Mengakui Kehamilan

1665 Kata
Ashana terkejut sesampainya di rumah. Kakak laki-laki satu-satunya yang terbilang sangat jarang pulang ke rumah, kini ada di hadapannya. Dekat ribut. Jauh rindu. Wanita itu memeluk erat Akbar—anak sulung di keluarga ini. Bisa dibilang, secara keseluruhan Akbar adalah sosok kakak laki-laki yang demi apapun menjadi idaman banyak adik di seluruh dunia. Sebenarnya, laki-laki itu begitu menyayangi adiknya. Selalu melindungi dan memastikan tak ada satu pun orang yang mengganggu adik kesayangannya itu. Namun, tiap kali sifat usilnya muncul, ia tak akan pernah ragu untuk menggoda adiknya. Laki-laki itu kerap merasa gemas tiap kali melihat wajah kesal sang Adik. “Kamu pulang, Mas?” ucap Senja bahagia. Akbar mengangguk. “Ih. Lama banget kamu nggak pulang. Sibuk banget sekarang, nih. Kangen banget loh aku sama kamu.” “Kangen berantemnya ya, Shan?” sahut Akbar jahil. Ashana sontak mencubit pinggang setengah berisi milik sang Kakak dengan kuat. “Sakit banget, Ashana! Kamu tuh, ya. Katanya kangen. Masnya pulang kok malah dicubitin.” “Habisnya kamu nyebelin banget. Suka banget ngajak berantem.” “Kamu dari mana? Kok jam segini baru pulang. Siaran bukannya sudah selesai dari tadi.” Mati aku. Jawab apa? Ashana terdiam untuk beberapa detik. Ia bingung memikirkan jawaban atas pertanyaan sang Kakak. Tak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, kan? Bisa mati dirinya dan Rakyan di tangan Akbar. Akbar yang penasaran pun memicingkan mata seraya menatap adiknya. Laki-laki itu bisa mengendus setiap kali sang Adik sedang berbohong. Namun, permainan Ashana begitu halus. Bertahun-tahun berada di depan kamera sedikit banyak mengajarkan dirinya beramain akting dengan baik. “Oh, tadi ada acara makan-makan di kantor. Ada yang dapat promosi jabatan. Lumayan kan makan gratis.” “Oh.” Akbar beroh ria. Laki-laki itu memindai tubuh Ashana dari atas sampai ke bawah. Seperti ada sesuatu yang berbeda dengan wanita itu. “Shan, aku perhatiin kayaknya ada yang beda sama kamu. Tapi, apa ya?” Ashana seketika dibuat gemetar. Apa yang ditangkap mata kakaknya yang usil ini? Mungkinkah ukuran perutnya sudah terlihat? Rasanya belum. Laki-laki itu masih setia memindai. Tak lama, ia pun menyeringai usil. “Kamu agak gemukan nggak, sih?” ucapnya disertai tawa yang terdengar begitu meledek. Ashana semakin dibuat panik. Jemarinya mulai terpilin. “Makanya, jangan terlalu banyak makan. Tuh kamu sekarang nambah bulat. Bahaya banget kalua sampai Kian nggak suka sama kamu lagi.” Wanita itu bisa bernapas lega. Setidaknya ia dianggap makan terlalu banyak. Ashana hanya bisa menyunggingkan senyuman seolah dirinya merasa sedikit tersinggung. “Awas aja kamu ya, Mas!” Kedua adik-kakak itu saling berkejaran. Ashana lupa kalau dirinya tengah membawa dua nyawa. Saat ingat, ia pun menghentikan lari dan lebih memilih untuk mengabaikan sang Kakak. Wanita itu naik ke lantai atas, ke kamarnya. Pintu kamar sudah dikunci. Ia kembali membuka tas dan mengamati foto USG kedua bayinya. Tangannya terulur mengusapi perut. Perutnya akan semakin bertambah besar. Kapan Mama harus kasih tau Papa? Kita nggak bisa begini terus, Nak. *** Rakyan dibuat sibuk dengan segala macam urusan kantor. Berdua, bersama sang Kakak—Arkana, sepertinya ia harus lembur sampai tengah malam nanti. Beberapa kali laki-laki itu menilik ke arah jam dinding. Kenapa rasanya waktu berputar sangat lambat? Bahkan, seharian ini karena saking sibuknya ia tak sempat menghubungi sang kekasih. Mereka tak bertemu selama beberapa hari. Ia ingin semua pekerjaannya segera selesai. Kemolekkan tubuh Ashana selalu sukses membuatnya kehilangan fokus. Rakyan merindukan kekasihnya! “Ki, ngapain sih dari tadi ngelihatin jam terus? Lo ada janji sama seseorang?” tanya Arkana yang beberapa kali sempat mendapati Rakyan menoleh ke arah dinding. “Kapan selesainya sih kerjaan ini, Mas? Gue capek banget pengin istirahat,” keluhnya. Rakyan lagi-lagi meregangkan otot-ototnya. Entah untuk yang ke berapa kalinya dalam sehari ini. “Kangen banget sama Shana. Mau pacaran. Seharian gue belum hubungi dia. Mau telepon dia dulu boleh nggak?” Arkana mengangguk. Ia tahu betapa besar cinta adiknya itu pada sang kekasih. Ia juga merasa bersalah karena sudah membebani banyak pekerjaan padanya. “Jangan lama-lama, ya. Kerjaan masih banyak. Papa minta supaya semuanya cepat diselesaikan,” pesan Arkana sebelum Rakyan larut dalam perbincangan penuh cinta dengan Ashana. Adiknya mengangguk dan meninggalkannya di ruangan seorang diri. Di sinilah Rakyan sekarang. Di ruangan kerjanya. Tak punya waktu lama, ia tak boleh membuang-buang kesempatan. Sebelum menelepon, ia kembali memeriksa jam. Semoga Ashana belum tidur, harapnya. Nada sambung berbunyi. Teleponnya tak juga diangkat. Ia kembali menelepon sampai beberapa kali. Sampai akhirnya .... “Ya, Bie,” sapa Ashana dari seberang. Suaranya terdengar begitu lemah. Rakyan seketika dibuat khawatir. “Ada apa, Bie?” “Kamu kenapa? Kok suaranya lemas banget. Sakit lagi?” tanyanya panik. “Berobat aja, Sayang.” “Sudah, kok. Aku memang lagi nggak enak badan aja. Masih masuk angin.” “Kan sekarang sudah nggak siaran tengah malam. Sudah diminum obatnya?” “Sudah. Kamu telepon ada apa?” “Sorry karena baru sempat telepon. Kerjaan kantor lagi numpuk banget. Papa minta diselesaikan cepat karena lusa aku sama Mas Arkan ada dinas ke luar kota.” “Lama nggak perginya?” Terdengar nada kecewa dari pertanyaan Ashana. Rakyan sontak dibuat merasa bersalah. Laki-laki itu terlalu sering meninggalkannya karena alasan pekerjaan. “Bie, lama perginya?” “Nggak, kok. Pagi berangkat sorenya sudah balik lagi ke Jakarta. Kenapa?” “Nggak apa-apa. Jangan lama-lama aja. Kita sudah beberapa hari ini nggak ketemu. Masak sih kamu nggak kangen sama aku.” “Sayang, mood kamu sudah baik?” tanya Rakyan. Kalau sudah menyinggung hal ini, jelas tahu ke mana arah pembicaraan akan dibawa. “Sudah happy belum?” “Ke—kenapa, Bie?” sahut Ashana terbata. “Kita sudah lama nggak main loh, Sayang. Aku kangen.” “I—iya. Nanti kalau meet up.” Ashana terdiam selama beberapa saat. Kini, Rakyan mendengar suara sang kekasih yang sepertinya sedang memuntahkan isi perutnya. Muntah lagi? Kenapa sih sebenarnya? Apa yang terjadi? “Maaf ya, Bie. Aku mual banget.” “Kamu tuh kenapa, sih? Kayaknya akhir-akhir ini sering banget muntah. Pola makan kamu lagi sembarangan banget, ya?” “Kayaknya sih begitu. Bie, sudah dulu. Aku mau tidur. Besok bangun subuh karena ada siaran pagi.” “Ya sudah. Aku kabari kamu kalau mau ketemu, ya. I love you.” “Love you too, Bie.” *** Pekerjaannya di luar kota sudah selesai. Rakyan lega karena bisa segera menemui kekasihnya. Beberapa oleh-oleh juga sudah disiapkan untuk Ishana. Selembar kain batik tulis dan camilan khas dari Solo mengisi sebuah paperbag. Sebelumnya, ia sudah mengirim pesan pada Ashana dan mengatakan pada wanita itu kalau dirinya menunggu di apartemen. Ia tak bisa menjemputnya ke rumah karena langsung dari bandara. Bunyi kode keamanan pintu unit. Rakyan tak bisa menyembunyikan betapa bahagianya ia saat ini. Akhirnya, rindu yang terpendam selama beberapa hari bisa tersalurkan. “Sudah datang, Sayang,” ucapnya saat melihat Ashana memasuki ruangan. Wanita itu terlihat sedikit pucat. Rakyan pun segera menuntunnya untuk duduk di sofa. “Kamu pucat banget. Akhu khawatir. Kita ke rumah sakit, ya.” “Nggak usah. I’m fine, Bie. Aku mau rebahan sebentar. Pusing banget kepalaku,” pinta Ashana. Rakyan pun tak bisa berbuat banyak selain mengiyakan. “Kerjaan kamu sudah selesai semuanya, Bie?” “Sudah,” jawab Rakyan. “Semuanya sudah selesai. Maaf karena sudah terkesan abai sama kamu. Aku harus kerja.” Ashana yang mulai terpejam pun mengangguk lembut. Rakyan memilih ke dapur dan membuatkan secangkir minuman hangat untuk kekasihnya. Melihat kondidi Ashana yang lemah seperti itu rasanya tak akan mungkin untuk menggarapnya. Ia tak tega. Dengkuran halus pun terdengar. Rakyan menempelkan telapak tangannya di kening Ashana. Suhunya normal. Tidak demam. Lalu, apa yang membuat kekasihnya sepucat itu? Rakyan mengangkat tubuh sang kekasih dan memindahkannya ke kamar. Tidur di sofa bukanlah pilihan yang baik. Ia pernah semalaman tidur di sofa dan berakhir pegal-pegal keesokan harinya. “Tidurnya pulas banget,” ucapnya pelan. Diabsennya wajah ayu itu inchi demi inchi. “Cantik banget pacar aku.” Ashana menggeliat. Tidurnya sekana tidak nyaman. Wanita itu tiba-tiba terbangun dan buru-buru lari ke kamar mandi. Rakyan panik dan mengikutinya. Dipijatnya tengkuk Ashana. Wanita itu terlihat kelelahan setelah memuntahkan isi perutnya. “Kamu kenapa lagi?” tanya Rakyan. “Kita ke rumah sakit, ya. Aku nggak mau ada apa-apa sama kamu. Kalau sudah ketahuan sakitnya apa, kita bisa segera obati. Jangan sampai terlambat.” Rakyan sudah mencengkram pergelangan tangan Ashana dan siap membawa wanita itu ke rumah sakit. Laki-laki itu benar-benar dibuat khawatir sekaligus panik di satu waktu. Tak pernah ia melihat kekasihnya selemah dan sepucat ini sebelumnya. Biasanya, meskipun sakit Ashana akan tetap terlihat ceria. Namun, kali ini sangatlah berbeda. Aura ceria itu menghilang begitu saja. “Pakai jaketku,” ucap Rakyan sembari menyerahkan jaketnya ke tangan Ashana. “Kita langsung ke IGD aja supaya kondisi kamu bisa langsung diperiksa. Aku ambil kunci mobil dulu.” “Bie,” cicit Ashana. “Kenapa, Sayang?” sahut Rakyan. “Nggak usah ke rumah sakit. Aku sudah ke rumah sakit.” “Benar? Jangan bohong. Kamu tau kan aku khawatir banget sama keadaan kamu. Kamu muntah terus akhir-akhir ini. Ada banyak penyakit yang gejala awalnya muntah-muntah. Semua bisa terjadi, Ashana.” Dengan gemetar, Ashana meraih tasnya. Ia merapal doa dalam hati. Semoga keputusan yang dibuatnya adalah yang terbaik. Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Wanita itu mengeluarkan hasil pemeriksaan di dokter kandungan. “Ini.” Ashana menyerahkan testpack dengan ahsil positif dan selembar hasil foto USG. “Aku nggak sakit, Bie. Ini hasil pemeriksaannya.” Rakyan menerima apa yang Ashana sodorkan padanya. Ia bukanlah orang yang bodoh. Laki-laki itu paham hasil pemeriksaan itu. Ya Tuhan, kenapa ini bisa sapai terjadi. “Kamu ....” Napasnya tercekat. Ucapannya tak bisa dilanjutkan. Rasanya sulit sekali itu mengatakan satu kata itu. Hamil. Ashana mengangguk, meskipun kalimat Rakyan tak berlanjut. Wanita itu menunduk. Ia tak siap mendengar apa yang akan dikatakan kekasihnya selanjutnya. “Jangan bercanda. Ini nggak mungkin benar, kan?” ucap Rakyan. “Nggak, Bie. Aku sudah periksa ke dokter kandungan. Aku hamil.” Ashana pasrah saat melihat Rakyan melempar testpack dan foto USG itu sembarangan. Kekasihnya akan segera meledak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN