lamaran

1325 Kata
“Kamu sudah siap Vian?” Tanya pak Bram yang sudah terlihat rapi dengan Kemeja Navy yang di kenakannya. “Iya”. Dengan berat hati Vian mengiyakan. Pria muda dengan tinggi seratus delapan puluh centi itu sudah terlihat rapi dengan pakaian semi formal. Balutan celana hitam dan kemeja abu-abu membuat ia tampak gagah di usianya. “Semua persiapan sudah siap Mi?” Tanya pak Bram lagi pada istrinya. “Sudah Pi. Tinggal jalan”. Wanita paruh baya itu juga tampak cantik dan anggun dengan dress span warna senada dengan suaminya. Dress dengan panjang di bawah lutut juga jas putih yang di kaitkan di bahunya. “Oke. Ayuk kita jalan”. Ajaknya. Pagi ini pak Bram begitu bersemangat. Berbanding terbalik dengan Vian yang justru terpaksa. “Aku mau bawa mobil sendiri pi”. Ucap Vian. “No. Kamu harus naik mobil sama papi”. “Tapi pi. . .” “Tak ada tapi. Ayo” ucapnya tegas. Tak mau di bantah. Vian kesal karena biasanya sang papi akan selalu menuruti kemauannya. Supir mengemudikan mobil. Pak Bram dan istrinya duduk di bangku belakang. Sedangkan Vian di bangku depan. Supir mereka ada dua. Supir kantor dan supir kemudi. Supir kantor yang biasa di lakoni Pak Sultan. Tiga puluh menit perjalanan menuju rumah Ummi Aisyah. Rumah keluarga abah Sultan yang masih bisa di golongkan pedesaan namun sudah mulai terlihat modern. Karena mayoritas penduduknya bukan petani atau nelayan. Melainkan pedagang, wira swasta dan pegawai swasta juga pemerintahan. “Assalamualaikum”. Ucap pak Bram di depan pintu setelah semuanya turun. “Wa alaikum salam”. Ummi Aisyah menjawab dari belakang. Lalu beliau menuju ruang depan. “Loh pak Bram sama ibu. Silakan masuk pak, bu. Maaf barantakan”. Ucapnya mempersilahkan. Padahal rumah kecil itu nampak begitu rapi. Namun ummi Aisyah selalu berkata ‘Maaf berantakan'. Keluarga dari Tamu masuk ke dalam rumah. Dan duduk di sofa ruang tamu dengan nyaman. “Tempat apa itu bu yang ada di depan?” tanya pak Bram basa basi. “Saya membangun Ruang menjahit pak”. Jelas ummi Aisyah. Kintan dengan cekatan membawa minuman dan hidangan untuk para tamu. Mereka semua menatap Kintan yang mengantar hidangan. Tak terkecuali Vian. Di lihatnya mata indah Kintan. Vian sedikit terpana walaupun ia tidak bisa melihat wajah Kintan yang tertutup cadar. Namun dengan cepat egonya kembali menguasai. Kintan yang bahkan sedikitpun tidak meliriknya. “Silakan di nikmati pak, bu, dan . . “ “Vian”. Ujarnya santai. “Nak Vian”. Ummi Aisyah melanjutkan ucapannya. Mereka menyesap teh yang di bawa Melati. Kecuali Vian. Ia tetap terlihat angkuh. “Ada keperluan apa bapak dan ibu kemari?” Tanya ummi. “Begini bu. Mungkin pak Sultan tidak menceritakan kepada ibu. Musibah yang menimpa beliau hingga beliau wafat”. Pak Bram berhenti sejenak. Mengatur nafas. “Beliau meninggal karena menyelamatkan saya bu”. Terlihat Ragu. Takut jika Istri dari mantan supirnya itu marah. “Waktu mengecek proyek pembuatan apartemen terbaru kami. Pak Sultan mengantar saya ke tempat kejadian. Saat sedang membicarakan perkembangan proyek dengan kontraktor terjadi kecelakaan kerja yang hampir mencelakai saya. Ada sebuah batangan baja berukuran besar yang terjatuh dari atas karena kelalaian pekerja. Namun pak Sultan menolong saya. Beliau mendorong tubuh saya menjauh. Dan ketika beliau sendiri hendak menghindar kakinya tersangkut sebuah tambang. Sehingga kecelakaan yang menimpa beliau tak bisa di hindarkan lagi”. Pak Bram menceritakan kronologi kejadian saat itu. Tak terasa air matanya menetes. “Tak apa pak. Bapak tak perlu merasa bersalah. Semua sudah kehendak Allah. Kalau abah harus pergi meninggalkan kami”. Ucap ummi Aisyah yang juga meneteskan air mata mendengar cerita pak Bram. “Karena itu. Kedatangan kami kemari, kami berniat Melamar Kintan untuk Vian bu”. Ucap pak Bram menjelaskan. ummi Aisyah melirik Vian yang duduk tetap dengan tatapan angkuh. justru terkesan acuh. “Saya terima niat baik bapak dan ibu. Tapi saya belum bisa memberikan jawaban sekarang. Semua keputusan saya serahkan pada Kintan pak. Beri kami waktu satu minggu untuk berpikir” ucap ummi Aisyah tak ingin menyinggung keluarga pak Bram. ‘Sok jual mahal’. Batin Vian. “Baiklah bu. Apapun keputusan ibu akan kami terima”. Istri pak Bram hanya menyimak tanpa ikut menyahut. "Namun sebelumnya maaf pak Bram. Apakah Lamaran ini di landaskan paksaan sehingga ada salah satu pihak yang tidak berkenan?" tanya ummi Aisyah memastikan. Sedikit kaget pak Bram mendengar pertanyaan ummi Aisyah. Bu Audy menyentuh pundak putranya ketika ia hendak mengatakan sesuatu. Hingga akhirnya di urungkan niatnya untuk bebicara. "Tidak ada bu". Ucap pak Bram. "Karena pernikahan yang terpaksa pun di larang pak. Kalau semua sudah ikhlas maka seperti yang tadi saya katakan pak. biarkan Kintan memikirkan dulu". jelas Ummi Aisyah. Abah sudah tiada. Jadi ummi yang harus tegas memilih dan memilah calon menantu yang akan di jadikan suami bagi putrinya. Tidak ingin grusa grusu dalam memutuskan. karena pernikahan itu hanya sekali seumur hidup. perceraian merupakan sesuatu yang Halal, namun di benci oleh Allah. ummi tidak ingin Kintan mendapatkan imam yang salah. Namun semuanya di kembalikan lagi pada Allah. Jika Allah berkehendak Mereka berjodoh. semoga di dekatkan jodoh yang baik bagi putrinya. karena begitu besar rasa sayangnya bagi putrinya. Sementara Kintan juga sedari tadi tidak mengeluarkan suara sama sekali . Sehingga Vian berpikir apa mungkin dia ini bisu. . “Mari makan pak, bu dan nak Vian. kebetulan kami sudah masak”. Mereka pun menerima tawaran ummi Aisyah. “Maaf seadanya pak bu”. Ucap ummi Aisyah mempersilahkan. Di meja sudah tersedia ikan kuah kuning dan beberapa sayur serta lauk pauk lain. ‘Makanan apaan nih’. Batin Vian lagi. Tapi mata Vian membelalak begitu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. ‘hmm. Sederhana tapi nikmat sekali’. Batinnya lagi. Mereka semua. Termasuk ummi Aisyah menikmati makanan yang tersaji. Selepas makan pak Bram dan keluarganya serta ummi Aisyah kembali bercengkerama di ruang depan rumah Kintan. "Bu Aisyah sudah lama ya membuka usaha menjahit?" Tanya Bu Audy basa basi. "Alhamdulillah, sejak Kintan masih MTS bu". Jawab ummi Aisyah. "Maaf kalo terkesan tidak sopan. Apa saya bisa melihat-lihat hasil jahitan ibu. Siapa tau saya bisa merekomendasikan teman-teman saya". "Wah, MasyaAllah, bisa bu. Sebentar saya ambilkan". Ummi Aisyah berdiri dan menuju ruang menjahitnya. mengambil sebuah gamis hasil jahitan tangannya untuk di tunjukkan pada tamunya. "Ini Bu. silakan di lihat". Ucapnya seraya mengulurkan tangan. "Wah, cantik dan rapi jahitannya". Bu Audy membolak-balik baju yang di lihatnya. Ia takjub dengan hasil jahitan Ummi Aisyah. "Kita bisa kerja sama ni buat buka usaha butik". Kata Bu Audy bersemangat. "MasyaAllah. Alhamdulillah kalo ibu suka". "Saya coba rekomendasikan ke teman-teman saya ya bu. Pasti mereka suka. Saya ada kenalan seorang designer. Nanti saya coba kirim gambarnya, dan ibu jahitkan. Kalau hasilnya bagus, kita bisa usaha bareng". "MasyaAllah. Tapi tenaga di sini masih sangat kurang untuk usaha butik bu. Saya baru berniat melatih beberapa orang untuk membantu". "Sambil melatih, sambil mempersiapkan semuanya bu". Ucap Bu Audy sangat bersemangat. Sementara kedua wanita dewasa itu mengobrol Kintan terus menunduk sambil duduk di samping umminya. Davian diam-diam terus mencuri-curi pandang ke arah Kintan. di lihatnya bulu mata lentik itu berkedip-kedip terlihat lucu. Vian sedikit kesal karena sekalipun Kintan tak pernah melihat ke arahnya. Akhirnya di keluarkan ponsel dari sakunya untuk mengusir jenuh. Karena bingung hendak melakukan apa. Setelah puas bercengkerama, Keluarga pak Bram berpamitan untuk pulang. “Kami pamit Bu. Tiga hari lagi kami akan datang lagi”. Ucap pak Bram. “Iya pak”. Ummi Aisyah bersalaman dengan bu Audi kemudian cipika cipiki. “Assalamualaikum”. “Wa alaikum salam”. Keluarga pak Bram masuk mobil dan meninggalkan rumah ummi Aisyah. Selepas mereka pergi ummi duduk dengan Kintan untuk mengajaknya berbicara. “Kamu sudah mendengar sendiri nak. Ada lamaran masuk untukmu. Ummi nggak akan memaksa kamu menerimanya Ataupun meminta kamu menolaknya. Ummi harap kamu bijak dalam memutuskan. Minta petunjuk sama Allah melalui istiqoroh nak”. Nasehat ummi Aisyah. “Iya ummi”. Jawab Kintan mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN