Rakyan masih terdiam. Tak ada satu pun kata yag keluar dari mulutnya. Bukti Ashana tengah mengandung pun masih berhamburan di lantai. Ashana berjongkok menunguti satu per satu. Wanita itu kembali duduk. Ia hanya bisa tertunduk.
Helaan napas berat Rakyan semakin menambah ketakutan yang Ashana rasa. Kekasihnya meluruskan kedua kaki dan menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Rakyan menjambak kasar rambutnya.
“Bie ....”
Rakyan acuh tak acuh. Giliran Ashana yang menghela napas. Keadaan sedang tidak baik-baik saja.
“Bie, aku hamil. Ini anak kita.” Ashana mengusap lembut perutnya.
Rakyan berjalan ke arah dapur, menuju lemari es. Laki-laki itu mengeluarkan sebotol air mineral, membukanya dengan kasar dan menenggaknya sampai benar-benar habis. “Gimana bisa? Berkali-kali kita ngelakuin ini tanpa pengaman. Kamu nggak pernah hamil! Kenapa sekarang kamu justru hamil?”
“Aku nggak tau, Bie,” isak Ashana. Ia mulai menangis.
“Kamu tau kan kalau aku nggak pernah siap untuk semua ini, Sayang. Kamu tau, kan?”
Seketika bayang-bayang penolakan dan dianggap sebagai anak pembawa sial oleh sang Mama pun melintas di otak Rakyan. Semua yang terjadi membuatnya tak pernah mau membangun sebuah komitmen. Apalagi punya anak!
“Tapi, Bie. Aku hamil anak kita.”
Rakyan berteriak kesal. Emosinya meluap. Ia sama seali tak senang dengan kabar ini. Hal ini jelas bukanlah yang diinginkannya.
Beberapa kali berteriak dan melempar barang sembarangan pun dilakukan untuk meluapkan amarah. Ashana takut. Ia takut kekasihnya melukai diri atau melukai dirinya dan dan anak mereka.
“Bie, aku mohon tenang dulu,” pinta Ashana sambil terisak. Diusapnya lengan kokoh sang kekasih seraya sesekali dikecup. “Tenang dulu. Jangan kayak begini. Kamu bikin aku takut, Bie. Aku takut.”
Deru napas Rakyan yang memburu karena emosi pun perlahan turun. Tubuh Ashana sedikit bergetar. Kekasihnya jelas ketakutan.
“Aku minta maaf. Aku sama sekali nggak bermaksud buat kamu takut. Aku minta maaf, ya.”
Rakyan merengkuh Ashana ke dalam pelukannya. Dirasakannya detak jantung sang kekasih yang sedikit lebih cepat karena efek ketakutan yang dirasa.
“Kamu harus gugurin anak ini. Kita ... terlebih aku. Aku nggak akan pernah siap untuk ini semua. Kamu tau ini, kan?”
Ashana mengurai pelukan. Wanita itu menggeleng tak menyetujui ucapan sang kekasih. Ada dua janin tengah tumbuh di rahimnya saat ini. Meskipun mereka belum lahir, ia sudah menjadi seorang ibu. Ibu mana yang tega melenyapkan nyawa anaknya?
“Aku nggak bisa, Bie. Apa yang sudah kita lakukan itu dosa. Melenyapkan anak ini cuma akan menambah dosa kita.” Ashana menyambar tangan Rakyan dan meletakannya di atas perutnya. “Kita nikah ya, Bie. Aku nggak mau anak kita dicap anak haram. Cukup oang tuanya yang berbuat dosa. Anak kita nggak salah apa-apa, Bie. Aku mohon. Biarkan aku melahirkan anak kita, ya.”
Ashana dibuat terkejut saat Rakyan melepaskan tangannya dengan kasar. Laki-laki itu memasang jarak lumayan jauh di antara keduanya.
“Kalau kamu masih bersikeras mempertahankan dia, silakan! Aku nggak peduli. Aku nggak mau tau apapun soal bayi itu. Kamu tanggung semuanya sendiri. Jangan pernah sangkut pautkan aku dengan anak itu. Tapi ....” Ucapan Rakyan terhenti sesaat. “Kalau kamu mau ikuti permintaanku untuk menggugurkan bayi itu, kita bisa melanjutkan hubungan ini.”
Refleks Ashana menggeleng lemah. Ia tak ingin menambah dosa dengan menghilangkan nyawa anak-anaknya. Wanita itu memasukan testpack dan foto USG ke tasnya. Gegas ia melangkah meninggalkan sang kekasih.
“Kamu mau ke mana?” tanya Rakyan berteriak. “Shan! Ashana! Kamu mau ke mana? Kamu lebih memilih bayi itu ketimbang aku?” ucap Rakyan di ambang pintu aprtemennya. “OK! Kamu akan menyesal nanti. Ingat itu. Janga pernah kamu ganggu aku lagi.”
Hati Ashana sungguh sangat teriris. Sepanjang lift mengantarnya turun, air matanya tak berhenti berderai. Laki-laki yang sangat dicintai mengabaikan dirinya dan bayi mereka.
Mama minta maaf, ya. Mama dan Papa harus pisah. Mama nggak bisa kehilangan kalian. Mama sayang sama kalian.
***
Dua bulan sudah Ashana dan Rakyan sama sekali tak bertemu. Mereka benar-benar berkenti berkomunikasi. Tak ada lagi yang menjemput. Tak ada lagi yang mengajaknya berperang sengit di atas ranjang sampai mengerang karena nikmat. Hubungan mereka selesai, mungkin.
Kehamilan kembar membuat perutnya mulai tampak membuncit. Sejauh ini, Ashana menggunakan baju-baju sedikit longgar untuk menutupi keadaannya. Saat siaran pun, ia meminta bagian wardrobe untuk menaikkan size dari yang biasanya dikenakan.
“Kalian sehat. Perut Mama sudah mulai kelihatan,” ucapnya bermonolog pada kedua bayi di perutnya. “Kita sudah lewati masa-masa berat yang kemarin dengan sangat baik. Bantu Mama lagi ya, Sayang. Sama-sama kita berjuang.”
Memang benar ia sudah lama tak melihat Rakyan. Ada satu benda milik laki-laki itu yang disimpannya sampa saat ini. Sebuah kaos putih milik Rakyan yang pernah dipakai Ashana. Setiap hari, wanita itu akan menghidu dalam-dalam kaos itu. Padahal, sama sekali tak ada aroma ayah dari anak-anaknya di sana. Tak apa, sudah cukup membuatnya bahagia.
“Kalian kangen Papa?” ucap Ashana. Dirinya sudah terpatut di hadapan cermin sambil menghidu kaos milik Rakyan. “Mama kangen banget sama Papa. Mama nggak tau bisa ketemu Papa lagi atau nggak. Papa marah karena Mama lebih memilih kalian berdua. Nggak apa-apa ya cuma sama Mama. Kasih sayang Mama nggak akan sedikit pun berkurang. Mama janji.”
Pagi ini, ia bisa sedikit bersantai karena tak ada jadwal siaran. Ia mengajukan cuti selama dua hari. Benar-benar ingin merasakan nikmatnya beristirahat di rumah. Seperti biasanya, Ashana sudah menandaskan gelas susunya. Mual muntahnya masih ada. Sudah mulai berkurang seiring bertambahnya usia kandungan.
“Mau sarapan apa?” tanya Minati. Saat ini, di meja sudah tersaji mie goreng sayur dan roti tawar. Ashana menunjuk ke arah mi goreng. “Mau diceplokin telur?”
“Boleh, Ma. Tolong buatin dua ya, Ma.”
Minati mengerutkan dahi. Ia heran karena akhir-akhir ini anak gadisnya makan lumayan banyak. Putrinya pun terlihat lebih gemuk dari biasanya.
“Benar mau dua telurnya?” tanya Minati memastikan. Ashana mengangguk. “Ya sudah. Tunggu dulu. Mama buatin.”
Tak butuh waktu lama. Hanya sekitar lima menit dua telur ceplok yang dijadikan satu pesanan Ashana pun sudah tersaji di hadapannya. Sarapan sepiring mi goreng ditambah dua telur ceplok menjadi hal yang membahagiakan.
“Enak banget mi gorengnya, Ma,” puji Ashana semangat. Suap demi suap pun berhasil masuk ke mulutnya. Piringnya hampir kosong. Wanita itu meminta mamanya untuk mengisi kembali. “Aku lapar banget.”
“Nggak salah, Dek?” ucap Hendrawan. “Makanmu sekarang banyak banget, lho. Nggak kepenuhan perutnya?”
“Ng—nggak, Pa. Nafsu makanku memang lagi meningkat pesat.”
***
Ashana sedang menikmati acara televisi. Duduk berselonjor kaki sambil menikmati camilan dan menyeruput segelas es teh manis. Tanpa sadar, tangannya terulur mengusapi perutnya dengan lembut.
“Mama makan banyak untuk kalian berdua. Kalian harus sehat ya di dalam sana.”
Tatapannya terhenti di layar saat melihat penampakan Rakyan di sana. Laki-laki itu tersorot kamera saat sedang mendampingi kakak dan ayahnya di sebuah acara bisnis. Hatinya menghangat. Laki-laki itu masih sama. Masih tampan seperti biasanya.
“Bie ....”
Ashana hampir saja terperanjat saat mamanya datang. Wanita yang telah melahirkannya itu ikut menonton siaran televisi dan menyadari keberadaan Rakyan di sana.
“Kian apa kabar? Kok nggak pernah main. Lagi sibuk banget, ya?”
“I—iya, Ma.”
“Kok jawabnya terbata begitu. Hubungan kalian baik-baik aja, kan?”
“Baik, Ma. Baik. Kian lagi sibuk dengan urusan pekerjaan dia.”
Dari tempatnya duduk, Minati kembali memperhatikan putrinya. Insting seorang ibu memang tak pernah salah. Jelas ada sesuatu yang berbeda di tubuh putrinya.
Wanita itu mendekat ke arah Ashana. Tangannya perlahan terulur dan menyingkap kaos yang dikenakan sang putri sebatas perut. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Minati pun meletakan telapak tangannya di atas perut Ashana.
“Ma ....”
“Jangan bergerak. Mama mau periksa sesuatu. Mama rasa ada yang aneh sama kamu. Makan kamu banyak dan badan kamu jeuh lebih gemuk.” Tangannya bergerak mengusap dan sedikit menekan. Ashana yang ketakutan pun mendadak gemetar. Ia menggigit bibir bawahnya. Tangan Minati berhenti di perut bagian bawah Ashana. Terasa keras. Wanita itu jelas tahu apa artinya itu. “Berdiri!”
“Ma,” cicit Ashana.
“Mama bilang berdiri!” bentak Minati.
Ashana menurut. Ia pun berdiri seperti perintah sang mama. Lagi-lagi, Minati kembali memindai tubuh sang putri. p******a Ashana tak luput dari pemeriksaan. Dengan berdiri, perut Ashana yang mulai membuncit pun terlihat jelas.
“Jawab Mama!”
“I—iya, Ma.”
“Sudah berapa bulan?” tanya Minati dengan nada membentak. Ashana terdiam. “Mama tanya sudah berapa bulan, Dek? Jangan diam! Jawab Mama!”
“Jalan 4 bulan, Ma.”
Ya Tuhan, bagai tersambar petir di siang bolong. Demi Tuhan, Minati kaget bukan main. Anak yang dirawat dan dibesarkan dengan baik membuatnya kecewa.
Ashana gegas berlutut di kedua kakinya. Berusaha mengiba maaf pada sang Mama. Hidupnya berakhir sudah.
“Ma, maafin aku. Maaf, Ma. Aku minta maaf.”
“Siapa yang menghamili kamu? Jawab!”
“Ki—kian, Ma. Ini anaknya Kian,” jawab Ashana lemah. Minati menghela napasnya yang terasa begitu berat. Bulir bening sudah mengalir dari sudut kedua matanya. “Ma, maafin aku.”
Bersamaan dengan itu, Hendrawan yang baru kembali dari mesjid pun menampakkan diri. Ia merasa bingung dengan apa yang terjadi pada istri dan anak perempuannya. Tanpa berganti pakaian, ia pun mendekati keduanya. Kenapa putrinya berlutut? Kenapa istrinya menangis?
“Ini ada apa?” tanyanya bingung.
“Papa tanya sama anak Papa. Tanya Shana ada apa!”
“Dek, ada apa sebenarnya? Kenapa Mama marah-marah kayak begitu?”
Ashana tak menjawab. Lidahnya terasa begitu kelu. Baru saja ia mengecewakan mamanya. Ia tak mau membuat papanya ikut kecewa.
“Ada apa, Dek?” tanya Hendrawan lagi dengan nada yang jauh lebih lembut dari sebelumnya. “Cerita ke Papa.”
Minati berdiri. Dipaksanya Ashana untuk ikut berdiri. Di depan sang suami, wanita itu kembali menyingkap kaos yang dikenakan Ashana sampai sebatas setengah perut.
“Shana hamil, Pa. Jalan 4 bulan. Shana hamil anaknya Kian,” ujar Minati.
“Astagfirullah.” Hendrawan mengusap kasar wajahnya dengan telapak tangan. “Astagfirullah. Ya allah!”
“Aku minta maaf, Papa. Aku minta maaf.”
“PANGGIL KIAN KE SINI! SEKARANG JUGA!” perintah Hendrawan tegas. Ashana menggeleng. “Kenapa nggak bisa? Kenapa?”
“Aku sama Kian sudah selesai. Kian mina aku untuk menggugurkan anak kami, Pa.”
“KURANG AJAR!”