Bertemu Si Kecil untuk Pertama Kali

1675 Kata
“Kenapa? Kamu lagi mens?” Ashana hanya bisa dia memaku. Sama sekali tak menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan sang kekasih. Dia bingung harus menjawab apa. Mengabarkan kehamilannya pada Rakyan saat ini jelas bukan waktu yang tepat. Atau, lebih tepatnya tak akan pernah ada waktu yang tepat. Rakyan membingkai wajah wanita cantik itu dengan kedua tangannya. Ditatapnya Ashana dalam-dalam. Wanita itu menggigit bibir bawahnya sedikit bergetar. Ia takut Rakyan menyadari kalau dirinya tengah menyembunyikan sesuatu. “Memang sudah tanggalnya?” Perlahan, Ashana menghirup udara dan mengembuskannya dengan hati-hati. Kekasihnya tak boleh mengendus kepanikannya. Bergerak pertama, ia pun menyematkan satu kecupan di bibir laki-laki yang masih setia menatapnya dengan tatapan penuh cinta yang menggelora. “Aku lagi nggak mood. Lagi ngerasa nggak nyaman banget di kantor. Banyak kerjaan. Kalau dipaksa, nanti malah nggak enak hasilnya. Skip dulu, ya.” Laki-laki itu mengangguk lemah karena terpaksa. Padahal ia sudah begitu semangatnya ingin menggarap sang kekasih. Kepulangannya dari dinas sengaja dipercepat karena rasa rindunya begitu menggebu pada Ashana. Namun, pil pahit harus ditelan. Keinginan yang memuncak itu harus ditahan. Ashana yang merasa bersalah pun berusaha mencari alternatif lain untuk memuaskan kekasihnya. Ia akan menggunakan kelihaian tangannya untuk memuaskan Rakyan. Meskipun tak bisa menghabiskan waktu di ata ranjang sambil mengerang dalan kenikmatan, setidaknya ia bisa membantu laki-laki itu untuk menyalurkan keinginannya. Ia paham betul kalau mood kekasihnya akan sangat buruk tiap kali menahan gejolak. Dalam hati, wanita itu tak tahu sampai kapan ia bisa menyembunyikan semuanya, Satu minggu? Sebulan? Entahlah. Rakyan mengerang kencang meneriakkan nama Ashana saat mencapai kepuasan yang didapatnya dari kelihaian permainan tangan sang kekasih. Deru napasnya masih tak teratur. Darahnya masih terasa menghangat. Merasa lega, itulah yang ia rasa saat ini. “Kalau kamu sudah mood, kita main ya, Sayang,” pintanya pada Ashana. Kedua manik matanya menampilkan sorot penuh harap. Laki-laki itu melengkungkan senyuman saat mendapatkan anggukkan dari sang kekasih. “Thanks. Bad mood-nya jangan lama-lama. Nanti aku kangen.” Ashana mengangguk, masih berusaha untuk menyembunyikan kegelisahan yang bersemayam di benaknya. Rasanya kepala wanita itu akan pecah. Ternyata, berat sekali menyembunyikan kenyataan. Berat tiap kali membayangkan respons laki-laki itu. Rakyan menyeret wanitanya ke dalam pelukan. Wangi tubuh Ashana selalu menjadi candu untuknya. Kini, keduanya tengah bersandar di sofa ruang tengah. Laki-laki itu meletakkan kepala sang pujaan hati di dadanya agar memudahkannya mengecup keningnya. Rakyan dibuat panik seketika saat melihat Ashana yang berlari ke arah kamar mandi. Wanita itu menunduk di depan wastafel. Ashana melarangnya masuk ke kamar mandi. Satu tangannya yang mengudara menghalaunya untuk tetap menjauh. Laki-laki itu gegas mencari kotak obat yang disiapkannya di apartemennya. Mencari apapun yang dipikir bisa meredakan rasa mual. Sebotol minyak angin dan satu strip obat lambung menjadi pilihannya. Ashana keluar kamar mandi dengan keadaan sedikit kacau. Bagian depan blouse yang dikenakannya basah karena air saat membasuh wajah. Wanita itu kembali mendudukkan diri di sofa. “Pakai minyak angin dulu,” ucap Rakyan seraya menyerahkan botol minyak angin itu ke tanga Ashana. “Mood kamu kayaknya lagi jelek banget. Sampai mual kayak begini. Mau berobat aja?” Gegas wanita itu menjawabnya dengan gelengan tegas. Rakyan pun merespons dengan anggukkan. Laki-laki itu sadar kalau kekasihnya memang sulit diajak berobat tiap kali sedang sakit. “Ya sudah. Pakai minyak anginnya dulu. Istirahat di kamar, mau?” tawarnya. Ashana menggeleng. “Mau di sini aja?” “Iya. Di sini aja sekalian nonton TV. Temenin aku ya, Bie.” *** Dari hari ke hari, kondisi Ashana semakin payah saja. Ia mudah merasa lelah, padahal sebelumnya wanita itu dikenal begitu energik dan bersemangat. Sebelum on cam, ia akan dirias. Kalau biasanya dirinya akan sibuk berbincang dengan sang juru rias, maka tidak kali ini. Wanita itu lebih memilih untuk tidur. Akhir-akhir ini memang tidurnya tidak tenang. Kerap kali bangun di tengah malam karena harus berlari secepat mungkin meraih wastafel. Ya, mual muntahnya datang tak kenal waktu. Terlebih saat mencium aroma-aroma yang menurut indera penciumannya aneh. Waktu siarannya hanya tinggal beberapa menit lagi. Ashana sudah siap di mejanya. Sorot lampu sudah menerangi seisi studio. Sebelumnya, ia sudah menyempatkan diri untuk mengoleskan minyak angin di bagian bawah hidung, pelipis dan tengkuk. Selama satu jam ke depan, ia benar-benar harus menahan diri. Jangan sampai melakukan kesalahan karena acaranya disiarkan secara langsung. “Sekian berita yang dapat saya sampaikan hari ini. Sampai jumpa esok hari.” “CUT!” Wanita itu bisa bernapas lega. Pekerjaannya lancar. Rasa mualnya tak muncul mengganggu. Ashana merapal syukurnya dalam hati. Janinnya bisa diajak bekerja sama. Setiap sebelum memulai pekerjaan, wanita itu memang selalu mengajak janin yang ada di kandungannua bicara. Meminta si kecil itu untuk bersikap baik. Memohon agar si kecil bisa membantunya melalui hari dengan lancar dan tanpa hambatan. Terima kasih karena sudah mau bantu Mama ya, Nak. Terima kaasih karena kamu sudah nggak rewel. Naluri keibuannya bisa saja sudah benar-benar muncul. Wanita itu mengusap dengan penuh saya perutnya yang masih rata. Sampai saat ini, ia masih belum bisa memeriksakan diri ke dokter kandungan. Jujur, dalam hatinya Ashana begitu penasaran dengan keadaan janin yang menghuni rahimnya. Bagaimana perkembangannya? Sehatkah ia? Sudah berapa besar ukurannya? Ia sangat penasaran. “Mbak Shana mau dibersihkan make-upnya?” tanya sang juru rias yang hampir dua tahun ini meriasnya setiap kali akan siaran. Ashana mengangguk. “Oh, iya. Mbak Citra sudah berapa bulan hamilnya?” tanya Ashana. Wanita itu baru sadar kalau juru riasnya itu tengah mengandung. Perut Citra memang sudah tampak sedikit membuncit. “Sudah jalan 4 bulan, Mbak,” jawab Citra. Wanita itu baru saja menuang toner ke sehelai kapas wajah. “Dibersihkan dulu ya, Mbak.” Ashana menikmati dinginnya kapas ber-toner itu saat diusap di kulit wajahnya. Tak butuh waktu lama, wajahnya sudah bersih dari riasan. Wanita itu memang tak begitu suka membiarkan wajahnya berlama-lama dalam sapuan riasan. Tak baik untuk kesehatan kulit, katanya. “Kalau periksa di rumah sakit?” ucap Ashana. Citra mengangguk. “Setiap bulan ya, Mbak?” “Iya, Mbak. Setiap bulan saya sih ditemenin suami periksa ke rumah sakit. Kan USG, Mbak. Dilihat perkembangan janinnya. Kenapa, Mbak?” Ashana terdiam. Tangannya tanpa sadar mengusapi perutnya. “Oh, nggak apa-apa. Aku tuh suka penasaran aja sama ibu-ibu yang lagi hamil. Sehat selalu ya, Mbak Citra.” *** Di sinilah Ashana. Wanita itu kembali berdiri di lobi sebuah rumah sakit yang sebelumnya sudah ia kunjungi. Tekadnya sudah bulat. Hari ini, ia harus memeriksakan kandungannya. Wanita itu diminta menunggu setelah mendaftarkan diri di nurse station. Selain dirinya, ada beberapa wanita yang juga menunggu giliran. Yang membedakan dirinya dengan wanita-wanita itu adalah keberadaan suami yang menemani. Ia sendirian. Cukup lama ia menunggu sampai akhirnya namanya dipanggil. Ashana masuk ke ruang praktik dokter. Wanita itu menjelaskan maksud kedatangannya pada seorang dokter perempuan berusia di akhir 40an. Alat tes kehamilan dengan hasil positif pun ditunjukkannya. “Jadi, baru testpack aja ya, Bu?” tanya dokter kandungan bernama Fatimah. Ashana mengangguk. “Baik. Kita periksa dulu, ya.” Ashana merasa sedikit gemetar saat membaringkan tubuhnya di atas sebuah ranjang pemeriksaan. Seorang perawat pendamping menyibak atasn yang dikenakannya. Sensasi dingin turut dirasa saat gel diratakan di permukaan kulit perut wanita itu. “Kita coba USG abdomen dulu. Kalau sekiranya nggak kelihatan janinnya, kita pakai USG transvaginal.” Ashana hanya mengangguk. Ia sama sekali tak peduli apa yang akan dilakukan Dokter Fatimah pada dirinya. Yang ia inginkan hanyalah mengetahui kondisi janin yang dikandungnya. Alat itu bergerak perlahan di permukaan kulit. Ashana memperhatikan layar yang tersaji di hadapannya. Layar itu menampilkan pemindaian bagian dalam perutnya. Di mana bayinya? Dokter Fatimah tersenyum. Seketika pergerakan alat itu pun turut berhenti. Ashana dibuat bingung. Ada apa? “Ada apa, Dok?” tanyanya penasaran. “Selamat ya, Bu. Ibu benar positif hamil. Ini bayinya.” Titik hitam. Ya, janinnya masih berbentuk titik hitam. Tanpa sadar wanita itu pun tersenyum. Entah kenapa rasanya begitu membahagiakan sekaligus lega. Saat ini, ia begitu merasa dimanjakan dengan pemandangan yang terlihat di layar. Itu janinnya. Anaknya dan Rakyan. Hatinya menghangat begitu saja. Titik kecil itu membuat Ashana ingin melindunginya sampai kapan pun. Apa bisa? “Itu bayi saya, Dok?” ucap Ashana kembali memastikan. Ia masih merasa tak percaya. Dokter Fatimah kembali mengangguk. “Sehat kan, Dok?” “Sehat, Bu,” sahut Dokter Fatimah. “Syukurlah.” “Mulai sekarang, Ibu harus lebih aware dengan kesehatan.” Dokter Fatimah kembali menggerakkan transducer di atas permukaan perut Ashana. “Sekarang ada bayi. Dua.” “Ma—maksudnya, Dok?” “Ini bayi yang satunya. Janinnya kembar. Ini bayi yang pertama dan itu yang kedua.” Bukan main! Ashana bagai disambar petir di sore hari. Kembar? Ada dua bayi yang kini menghunu rahimnya. Mereka tengah berusaha untuk bertahan hidup di sana. Ashana senang. Sangat bahagia. Namun, seiring dengan kenyataan yang terjadi, ia pun semakin dibuat bingung. Satu bayi saja sudah cukup membuatnya merasa bingung. Sekarang, justru ada 2 bayi. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya? “Dok, dua-duanya sehat, kan?” Pertanyaan itu kembali digaungkannya. “Sehat, Bu. Mereka sehat. Untuk saat ini, Ibu nggak boleh terlalu lelah. Mohon untuk kurangi aktifitas. Jangan angkat yang berat-berat.” Dokter Fatimah sudah kembali duduk di kursinya. Begitu pula Ashana. Wanita itu sudah duduk kembali di kursi pasien. Ashana menyampaikan semua keluhan yang dirasanya selama dirinya mendapatkan hasil positif di alat tes kehamilan. Dokter Fatimah bilang, kondisi itu adlah keadaan normal yang biasa dirasakan ibu hamil di trimester pertama. “Tapi, saya kok ngerasa mualnya parah banget ya, Dok? Saya bisa benar-benar lemas setelahnya.” “Kehamilan kembar memang biasanya sedikit berbeda dengan kehamilan tunggal, Bu. Efek kehamilannya bisa dua kali lipat lebih berat. Biasanya mual muntah akan mulai mereda saat masuk trimester kedua. Saya akan resepkan obat mual muntah untuk Ibu konsumsi. Dijaga pola makannya. Saya paham di saat-saat begini, memang susah untuk makan. Tapi, Ibu harus tetap paksakan. Si Kembar nutuh nutrisi untuk tumbuh dan berkembang.” “Ba—baik, Dok.” Ashana menyimpan foto hasil USG kedua bayinya di dalam tas. Entah kapan wanita itu bisa menunjukkan foto itu pada sang kekasih. Yang harus dilakukannya saat ini adalah menjaga kedua calon bayinya. Kalian harus sehat, ya. Mama nggak tau apa yang akan terjadi nantinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN