“Kamu ngapain di rumah sakit, Shan?” tanya seorang wanita yang sudah dua tahun lebih menjadi tetangganya. “Sama Mama juga?”
“Nggak, Bulik. Aku sendirian ke sini nengok teman yang lagi dirawat,” ucapnya bohong. Bulik Yanti—Ibunya Hanan pun sama sekali tak terlihat curiga. “Bulik sendiri ke sini ngapain?”
“Sendirian. Teman Bulik dirawat habis operasi usus buntu.”
Ashana mengangguk paham. Ia mengembuskan napas lega. Hari ini hidupnya terselamatkan. Keduanya berjalan beriringan menuju parkiran mobil. Ashana mengajak Bulik Yanti pulang dengan menumpang mobilnya.
Di sepanjang perjalanan, keduanya berbincang. Perjalanan menuju rumah masih panjang, ditambah jalanan yang lumayan macet. Ashana yang fokus pada kemudi merasa kalau wanita yang duduk di sebelahnya ingin menanyakan sesuatu padanya.
“Hanan sama Tisha kapan jadinya, Bulik?” tanyanya berbasa-basi. “Katanya mau lamaran?”
“Nggak tau lah, Shan. Orang tuanya Tisha banyak maunya. Mau pesta yang besar. Hanan kan duitnya nggak sebanyak itu.”
“Tapi, mereka masih jalan?” sahut Ashana. Bulik Yanti mengangguk. “Ya dibicarakan baik-baik aja. Sayang banget hubungan mereka sudah lumayan lama.”
“Dua tahun ya nggak lama-lama banget, sih.” Bulik Yanti yang semula menatap ke luar jendela pun seketika memandang Ashana. “Kamu sendiri gimana? Sudah ada omongan ke arah yang serius sama Kian, kan?”
Cengkramannya di kemudi mengetat. Sudah. Perbincangan itu sudah ada. Apalagi mengingat keadaannya sekarang rasanya Ashana mengingkan agar kekasihnya itu segera menikahinya. Namun, semua tak semuda itu. Membayangkan ekspresi laki-laki itu saja sudah membuat hidupnya tidak tenang.
wanita yang berprofesi sebagai penyiar itu membuat posisi duduknya yang tadinya terlaru lurus menjadi sedikit lebih santai. Lampu merah di depan pertanda kemacetan bertambah parah. Timer masih menghitung mundur.
“Kami berdua masih mau fokus sama karier masing-masing dulu, Bulik. Apalagi kerjaanku kan suka tiba-tiba. Kadang malah harus liputan ke luar kalau ada kejadian besar. Tapi, omongan soal pernikaha sudah ada, kok.”
“Kian baik kan sama kamu, Shan?” tanya Bulik Yanti tiba-tiba. Ashana menjawabnya dengan sebuah anggukkan. “Syukurlah.”
“Kenapa, Bulik? Kok tanyanya begitu?”
“Kayaknya Hanan nggak pernah cerita ke kamu soal ini. Dulu, Bulik lupa kapan pastinya. Kayaknya pas kalian masih SMA. Hanan cerita ke Bulik kalau dia sudah lama suka sama kamu.”
Apa? Suka dengannya? Kok bisa?
“Maksud Bulik?”
“Ya dia suka smaa kamu, tapi karena kalian sudah kenal dari kecil Hanan lebih milih nggak melanjutkan perasaannya. Dia nggak mau ngerusak persahabatan kalian. Sebenarnya Hanan minta supaya soal ini nggak sampai kedengaran kamu. Hanan nggak mau sikap kamu berubah ke dia. Tapi, berhubung sekarang masing-masing dari kalian sudah punya pasangan, Bilik pikir nggak apa-apa. Toh, itu juga sudah lama banget. Hanan lega kalau akhirnya kamu nemuin laki-laki baik. Makanya, Bulik tanya Kian baik atau nggak”
Ashana tercenung. Lampu yang sudah berubah hijaun pun terabaikan. Suara klakson mobil-mobil di belakang yang bersahutan langsung membuyarkan lamunannya. Bagaimana mungkin teman kecilnya—teman bermain sampai tidur siang seranjang bisa menaruh hati padanya? Bagaimana Ashana bisa bersikap seperti biasanya setelah mengetahui kenyataan ini?
Selama ini, wanita itu sudah menganggap seorang Hanan tak lebih dari seorang sahabat dan kakak kali-laki baginya. Laki-laki yang usianya sepantaran dengan dirinya itu memang selalu ada untuknya. Bahkan, Hanan setia mendengarkan curahan hatinya setiap kali Ashana bercerita perihal laki-laki, termasuk Rakyan.
“Shan, lampunya sudah hijau.”
***
Sebagai langkah awal karena batal memeriksakan diri ke dokter kandungan, Ashana membeli vitamin yang biasanya dikonsumsi banyak wanita hamil di awal kehamilan. Tak berani membayangkan apa yang mungkin akan terjadi nantinya, setidaknya ia sudah melakukan yang terbaik selagi masih bisa menjadi wadah bernaung bagi calon bayinya.
Ashana membeli beberapa kotak s**u hamil rasa cokelat. Sadar tak mungkin membeli kemasan kerdus, alternatif itu dipilihan. Selain jauh lebih praktis, juga lebih aman karena tak harus ribet menyeduhnya.
Saat bangun tidur, ia sudah mulai merasakan mual. Bahkan, selama beberapa hari saat menjalankan siaran pagi, Ashana harus dengan susah payah menahan mual. Tak mungkin ia lari ke kamar mandi selama kamera menyorot ke arahnya, kan? Saat jeda pariwara lah ia bisa langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya.
“Lo lagi sakit, Shan?” tanya Robi—partner siaran paginya. Ashana mengangguk lemah. “Masuk angin? Kayaknya sudah beberapa hari ini gue lihat lo agak pucat.”
“Iya. Masuk angin. Kayaknya untuk sementara waktu gue nggak bisa ambil siaran malam dulu, deh. Masih butuh istirahat.”
“Ya sudah lo ngadep aja ke bos biar langsung digantiin sama yang lain. Maria kayaknya bisa gantiin lo untuk sementara.”
Mengikuti saran Robi, Ashana akhirnya menemui bos dan meminta seseorang menggantikan jadwal siaran malamnya untuk sementara waktu. Ia mudah merasa lelah akhir-akhir ini. Ashana tak mau membahayakan kondisinya dan kondisi janinnya.
Bos setuju. Penyiar lain akan menggantikan posisinya sementara waktu. Ia hanya akan dibebankan siaran pagi.
Rakyan mengirimkan pesan padanya. Sudah hampir seminggu ini keduanya tak bertemu. Sama-sama sibuk, ditambah laki-laki itu yang harus pergi ke luar negeri demi urusan bisnis keluarganya.
Bie : Kamu sudah selesai siaran, kan? Aku jemput kamu, ya. Aku nggak kerja hari ini. Masih capek karena baru balik. Aku kangen makan kamu, Yang.
Ashana menggenggam ponselnya erat. Bagaimana ini? Bagaimana kalau Rakyan memintanya untuk memuaskan?
Ashana : Okay, Bie. Jemput di tempat biasa.
***
Keduanya sudah tiba di apartemen Rakyan. Sebuah koper yang ia yakini dibawa laki-laki itu selama perjalanan dinas pun masih teronggok di ruang tengah. Ashana duduk di sofa sambil menonton televisi, sementara Rakyan sibuk di dapur entah membuat apa.
Laki-laki itu menyodorkan secangkir cokelat panas ke arahnya. Cuaca terasa dingin. Di luar gerimis. Rakyan duduk di sebelah Ashana. Seminggu terpisah membuatnya begitu merindukan wanitanya.
Ashana paham apa yang sedang dilakukan kekasihnya. Tangan Rakyan sudah mulai meraba bagian dadanya. Remasan pelan yang membuat wanita itu menjerit pun tercipta. Laki-laki itu terkekeh geli. Ia suka mendengar setiap jeritan yang dibuat Ashana saat dirinya menggarap wanita itu.
Mereka b******u mesra. Ashana tanpa sengaja menyentuh bukti gairah sang kekasih yang sudah menegang sempurna. Ia ketakutan.
Semakin memanas. Bahkan, hasratnya pun sudah terpancing dan bisa meledak dengan cepat. Sebelum semuanya terlambat—sebelum Rakyan membawanya ke atas ranjang, ia harus segera mengakhir semua ini. Rakyan kerap kali bermain dengan brutal. Dan itu akan sangat membahayakan janinnya.
“Mau di sini atau di kamar?” tanya Rakyan saat cumbuan itu berakhir.
“Bie, aku nggak bisa. Sorry.”
“Maksud kamu?” sahut Rakyan dengan nada bingung bercampur kecewa. “Apanya yang nggak bisa?”
“Jangan, ya. Aku nggak bisa main.”
“Kenapa? Kamu lagi mens?”