.” Lanjutnya santai. Dan kalimat Pak Reza yang terakhir sukses membuatku sangat tersinggung.
“ Memperbaiki keturunan? Memangnya saya sejelek itu?”
“ Bukan begitu, Aluna. Ini maksud saya.” Dia mengetuk pelipisnya dengan jari telunjuk.
“ Oh… iya deh percaya yang pintar. Saya mah apa atuh. Butiran upil. Eh bentar, kok bapak berani-beraninya bahas keturunan sih?”
“ Karena menikah pada akhirnya memang untuk memiliki keturunan.”
“ Aduh pak. Saya pusing. Sudah, saya mau turun.”
“ Kamu belum jawab pertanyaan saya. Kamu mau tidak, menikah dengan saya?”
“ Bapak kok maksa banget sih?”
“ Saya nggak maksa. Saya cuma tanya. Dan kamu belum jawab pertanyaan saya.”
“ Pada intinya kan bapak lagi maksa saya buat bilang iya.”
“ Mau ya?”
Tuh kan?!
Aku belum sempat menjawab ketika tiba-tiba kedua orang tuaku, kedua orang tua Pak Reza, Mas Aji, dan adiknya Pak Reza menyusul kami. Sebenarnya ada beberapa orang lagi. Tapi aku tidak tahu siapa mereka.
“ Za, kita sudah tidak punya banyak waktu. Jadi nikah apa batalin sekalian?” tanya Ayah Pak Reza. Disamping beliau, ibu Pak Reza terus menangis. Aku mengerutkan alis ketika tiba-tiba adik Pak Reza berlari menghampiriku. Dia memelukku sejenak, kemudian menggenggam kedua tanganku.
“ Mbak Una, Mbak Una mau ya, jadi kakak iparku?” setelah mengatakan itu, dia menatap mataku lurus.
“ Mbak Una mau ya?” pintanya sekali lagi. Kali ini dengan senyum yang mengembang. Dan entah dorongan dari mana, detik berikutnya aku mengangguk. Katakan aku plin-plan. Tapi tatapan anak ini benar-benar berhasil membuatku luluh.
Ya Tuhan, semoga keputusanku ini benar. Tapi apa kata teman satu jurusan kalau mereka sampai tahu dosen kesayangan mereka aku embat? Haduh…!
***