Hari ini, hari pertama pak Sultan telah tiada. Suasana duka masih sangat terasa. Ada beberapa warga yang mengantar makanan untuk keluarga mereka. Sambil menghibur.
Mereka sangat bersyukur karena memiliki tetangga yang pengertian.
Menjelang pukul 10.00 siang, sebuah mobil BMW masuk ke dalam pekarangan. Terparkir di halaman rumah yang baru kehilangan orang yang paling di cintai.
Pak Bram memberi salam di depan pintu.
“Assalamualaikum”.
“wa alaikum salam.” Jawab ketiga ibu dan anak itu dari arah belakang.
“Pak Bram, silakan masuk pak. Maaf masih berantakan”. Kata ummi Aisyah mempersilahkan tamunya masuk dan duduk.
“Maaf bu. Kedatangan saya hanya sebentar”. Ucapnya setelah duduk.
Ummi Aisyah di temani Kintan duduk di ruang depan. Dimana ada pak Bram juga di situ.
“Ada apa ya pak?” Tanya ummi Aisyah penasaran.
Di ulurkan sebuah amplop coklat diatas meja.
“Apa ini pak?” tanya ummi Aisyah.
“Ini ada sedikit uang untuk santunan anak-anak bu”. Ucapnya halus tak ingin menyinggung istri dari supirnya.
“Kok banyak sekali pak. Ini berlebihan”. Kata ummi Aisyah karena melihat amplop itu begitu tebal.
“Mohon di terima bu. Itu tidak seberapa di banding pengorbanan Pak Sultan pada saya Bu. Saya akan merasa sangat bersalah jika ibu tidak mau menerimanya”.
“Tapi pak. . .”
“Anggap saja itu Rezeki anak-anak yang di tinggalkan abahnya Bu”. Ucapnya sebelum Ummi Aisyah menyelesaikan ucapannya.
Akhirnya di ambilnya amplop tersebut.
“Saya terima niat baik bapak. Jazakallahu khoiron katsir pak”. Ucap ummi Aisyah.
Ada senyum kelegaan di wajah pak Bram. Karena ummi Aisyah mau menerima pemberiannya.
“Saya pamit bu. Terima kasih sudah menerima pemberian saya”. Ucapnya seraya tersenyum.
Ummi Aisyah pun menganggukkan kepalanya menanggapi ucapan pak Bram. .
“Assalamualaikum”. Ucapnya setelah keluar dari rumah itu.
“Wa alaikumus salam”. Jawab keduanya mengantar tamunya di teras.
Setelah kepergian Pak Bram. Ummi membuka amplop pemberian pak Bram. Uang cash sebanyak Lima puluh juta Rupiah.
“Ma shaa Allah”. Ucap ummi kaget setelah menghitung uang tersebut.
“Ada apa mi?” tanya Kintan.
“Jumlahnya banyak sekali nak”.
Kintan hanya terdiam mendengar ucapan umminya. Karena ia sendiri bingung harus menanggapi seperti apa.
"Alhamdulillah. Di syukuri saja mi, mungkin itu semua jalan yang Allah berikan. Walaupun tidak bisa menggantikan rasa kehilangan abah". Kintan mengusap bahu umminya.
“Iya nak”. Ummi Aisyah mengusap pelupuk mata yang lagi-lagi mengembun itu.
Ummi Aisyah menyimpan uang tersebut untuk di gunakan berwira usaha. Karena abah sudah tiada. Tentulah sekarang Ummi yang akan menjadi tulang punggung.
***
Sore hari. Bahkan beberapa hari setelah kepergian abah Sultan. Warga masih aktif mengantar makanan. Ada juga yang mengantar bahan makanan mentah untuk mereka olah.
Hal yang sama yang di lakukan ummi Aisyah saat ada tetangga yang berduka. Sehingga ketika hal yang sama menimpa Ummi Aisyah warga jadi berbondong ikut membantu.
Suasana duka sudah tidak sekental ketika abah baru berpulang.
Mereka sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasa.
Ummi Aisyah menggunakan uang pemberian Pak Bram untuk menambah usaha menjahit pakaian.
***
"Nak. sekarang abah sudah berpulang. Aulia harus bisa menjaga amanah abah. Jadilah penunjuk Jalan menuju surga untuk abah sama umi nak".
"Iya ummi, In shaa Allah". Aulia menundukkan kepalanya karena lagi-lagi kesedihan itu datang saat mengingat sosok abahnya.
Ummi Aisyah mencium puncak kepala Aulia. melafadzkan doa. Memeluknya sayang.
Kintan mengantar Aulia kembali ke pondok tempat mereka sama-sama menimba ilmu.
"Kamu baik-baik ya dek. ingat selalu nasehat ummi dan Abah kalau perlu apa-apa kamu telepon kakak ya".
"Iya kak". Jawabnya. masih sangat terlihat wajah sendunya. karena memang Pak Sultan sangat dekat dengan anak-anaknya.
Setelah mengantarkan adiknya, Kintan menuju Ruang pimpinan. dan meminta izin untuk tinggal dulu dirumahnya.
Kintan masih ingin tinggal. Menemani ummi terlebih dahulu. Sambil membantu beberapa pekerjaan ummi.
"Assalamualaikum. Ustadz" sapanya mengetuk pintu ruangan Pimpinan.
"Wa alaikum salam. Masuk".
"Maaf ustadz. Ana mau meminta izin untuk sementara ana mau pulang pergi dari rumah.
ana mau menemani ummi dulu ustadz". ucapnya setelah duduk.
"Na'am. silahkan Kinan. Kami akan selalu menerima kapanpun kamu mau kembali kemari".
"Syukron. Jazakallahu khoiron katsir ustadz".
"Wa anty jazakillah khoiron". ucap Ustadz Abdul Ghani.
"Ana permisi Ustadz. Assalamualaikum".
"Tafadhol. Wa alaikum salam".
Kintan kembali pulang ke rumahnya.
***
Modal yang Lumayan besar. Ummi memutuskan untuk menambah mesin jahit dua buah lagi dan juga membeli mesin obras baru. Dan berencana mencari pekerja untuk di ajari menjahit. Kintan juga berniat membuat brownis kukus untuk di jual.
Sebelum abah Sultan meninggal ummi Aisyah memang sudah punya sampingan menjahit dirumah. Dan langganan ummi lumayan banyak. Karena hasil jahitan ummi yang bagus dan rapi. Terkadang juga banyak pesanan seragam.
Banyak tetangga yang ikut membantu memasarkan hasil jahitan ummi Aisyah .
‘Semoga ini bisa menjadi berkah untuk keluarga kami'. Batin Kintan berdoa.
***
Ummi Aisyah menambah Ruang depan untuk tempat menjahit.
Dua orang yang akan bekerja dengan ummi Aisyah pun sudah datang. Salah satunya keponakannya sendiri. Anak dari kakaknya.
Mereka bersama-sama merapikan tempat yang akan di gunakan untuk menjahit. Bahkan ada beberapa ibu-ibu tetangga yang juga datang membantu.
Pekerjaan yang berat jadi terasa ringan karena banyak yang turun tangan ikut membantu.
Kontribusi warga sekitar sangat baik. Karena ummi Aisyah juga selalu membantu Mereka tanpa di minta.
Setelah semua pekerjaan selesai. Ummi Aisyah meminta mereka makan terlebih dahulu. Kintan sudah memasakkan semur ayam untuk mereka.
"Wah masakan mbak Kintan enak sekali. jadi pengen di jadikan Mantu. sayangnya nggak punya anak laki". ucap seorang ibu menggoda.
Kintan hanya tersenyum di balik cadarnya.
“Mbak Kintan nggak balik lagi ke pondok ummi?” tanya salah seorang warga.
“Belum tau Bu. Mungkin bakal pulang pergi dari Rumah. Katanya nggak tega ninggalin umminya sendirian”. Jawab ummi Aisyah.
“Kalau begitu nanti naik motor dong”. Ucap ibu yang lain.
“Iya bu”. Kebetulan motor yang di tinggalkan Abi masih ada. Mungkin akan di tukar dengan Matic. Supaya lebih mudah bawanya”. Jelas ummi Aisyah Lagi.
“Mbak Kintan belum ada pasangan yang mau melamar kah ummi”. Celetuk seorang ibu.
Ummi Aisyah tersenyum di balik cadarnya. “Belum ada Bu. Nunggu kiriman yang terbaik dari Allah”.
“Aamiin ummi. Semoga secepatnya mbak Kintan ketemu jodohnya”.
Ummi hanya tersenyum mengangguk. Sementara Kintan hanya tersipu di balik cadarnya.
***
Sementara itu di Kediaman pak Bram ia sedang berdebat dengan putranya, Davian.