menerima pinangan

1637 Kata
Malam harinya setelah acara lamaran di rumah Kintan. Vian tetap melakukan aktivitas rutinnya. Yaitu hangout dengan teman-temannya di club malam. Seakan tak pernah bosan hal itu terus di lakukannya setiap hari. Kurangnya ketegasan dari orang tuanya yang membuat Vian berperilaku begitu. Minuman keras. Selalu jadi minumannya setiap hari jika nongkrong. Hanya saja dia masih bisa menjaga diri dari namanya narkoba dan seks bebas. Walaupun punya pacar. Tapi tidak serta merta membuat dia kehilangan keperjakaannya. Bahkan Deby sering memintanya untuk melakukan sesuatu yang lebih. Tapi dia selalu menolak. Dengan alasan bahwa ia tidak ingin merusak Deby. Bahkan jika mencintai itu artinya menjaga. Padahal alasan sebenarnya karena ia masih menikmati masa lajangnya. Ia tidak ingin jika suatu ketika Deby hamil sementara dirinya belum siap untuk jadi seorang ayah. Dan juga Deby masih harus fokus pada karirnya. Vian juga tidak sembarangan melepas hasrat pada wanita lain. Apalagi melakukannya tanpa di dasari rasa suka. “Woi bro. Rajin amat dah datang paling duluan”. Sapa Mahesa saat baru datang. Kemudian mereka tos tangan dan bahu. “Bosen dirumah”. Jawab Davian sambil menenggak minumannya. “Gimana lamaran lo hari ini?” tanya Alex yang memang sudah ada disitu. Davian menghembuskan nafas kasar. “Mereka minta waktu. Gila kali. Sok jual mahal banget dah. Palingan nanti ujung-ujungnya di terima. Yah gue berharapnya sih malah mereka ogah”. “Gue jadi penasaran kaya apa sih cewe yang di demenin bokap lo untuk jadi mantunya itu” Mahesa bertanya penasaran. “Kalo di lihat dari matanya sih dia cantik”. Jawab Vian asal. “Wah. Jan sampe lo mulai demen lagi”. “ish ya nggak mungkin lah. Kali gue demen sama ninja. Iya kalo cantik. Kalo tau-tau giginya mancung gimana?” Semua temannya tertawa mendengar ucapan Vian. “Kalo mancung ya nasib lo”. Kata Alex dengan terus tertawa. “Idung mancung cakep. Gigi mancung. Gue kasih gratis deh buat lu”. Vian menoyor kepala Alex. “Ogah lah. Eh betewe. Si Deby udah tau belum kalo lo lamaran tadi siang?” tanya Mahesa. “Apa? kamu lamaran? Siapa yang kamu Lamar?” Suara Deby memekakkan telinga. Mahesa dan Alex sampai tutup kuping. Tapi Vian sudah terbiasa mendengar suara keras Deby. “Beb. Kamu kok datang nggak bilang-bilang?” Vian kaget karena Deby tiba-tiba muncul. “Kamu jawab pertanyaan aku. Bukannya malah balik nanya”. “iya iya aku bakal jelasin. Ayo kita cari tempat dulu buat ngobrol ya”. Vian mencoba membujuk Deby. Dengan manyun Deby mengikuti langkah Vian. Saat Vian menarik tangannya. Mereka berbicara di dalam privat room yang ada di bar itu. “Kamu jelasin sama aku sekarang”. “Ceritanya panjang Beb. Intinya Papi maksa aku buat nikah sama anak supirnya yang sudah meninggal”. “Dan kamu terima gitu aja permintaan Papi kamu?” “Aku nggak punya pilihan Beb. Papi ngancam bakal coret nama aku dari daftar pewaris kalo aku nggak nurutin maunya”. “Yah kalo kamu di hapus dari daftar pewaris aku gimana dong?” “Gimana maksudnya?” “Maksud aku, karir modeling aku belum mencapai puncak Beb. Kalo kamu sampai di usir. Gaji aku belum cukup untuk biaya hidup kita”. Ucap Deby beralasan. Padahal dia merutuki mulutnya yang keceplosan. “Oh. Ternyata kamu mikir sampe ke situ. Jadi makin cinta deh”. Deby langsung melilitkan tangan di pundak Vian. Lalu mengecup bibirnya. “aku juga cinta kamu”. Ucapnya. Vian menarik pinggang Deby agar lebih dekat Sehingga d**a Deby menempel di dadanya. Ciuman yang dalam dan Seperti biasa Deby yang lebih agresif padanya. Namun yang mereka lakukan tidak pernah lebih dari itu. Setiap kali Deby meminta lebih. Vian selalu menolak. “Aku mencintai kamu beb. Jadi aku nggak mau merusak diri kamu”. Ucapnya. Menyisakan Deby yang manyun karena hasratnya tidak terpenuhi. *** Sementara itu. Di rumah Ummi Aisyah. Kintan yang selesai menunaikan sholat isya dan dua Raka'at sholat sunnahnya mengangkat kedua tangan, menengadah ke langit, bermunajat kepada Tuhannya. “Ya Allah hanya kepada Engkaulah aku menyembah. Dan hanya kepada Engkaulah aku memohon pertolongan . Abah telah kembali ke sisiMu. Engkau tentu lebih mengetahui apa yang terjadi padaku dari pada diriku sendiri. Berikanlah kebaikan pada keluarga kami ya Allah. berikanlah petunjukMu. Jika memang Vian jodoh yang Engkau pilihkan untukku. Maka yakinkanlah hatiku. Namun jika dia bukan jodoh yang Engkau tetapkan. Maka berikanlah petunjukmu agar aku bisa menolaknya tanpa menyakiti siapa pun”. Sebait doa yang Kintan ucapkan dalam kesungguhan.. Selama satu minggu dari waktu yang di minta ummi Aisyah. Kintan selalu meminta petunjuk. Bahkan ummi Aisyah pun selalu berdoa agar di beri yang terbaik untuk anaknya. *** Satu minggu berlalu dengan cepat. Hari ini keluarga pak Bram akan datang lagi. Mempertanyakan keputusan Kintan. Ummi Aisyah sudah menyiapkan beberapa hidangan untuk para tamunya. Ada gulai kambing, ayam goreng sambal matah. Dan semur jengkol. Juga kerupuk sebagai pelengkap. Semua sudah tertata rapi di meja makan. “Semua sudah siap nak. Kamu bisa bersiap”. Perintahnya pada Kintan yang juga membantu pekerjaan umminya. “Baik ummi”. Kintan berlalu. Kintan bersiap. Tampilan sederhana namun terlihat anggun dengan balutan gamis berwarna soft brown, dan jilbab besar warna hitam, juga cadar yang senada dengan jilbabnya. Bahkan cadarnya tetap bisa menggambarkan kecantikan wajahnya lewat matanya. Mata yang jernih dengan manik warna coklat seperti sedang memakai soft lens. Setelah semua siap. Keluarga pak Bram juga telah sampai di rumah itu. “Assalamualaikum”. Ucap seorang tamu. “Wa alaikum salam”. Silakan masuk pak, bu, nak Vian. Mereka semua masuk dan duduk di sofa ruang tamu itu. “Rumah ibu biarpun kecil tapi terlihat asri ya”. Ucap Bu Audy buka suara. “Alhamdulillah bu. Yang penting nyaman. Saya dan Almarhum suami suka menanam bunga dan buah-buahan bonsai”. “Wah. Kalau dua-duanya punya hobi yang sama jadi asik ya”. Ucap bu Audi lagi. “Iya bu. Kadang kalo abah pas libur kerja pasti kita menghabiskan waktu untuk berkebun di pekarangan”. “Oh iya bu. Berapa usia Kintan ya?” kali ini pak Bram yang bertanya. Ummi Aisyah melirik Kintan yang duduk disampingnya. “Baru dua puluh pak”. Ummi yang menjawab. “Dan kegiatan Kintan apa sekarang?” “Kintan aktif membantu mengajar dan kuliah di pondok pesantren Darul hasan pak”. Vian heran kenapa dari tadi selalu ummi yang menjawab pertanyaan papinya. ‘Apa ni cewek bisu?’ batinnya bertanya-tanya. Vian yang diam diam mencuri-curi pandang pada Kintan karena menyukai mata indahnya. Namun Kintan selalu menunduk. Tidak sekalipun meliriknya. ‘sombong banget dah. Apa nggak penasaran dia sama muka gue. Perasaan dari kemarin nunduk mulu’. Vian membatin jengkel. "Nak Vian sendiri sekarang kegiatannya apa?" "Emm". Vian yang tidak menyangka jika akan di tanya tiba-tiba jadi sedikit kaku. "Ah, saya cuma bantu kerjaan papi di kantor". Ucapnya kemudian. "Maaf sebelumnya bu, pak, apakah nak Vian selama ini melaksanakan sholat lima waktu?" Ummi bertanya dengan sedikit ragu, takut keluarga itu tersinggung. Namun ia harus tetap bertanya. Karena bagi keluarga pak Sultan aqidah dari menantunya haruslah jelas. Mereka semua terdiam sesaat, tidak menyangka akan pertanyaan itu. "Ya, ya tentu saja dong". Vian menjawab berbohong. Kedua orang tuanya melirik ke arah Vian. Tak menyangka jika putranya itu akan berbohong. "Alhamdulillah jika seperti itu. Maaf bukan bermaksud menyinggung hati bapak atau ibu. Ini hanya amanah dari abah Kintan, jika memilih menantu harus yang baik aqidah serta akhlaknya". Ucap ummi Aisyah menjelaskan. Pak Bram dan Bu Audy hanya terdiam sambil manggut-manggut. Sadar bahwa perilaku putra mereka masih sangat jauh dari kata baik. Namun semua sudah terlanjur. Mereka hanya berharap suatu saat nanti Vian bisa berubah. Terutama setelah menikah dengan Kintan. Mereka berbasa-basi mengenai berbagai hal. Tak lupa bu Audy menyerahkan beberapa hantaran yang mereka sengaja bawa sebagai buah tangan. Ummi Aisyah mengajak para tamunya untuk makan bersama, menikmati hidangan yang sudah mereka siapkan. Mereka semua setuju. Dan melangkah ke dapur menuju meja makan. ‘Kali ini menunya masih lebih enak lah ketimbang kemaren’. Batin Vian lagi. Mereka semua begitu menikmati makanan yang di sajikan Ummi Aisyah. Hingga makanan dalam piring tandas tak bersisa. Selesai makan mereka kembali ke ruang depan. “Begini bu. Tentu ibu sudah paham maksud kami kesini”. Ucap pak Bram setelah berbasa basi sebentar. “Kami mau menanyakan keputusan Nak Kintan” “Alhamdulillah. Pak. Bu. Kami menerima niat baik bapak dan ibu. Dan keputusan Kintan adalah menerima pinangan dari keluarga bapak”. Jawab ummi Aisyah menjelaskan. “Alhamdulillah. Syukurlah bu. Terima kasih. Saya akan meminta anak buah saya untuk mengurus persyaratan pernikahan. Dan untuk acaranya akan di laksanakan dimana bu?” Tanya Pak Bram. “Disini. Secara sederhana saja pak. Kintan anaknya pemalu kalau harus acara yang besar”. “Baiklah bu. Saya akan menuruti kemauan Kintan”. Ucap pak Bram. Yang saat itu juga Vian bernafas lega. Kalau acara di gelar mewah dan banyak tamu undangan yang datang. Apa yang akan di katakan teman-teman dan koleganya melihat ia menikahi ninja. “Oh iya pak. Kami punya permintaan”. “Apa itu bu?” Tanya pak Bram. “Kalau pun sudah menikah nanti. Tolong izinkan Kinta. Tetap melanjutkan kuliahnya dan juga izinkan untuk tetap mengajar di pondok pesantren. Karena itu adalah cita-cita abahnya”. Pinta ummi Aisyah. “Baiklah Bu. Kintan tetap boleh melakukannya”. Pak Bram tersenyum. Setelah semua di putuskan keluarga Bramantyo itu pamit untuk pulang. "Papi harap kamu bisa merubah perilaku burukmu Vian". Ucap pak Bram saat mereka sudah di dalam mobil menuju perjalanan pulang. "Maksud Papi?" Vian bertanya bingung. "Berhentilah bergaul dengan trman-temanmu yang nggak jelas itu". Pak Bram memberi penegasan. "Mau sampai Kapan papi bakal membatasi dan berlaku sewenang-wenang sama aku?" Tanya Vian geram dengan sikap papinya. "Papi tidak mau kamu mengecewakan Kintan dan membuat malu keluarga Kita".
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN