“Kau berkata begitu seolah-olah bayi itu adalah anakku. Apa kau pikir aku akan mempercayainya?” tanya Sean.
“Makanya aku bilang lepaskan aku!” Ruth mulai terpancing amarah, dia tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi matahari terbenam, Romeo pasti sudah rewel bersama pengasuhnya.
“Tidak akan semudah itu, Ruth. Aku akan mencari anakmu, dan kupastikan kau tidak akan pernah melihatnya—“
“Tidak!” Ruth bergegas menghampiri Sean, lalu bertekuk lutut di kakinya. “Tolong jangan pisahkan aku ... Romeo membutuhkanku, Romeo bahkan sedang menjalani pengobatan karena kelainan jantung. Aku janji tidak akan mengusik hidupmu, Sean. Biarlah aku sendiri mengurusnya, kau bebas mencari perempuan mana pun ... aku tidak akan mengganggumu.”
Ruth sampai menangis memohon di kedua kaki Sean meminta belas kasihnya. Sean tidak habis pikir, apa Ruth semarah itu sampai tidak peduli lagi padanya? Atau Ruth tidak pernah mencintainya sejak awal?
“Aku tidak peduli, biar saja anak itu mati. Kau tetap di sini dan terima hukumanmu,” ujar Sean.
Seketika tatapan Ruth menjadi kosong, lalu melepaskan pegangan di kakinya tanpa berkata apa pun. Ruth hanya menengadah untuk menatap Sean sangat datar, membuat Sean mendapat firasat buruk.
“Tega sekali kau berkata begitu.” Ruth mulai beranjak dari lantai. “Sialan, aku bahkan menjadi pengemis untuk kedua kalinya kepada lelaki bodoh sepertimu!”
Bug!
Ruth melayangkan sebuah tendangan tepat di biji sensitif milik Sean hingga lelaki itu terbungkuk dan meringis menyedihkan. Tidak sampai di sana, Ruth kembali menghantamkan sikutnya ke tengkuk Sean hingga tersungkur ke lantai. Dia menendangnya lagi di bagian wajahnya sampai Sean tidak memiliki kesempatan untuk beranjak.
“Beraninya kau—“
“Aku akan pergi dari sini dan dari kehidupanmu!” teriak Ruth yang digulung emosi.
Sean yang masih berada di lantai, mengusap darah yang mengalir di pelipisnya. Wanita ini semakin menarik, membuat hasratnya begitu membara karena sikap arogansi Ruth yang selalu menonjol saat terdesak. Sean harusnya tidak boleh lengah karena itu adalah Ruth, bukan wanita biasa yang mudah diintimidasi.
“Ini yang membuatku terobsesi padamu, Ruth. Bermain denganmu lebih menarik dari apa pun.” Sean yang segera menyusul langkah Ruth, berhasil menggenggam lengannya. Wanita itu menoleh, Sean langsung menggendong tubuh itu dan melemparkannya kembali ke tempat tidur.
“Lepaskan aku, lepas!” Ruth berteriak, memukul-mukul Sean yang berada di atas tubuhnya. Namun, Sean tidak membiarkannya dan mengeluarkan tenaga lebih banyak untuk memotong setiap pergerakan Ruth.
Sean tidak menggubris rintihan Ruth. Tanpa basa-basi lagi, Sean melakukannya tanpa pemanasan.
Ruth mulai menangis. “Jangan! Jangan!” teriaknya. Dia merasa takut karena mereka tidak memakai pengaman, sementara Ruth sendiri baru melahirkan secara sesar dan tindakan ini membuat perut bawahnya sangat ngilu dan sakit.
“Ayo, keluarkan tenagamu, Ruth. Aku lebih senang saat kau memberontak.”
“Sakit, sakit! Jangan lakukan lagi, perutku sakit, Sean!” Ruth menahan tubuh Sean yang bergerak sangat cepat, perutnya sendiri terasa bergetar dan semakin sakit. Ruth tidak tahan lagi, dia jatuh pingsan saat Sean masih beraktivitas pada tubuhnya.
***
“Dia baru saja melakukan operasi sesar, lukanya memang sudah mengering, tapi organ dalam tubuhnya belum siap menerima aktivitas terlalu berat. Sebaiknya Anda harus berhati-hati, Tuan. Kematian pasca operasi bisa saja terjadi jika penanganannya tidak tepat.”
Seorang dokter menjelaskan keadaan Ruth saat Sean memanggilnya datang. Saat itu, Sean baru percaya bahwa Ruth mungkin telah mengalami hal buruk. Wanita ini masih belum siuman dengan wajah pucatnya.
“Baiklah, terima kasih atas bantuanmu, Dokter.”
Dokter tersebut pun pergi setelah menuliskan obat yang harus dibeli Sean. Setelah itu, Sean pun baru mendekat ke arah tempat tidur, menatap lebih dekat wajah pucat Ruth yang menyedihkan.
“Aku lebih penasaran bagaimana kau akan menjelaskannya, Ruth. Apa kau sungguh hamil anak orang lain? Atau ....” Sean menahan kalimatnya. Dia benci menebak, karena Ruth tidak mengatakan apa pun sebelum konflik mereka terjadi satu tahun lalu. Sean pun mengambil ponselnya, lalu menghubungi Fred kembali.
“Ya, Tuan. Apa ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Kau tahu di mana bayi Ruth berada?” tanya Sean.
“Ya, dia ada di rumahnya. Alamat Nona Ruth yang pernah saya berikan kepada Tuan, tapi malam ini sepertinya para perawat yang mengasuh bayi Nona Ruth pergi ke rumah sakit. Kabarnya, keadaan kesehatan bayi bernama Romeo menurun.”
“Baiklah ....” Sean menyudahi panggilannya, lalu menatap Ruth kembali. “Aku akan mengetahui semuanya dengan cepat, Ruth. Kalau sampai anak itu bukan anakku, aku bersumpah akan membuatmu menderita.”
Sean mengusap kening Ruth dengan punggung jemari telunjuknya. Sungguh dia sangat merindukan wanita ini di lubuk hati paling dalam. Namun, sikap Ruth begitu mengecewakannya.
***
Setelah pertemuannya. Sean tidak melepaskan Ruth sedikit pun, wanita itu dikurung dalam kamar hotel dan tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya. Wanita itu menangis dan merintih, sebab asi terus mengalir hingga membuat dadanya membengkak dan keras. Ruth sangat tersiksa, dia mengalami demam karena hal itu dan Sean terpaksa membeli barang pompa asi untuk melancarkan asinya kembali.
Ini sangat merepotkan, tapi Sean harus menunggu sampai hasil tes DNA nya keluar. Ya ... Sean sedang melakukan tes DNA sekarang, Ruth ternyata memiliki laki-laki. Romeo Steve Wiliams masih berusia sekitar 3 bulan. Sean tidak sempat melihat bayinya, dia hanya membayar salah seorang pengasuh dari bayi tersebut agar mengambil sampel DNA yang dibutuhkan.
Dua minggu kemudian.
Sean melangkah lebar ke kamar hotelnya. Dia langsung menghampiri Ruth yang sedang duduk menantinya di tepian tempat tidur, Ruth lantas mendekat menyadari kedatangan Sean di sana.
“Sean ... apa kau belum puas juga?! Ayo, cepat lepaskan aku!” Ruth langsung berteriak kepada Sean.
Sementara Sean langsung melempar kertas hasil tes DNA-nya ke hadapan Ruth dengan tatapan tajam. Sean sangat marah sekarang, melebihi amarah sebelumnya.
“Apa ada yang mau kau jelaskan, Ruth? Kenapa ... kenapa kau tidak jujur soal bayi itu?!” tanya Sean bernada lebih keras dari Ruth.
Ruth mulai terdiam. Sean sepertinya sudah tahu, tapi sialnya Ruth tidak bisa kabur sama sekali dari sini. Apa dia harus menjelaskan semuanya? Apa Sean akan percaya padanya?
“Kau tahu?”
“Jangan memancing amarahku, katakan apa yang kau inginkan. Kau membawa kabur bayiku?” tanya Sean seraya menggenggam lengan Ruth sangat keras sampai wanita itu merintih sakit.
“Membawa kabur? Kau membuang kami, b******k! Kau tidak pernah menginginkanku, kau menuduhku! Kau menghinaku! Jadi tidak ada salahnya aku mengurus anakku sendiri tanpa bantuan ayah yang tidak bertanggungjawab sepertimu!” Ruth menarik lengannya dari Sean dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Dia sangat sedih jika mengingat perlakuan Sean padanya dulu hingga sekarang.
“Jadi semua ini benar?” Sean kehabisan kata-kata. Dia tidak akan mengira bahwa semua ini terjadi. Jika dihitung usia dari bayi itu, Romeo ada di rahim Ruth sebelum kejadian pengusiran waktu itu.
“Sekarang apa? Jangan merasa paling tersakiti kalau kau sama sekali tidak sadar kesalahanmu, Sean. Aku menanggung semuanya sendiri! Termasuk tuduhanmu yang menyakitkan itu. Aku mengandung tanpa suami, aku juga melahirkannya tanpa didampingi suami. Sekarang anakku lahir, tapi teganya kau memisahkan kami tanpa belas kasih. Apa yang kau inginkan, Sean? Kalau kau mau menyiksaku dengan cara ini. Kau berhasil! Tapi jangan harap aku akan menyerah dengan anakku.”
Sean terdiam. Antara senang, sedih, atau rasa sakit dari keadaan mereka, ini berkumpul jadi satu. Semua membuat Sean mendadak dilema karena ternyata Ruth telah melahirkan sang generasi muda di keluarganya.
“Aku belum memutuskan apa pun, Ruth. Sekarang kau tetap diam di sini sampai aku mengambil keputusan.” Sean berbalik arah hendak meninggalkan Ruth, tetapi wanita ini terus mengejarnya sampai ke pintu.
“Keluarkan aku, keluarkan aku! Aku mau bertemu Romeo--”
“Diamlah!” Sean menggerakkan lengan saat Ruth memegangnya, tapi siapa sangka tenaga yang dikeluarkannya terlalu kuat sampai Ruth terdorong dan terjatuh terantuk sudut lemari kecil di belakangnya.
Wanita itu tidak sadarkan diri lagi. Sean spontan merengkuh tubuhnya tanpa dia sadari. Dia sangat cemas, tidak bisa lagi mengelak bahwa masih ada perasaan cintanya untuk wanita ini. Untung saja Ruth tidak melihat kecemasannya sekarang, Sean terlalu gengsi untuk mengaku apalagi tunduk di hadapannya.
“Ruth? Ruth! Ruth, kau masih bisa mendengarku? Ruth! Astaga ... bertahanlah. Aku akan membawamu ke rumah sakit.”