Empat Belas

1457 Kata
%%% Nasya menikmati hari santainya ditemani handphone miliknya. Ia asyik menonton oppa-oppa Korea melalui benda pipih canggih itu. Saking asyiknya, Nasya sampai tidak sadar jika Bara baru saja membuka pintu kamarnya. "Sya," panggil Bara yang langsung saja membuat Nasya terpenjat dan bangkit duduk. "Eh, kamu udah pulang?" tanya Nasya basa-basi. Bara menjawabnya dengan anggukan. "Dilepas dulu headsetnya!" suruh Bara. Nasya pun segera melepas benda berwarna hitam yang menyumpal telinganya itu. "Habis nonton apa sih? Sampai keasyikan gitu," tanya Bara. "Hmm... BTS," jawab Nasya. Bara menyerit tak mengerti. Tapi sepertinya tidak perlu juga ia pusingkan. Toh kini Nasya sudah fokus padanya. "Bar, kata Bi Surti kamarnya cuma satu ya? Lalu nanti malam aku tidur dimana dong?" tanya Nasya. "Di sini," jawab Bara singkat. "Lalu kamu?" tanya Nasya lagi. "Di sini," Nasya mendelik dan langsung saja memeluk tubuhnya sendiri. "Nggak! Aku nggak mau tidur seranjang sama kamu!" sentak Nasya. Bara tersenyum miring lalu berjalan ke arah lemari dan mengambil beberapa lembar kain yang Nasya yakini sebagai baju santai laki-laki itu. "Bara," panggil Nasya yang merasa tak dihiraukan. "Hmm?" tanya lelaki itu. "Jadinya gimana? Kapan aku boleh pulang?" tanya Nasya. Bara menoleh ke arah Nasya, "aku kira kita sudah selesai membahas ini, Sya," ujarnya. Nasya menyerit bingung. Kapan mereka membahasnya? Bara belum pernah mengatakan tanggal pasti Nasya bisa kembali ke Jakarta. "Kapan? Besok, boleh?" tanya Nasya.  Bara berjalan mendekat ke arah Nasya lalu duduk di samping gadis itu. "Nggak, Sya. Kamu akan tinggal di sini mulai sekarang, bersamaku," ujar Bara yang langsung mendapat tatapan tajam dari Nasya. "Keluargaku nyuruh aku pulang, Bar. Lagi pula aku harus segera mencari pekerjaan juga. Tokoku baru saja tutup. Dan aku sudah tidak punya tabungan apa-apa semenjak tasku hilang," terang Nasya dengan nada memelas. "Bulan depan aku antar kamu pulang. Sekarang kamu jelasin dulu kondisi kamu ke keluarga kamu," ujar Bara. "Bulan depan? Lama banget? Terus sebulan ini aku harus ngapain? Aku harus tinggal di mana dan makan pakai apa?" tanya Nasya yang sudah mulai jengkel menghadapi sikap Bara yang seenaknya. "Kamu akan tinggal di sini, Sya. Aku yang akan nanggung semua biaya kamu. Kamu tidak perlu pikirkan soal itu, okey?" jawab Bara.  Nasya menghela napas, ia tidak bisa mengerti jalan pikiran pria di hadapannya kini. "Sekarang semua sudah jelas, kan? Jangan pernah menanyakan hal ini lagi," imbuh Bara sebelum bangkit berdiri. Sebelum Bara sempat melangkah, Nasya sudah lebih dulu menahan lengan pria itu, "Bar, aku nggak bisa kayak gini terus," lirih gadis itu. Bara kembali menoleh, "apanya yang nggak bisa? Aku cuma minta kamu tetap tinggal di sampingku. Apa itu terlalu sulit buat kamu?" tanya Bara. Nasya mengangguk sebagai jawaban. "Di mana letak kesulitannya, Nasya?" geram Bara setelah ia menghempas kembali pantatnya di samping Nasya. "Semua. Aku nggak bisa terus-terusan bergantung sama kamu. Kita sudah tidak ada hub-" "Stop!" potong Bara sebelum Nasya menyelesaikan ucapannya, "emangnya kamu sudah tidak ada rasa lagi denganku?" tanya Bara dengan nada menyelidik. Tatapan matanya sangat tajam, membuat Nasya merasa terintimidasi. "Ak-aku-" "Aku sudah tahu jawabannya," potong Bara lagi. "Ta-tahu dari mana?" bingung Nasya. "Semua bisa aku lihat sangat jelas dari mata kamu. Kamu masih cinta kan sama aku?" ujar Bara. Nasya tersentak. Lalu ia menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. "Nggak sopan, baca pikiran orang sembarangan!" kesal Nasya. Bara tersenyum. Bukankah itu artinya tebakannya tentang perasaan gadis itu benar? Bara meraih tangan Nasya dan berusaha menurunkannya. Tapi Nasya menahannya. Ia tetap berusaha mempertahankan posisi matanya. "Nggak mau aku buka. Aku nggak mau kecolongan lagi. Kamu itu tidak boleh membaca pikiran orang sembarangan, tahu?" sentak Nasya masih dengan kedua telapak tangannya yang menempel menutupi mata. Bara semakin terkekeh mendengar kekesalan gadisnya itu. "Nggak mau kecolongan tapi mancing," lirih Bara.  "Maksud-" Cup... Bara menempelkan bibirnya ke bibir Nasya secara tiba-tiba, hingga membuat Nasya bungkam. Nasya bukan orang bodoh. Meski tidak melihat pun, ia bisa mengetahui benda apa yang kini tengah berada di bibirnya. Perlahan, Nasya menjauhkan tangannya dari wajahnya. Ia membuka matanya perlahan hingga tatapannya bertemu dengan Bara. Keduanya saling menatap, dengan bibir yang saling menempel.  Bak sebuah sihir, Nasya tak dapat menggerakkan tubuhnya sama sekali. Ia terlalu hanyut dalam tatapan memabukkan pria yang kini tengah membungkam bibirnya itu. Hingga ketika Nasya merasakan mulai ada pergerakan kecil di bibirnya, ia baru sadar tentang apa yang kini terjadi. 'Nggak. Lo nggak boleh diam aja, Sya. Kalian sudah putus. Nggak seharusnya lo mau dia cium sembarangan kayak gini,' batin Nasya ketika gadis itu berusaha mengumpulkan keberanian. Nasya mencoba menarik wajahnya menjauh, memberi jarak antara bibirnya dan Bara. Tapi, secepat kilat Bara menahannya. Tangan lelaki itu sudah mendarat di tengkuk Nasya, hingga gadis bersurai panjang itu harus merelakan rencananya gagal begitu saja. Nasya melotot tajam melihat mata evil pria yang kini tengah menciumnya itu.  Kemudian, mata di hadapan Nasya perlahan mulai tertutup. Dan Nasya dapat merasakan kembali adanya gerakan lembut di bibirnya. Nasya terhanyut. Dan akhirnya ia hanya pasrah hingga Bara bosan sendiri dengan kegiatannya. Setelah hampir tiga menit berlalu dan Bara masih juga tak menghentikan aksinya, akhirnya Nasya mulai mendorong d**a lelaki itu. Ia mulai merasa kesulitan bernapas. Namun Bara masih tetap mempertahankan posisinya. Nasya memukuli d**a lalaki itu beberapa kali hingga akhirnya sang empu mulai membuka matanya. Nasya menunjukan wajah memelas. Ia benar-benar perlu menghirup napas dalam-dalam sekarang. Dan syukurlah, Bara segera sadar dan menjauhkan wajahnya. "Huft....." Nasya menghirup napas panjang, lalu menghembuskannya. "Maaf," lirih Bara. Nasya kembali fokus pada laki-laki itu. "Kamu mau bunuh aku?" bentak Nasya dengan napas yang masih tak beraturan. "Nggak, maaf aku nggak tahu kalau kamu kesulitan bernapas tadi," balas Bara jujur. "Bodo amat. Tapi sekarang aku jadi tahu, kamu itu ternyata m***m banget ya? Cium-cium anak orang sembarangan. Mana di dalam kamar lagi!" kesal Nasya. Bara menaikan sebelah alisnya. Ia cukup tidak terima dengan tuduhan Nasya. "Aku nggak m***m. Kamu mau tahu arti kata m***m sebenarnya?" tanya Bara. Nasya meringis ngeri mendengar pertanyaan Bara. "Jangan macem-macem, ya!" teriak Nasya. Bara terkekeh melihat semangat Nasya yang sudah kembali. "Pokoknya aku nggak mau tidur sekamar sama cowok m***m kayak kamu!" teriak Nasya lagi. "Sayangnya aku nggak ngasih kamu pilihan, Nasya. Kamu tetap akan tidur di sini nanti malam," ujar Bara santai. "Aku nggak mau," tolak Nasya. "Kenapa, hmm?" tanya Bara. "Kamu m***m. Mana ada cewek mau tidur sekamar sama cowok kayak kamu?" geram Nasya sembari memukuli Bara dengan bantal. Bara menahan bantal yang Nasya gunakan untuk memukulinya. "Banyak, Sya. Kamu saja yang aneh, nggak mau tidur bareng sama cowok ganteng kayak aku," balas Bara santai. "Biarin aku aneh. Pokoknya aku nggak mau! Sana kamu tidur seranjang sama cewek lain aja, yang mau tidur sama kamu. Aku enggak mau!" teriak Nasya sambil mengibas-kibaskan bantalnya agar segera terlepas dari tangan Bara. Sett Nasya tersentak saat merasakan tangan Bara memeluk punggungnya, menariknya hingga bersentuhan dengan tubuh lelaki itu. "Sayangnya aku cuma mau kamu," ujar Bara lembut. Nasya membulatkan matanya sempurna. "Ke-kenapa?" bingung Nasya dengan pipi yang sudah memerah seperti tomat. "Karena aku cuma mencintai kamu, bukan yang lain," balas Bara tegas. Nasya kembali tak bisa berkutik. Terlebih setelah Bara kembali mempertemukan bibir mereka. Kali ini hanya kecupan ringan. Bara segera menjauhkan wajahnya dan tersenyum melihat respon Nasya yang ia anggap lucu. "Aku hanya mencintai kamu, Sya. Dari dulu, hingga saat ini. Aku nggak pernah bisa mencintai gadis lain selain kamu," lirih Bara yang membuat Nasya semakin menegang. "Tap-tapi, ak-aku-" "Kamu tidak perlu menjawabnya. Aku sudah tahu perasaanmu padaku. Cukup tinggalah di sisiku! Aku janji kita akan segera kembali ke Jakarta setelah pekerjaanku di sini selesai, okey?" terang Bara. Nasya mengangguk kaku. Ia terlalu terbuai dengan kata-kata manis pria yang ia cintai itu. "Tapi Ibu dan kakakku?" tanya Nasya. "Mau aku bantu bicara ke mereka?" tanya Bara. "Kamu bakal bilang gimana ke mereka?" tanya Nasya lagi. "Ya bilang kalau kamu di sini denganku. Kita tinggal bersama dan-" "Tidak! Aku saja nanti yang jelasin," potong Nasya yang langsung menarik tubuhnya menjauh dari Bara. "Kenapa?" bingung Bara. "Memang pikiran kamu itu nggak pernah beres. Bukannya masalah kelar, yang ada malah masalah semakin besar," kesal Nasya. "Loh, kok bisa?" bingung Bara. "Kamu pikir apa yang akan mereka pikirkan kalau tahu aku tinggal serumah dengan pria asing sepertimu?" sentak Nasya yang segera meraih handphone nya dan keluar dari kamar. Bara terkekeh melihat kekesalan Nasya. Tapi setidaknya sekarang ia bisa sedikit tenang. Karena Nasya tidak akan lagi merengek minta pulang. Lagi pula mau merengek seperti apapun, Bara tidak akan membiarkan gadis itu pulang ke Jakarta tanpa dirinya. %%% Bersambung .... Belum halal, Bang. Udah nyolong start duluan. Tampol nggak nih? Mulai nakal ceritaku yang ini .... Mohon maaf aku sering memasukkan unsur k-pop buat pemanis. Soalnya aku suka k-pop, jadi biar hampang aja risetnya. Semoga yang tidak suka k-pop tidak merasa terganggu, ya? Oh iya, aku multi fandom. Dan aku bukan hater grup apapun. Pokoknya aku masukin grupnya suka-suka aku aja, ya, berusaha gantian sih. Hehe...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN