“Pokoknya Vian nggak mau nikah sama anak Pak Sultan. Apa-apaan papi maksain kehendak papi”. Davian berteriak ke arah papinya.
Davian, putra sulung pak Bram. Calon penerus perusahaan Bramantyo corporation. Yang bergerak di bidang konstruksi. Perusahaan nomor satu di Indonesia. Anak yang mempunyai IQ hampir 200. Namun sangat di manja sejak kecil, sehingga etika dan sopan santunnya sangat kurang. IQ tinggi sayangnya EQ jongkok.
Davian menolak mentah mentah permintaan papinya itu.
“Papi mohon Nak. Supaya papi nggak terus menerus merasa bersalah dengan Almarhum Pak Sultan”.
“Papi yang hutang nyawa. Masa aku yang harus bayar. Ya kali aja aku mau”. Ucapnya dengan senyum mengejek. Seolah senyuman itu telah menggores luka yang begitu dalam di hati sang papi.
“Jangan bicara begitu Vian”. Ucapan Maminya sangat lembut terdengar di telinganya.
Ada rasa sesal terbesit di hati pak Bram. Karena dulu anaknya tidak di didik dengan atitude yang baik. Ia khawatir anaknya juga akan kasar dengan orang lain.
“Kalau kamu nggak mau menuruti permintaan Papi. Papi akan mengganti nama penerus perusahaan menjadi nama Alysa”. Ucapnya lantang. Mulai geram dengan perlakuan anaknya.
“Ya nggak bisa gitu dong pi. Papi nggak bisa main seenaknya saja sama Vian”. Masih dengan suara lantang di hadapan papinya.
“Sekarang kamu tinggal pilih. Menikahi anak Pak Sultan atau namamu terbuang dari Kartu Keluarga dan kepemimpinanmu di gantikan Alysa”. Nada suaranya masih terdengar mengancam.
Alysa adalah Adik kandung Davian. Selisih umur mereka hanya tiga tahun. Dan sekarang Alysa sedang kuliah di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dengan jurusan system design and management.
Di besarkan dalam lingkungan dan cara yang sama. Namun kepribadian mereka sangat bertolak belakang. Alysa gadis yang ramah dan periang. Pintar memgatur Emosi. Jadi banyak teman temannya yang menyayanginya.
Davian sangat kesal namun ia masih tetap bungkam. Belum bisa mengiyakan permintaan papinya.
“Papi kasih waktu sampai besok. Kalau kamu belum memberikan jawaban. Papi akan panggil notaris dan pengacara papi untuk mencoret nama kamu”. Pak Bram pun meninggalkan Davian yang masih terduduk dalam kekesalan.
“Agh”. Teriaknya sambil meremas rambutnya kasar. Ingin marah. Tapi seakan tidak berdaya.
“Tenanglah nak”. Maminya menepuk pundak anaknya.
“Tapi Vian nggak mau nikah sama dia mi. Apa kata teman teman Vian kalau tau Vian nikah sama ninja”. Di katakannya Kintan ninja kerena ia pernah melihat Kinan yang memakai cadar.
“Mami akan coba ngomong sama papi nak”. Ucapnya menenangkan sambil menepuk bahu anaknya.
“Aku juga punya pacar mi. Deby pasti bakalan murka kalau tau aku di jodohin”. Ia yang justru lebih takut dengan kemurkaan pacarnya ketimbang papinya.
“Iya. Kamu tenang dulu sayang. Mami akan coba bujuk papi kamu”.
“Makasih mi”. Di peluknya tubuh maminya. Maminya yang paling mengerti dirinya. Selalu menuruti apa maunya.
Davian kembali ke kamarnya dengan wajah gusar. Sementara maminya menuju ruang kerja papinya.
“Pi”. Di ketuknya ruang kerja suaminya.
“Masuk mi”. Jawab suara dari dalam.
Ibu dari Vian ini masuk dengan membawa nampan yang berisi secangkir kopi dan camilan.
“Boleh mami ngomong?”. Ucapnya hati hati. Ia sangat menyayangi putranya. Tapi ia juga sangat menghormati suaminya.
“Ada apa mi?” tanyanya.
“Papi nggak mau mempertimbangkan lagi masalah ini?”
“Papi sudah memikirkan ini matang matang mi. Dan keputusan papi sudah bulat”.
Bu Audi menghembuskan nafas perlahan. “Papi nggak kasihan sama Vian? Bagaimana kalau pernikahan mereka nggak bahagia karena ini paksaan pi?” bu Audi masih mencoba meyakinkan suaminya.
“Kita doakan saja yang terbaik mi. Papi Rasa Kintan adalah pilihan yang tepat. Dia gadis yang soleha. Berasal dari keluarga baik baik. Walaupun ekonominya tak sebaik kita”. Pak Bram masih tetap kekeuh mempertahankan argumennya.
“Yah. Terserah papi saja. Kalau memang itu yang terbaik”. Akhirnya bu Audi menyerah. Karena baginya percuma. Suami dan putranya ini mempunyai gen yang sama. Yang selalu berpegang pada satu keputusan.
***
Malam harinya Vian memutuskan untuk hangout bersama teman temannya. Mereka bertemu di sebuah club malam.
“Nape bro? Kusut amat tu muka?” Tanya Mahesa. Teman dekat Vian.
“Bete banget. Masa Bokap maksa gue nikah sama ninja”.
“Hah ninja paan?” Tanya Alex penasaran.
“Cewek bercadar maksudnya”. Vian menjelaskan dengan menarik jari telunjuknya melintang di depan hidung.
“Hah. Ha ha ha”. Mereka semua menertawakan Vian.
“ah bangsad lu pada. Gue susah malah di ketawain. Kasih solusi kek. Mana bokap pake ngancam bakal coret nama gue dari keluarga dan ahli waris lagi”.
“Hah yang bener lu? Emang nape bokap lu ampe segitunya?” Tanya Alex penasaran.
Vian hanya diam. Mereka sudah sepakat untuk tak menceritakan alasan mengapa papinya begitu menginginkan pernikahan ini. Karena bisa jadi senjata bagi orang orang lawan bisnisnya untuk menjatuhkannya.
“Taulah” Jawabnya asal.
“Gue punya akal bro”.
“paan tu?”
“Lu terima aja. Tapi setelah nikah lu buat dia nggak betah dan akhirnya dia yang minta cerai sama lu”. Ide dari mahesa
Vian manggut-manggut “Tapi kalo Deby murka gimana?”
“Ah kaya kaga kenal tu cewe aja. Lu kasih hadiah tas hArmes, guJi, atau camel juga pasti luluh”. Ucap Alex
“Bener Juga apa yang Lu pada bilang”.
Teman-teman Vian paham kalo Deby itu cewek matre. Dan mereka heran kenapa Vian bisa begitu tergila-gila sama tu cewek.
***
Waktu terasa begitu cepat. Tidak terasa hari telah berganti. Dan Davian masih berharap papinya membatalkan niatnya untuk menjodohkan dirinya dengan Kintan.
Tok tok. Pintu kamarnya di ketuk.
“Sayang. Papi manggil kamu nak”. Ucap maminya dengan begitu lembut.
“Pcck”. Davian mengacak rambutnya frustrasi. Dengan sangat terpaksa ia turun ke bawah menemui Papinya.
“Bagaimana keputusan kamu Vian?” Pak Bram bertanya setelah Vian duduk di tempatnya.
“emang papi mau dengar keputusan Vian?” Ia justru balik bertanya.
“kalo Vian tetap nggak mau nikah sama dia. ..”
“kalau begitu kamu harus siap kehilangan nama Bramantyo”. Belum sampai selesai Vian berbicara. Papinya langsung menyela.
“Agh”. Vian mengacak rambutnya. “Oke Vian terima. Tapi ada syaratnya. Setelah nikah. Vian mau langsung tinggal sendiri Nggak mau tinggal sama papi ataupun dirumah pak Sultan”. Ucap Vian seolah membuat kesepakatan dengan papinya.
“Oke. Deal. Besok kita akan datang melamar Kintan”. Ucapnya mantap.
“Hah secepat itu pi?” Vian dan maminya sama-sama kaget.
“Ya. Dan ini mutlak”.
Vian kesal. Sejak kapan papinya jadi tak mau mengalah padanya. Padahal dulu, biasanya papinya selalu mengalah menuruti apapun keinginannya.