Sebuah Kenyataan yang Pahit

1447 Kata
Beberapa waktu setelah ajakan Shine. Sean mencari tahu sendiri kapan saja wanita itu berada di apartemen, dia lebih dulu mengumpulkan informasi sampai memastikan sendiri akan menerima ajakan Shine atau tidak. Sean mengenal baik tipikal wanita seperti Shine Amanda, ada banyak yang serupa sikapnya di luar sana yang hanya mengincar kesenangan dibanding memikirkan hidup dan berencana untuk hari tua. Dan itu adalah hal yang paling membuat Sean muak. “Apa kau yakin dia ada di dalam? Siapa tamunya sekarang?” tanya Sean kepada Sonya yang telah berhasil mengumpulkan banyak informasi. Sean mendengar bahwa saat ini wanita itu tengah menerima seorang tamu, laki-laki. Kabarnya dia adalah Leo Luo, seorang konten kreator ternama se Asia dengan berjuta-juta pengikut. Sebenarnya, Sean tidak terlalu peduli siapa tamunya. Namun, yang dia butuhkan sekarang adalah sebuah bukti yang akan meringankannya dari jeratan keinginan wanita itu. Sean belum terpikir lagi untuk menerima wanita lain setelah Ruth. “Panggil dia keluar,” titah Sean kepada Sonya yang lantas mengetuk pintu di depan mereka. Cukup lama mereka menunggu, akhirnya pintu tersebut terbuka dan menampakkan sesosok wanita cantik yang mengenakan setelan kaus dan hotpants saja. “Se—Sean? Kau datang, kenapa tidak menghubungiku dulu?” Raut wajah Shine kelihatan panik. Sean menatap datar padanya, sesekali dia melihat ke belakang wanita itu, memang tidak tampak apa pun karena terhalangi oleh dinding. Namun, jelas sekali ada yang disembunyikannya di sana. “Kau sibuk? Aku memang sengaja datang tidak memberitahumu karena ingin memberi kejutan,” alasan Sean kepada Shine. “Tapi hari ini aku sedang kurang enak badan. Ingin istirahat saja, apa kau bisa datang lain kali? Aku benar-benar sedang tidak bisa.” Shine merentangkan tangannya, menyentuh sisi pintu seakan menghalangi agar lelaki ini tidak masuk sembarangan. Sungguh, raut wajah tegas Sean sekarang cukup membuat tekanan padanya. “Katakan, kau sedang ada tamu selain aku? Kencan khusus?” “Hei, jaga bicaramu! Aku hanya ... baiklah. Kita coba sekali lagi, kalau aku gagal, aku tidak akan mengganggumu!” “Lupakan saja, aku sudah tidak ingin.” Sean berkata datar Sikap yang begitu dingin membuat wanita itu sedikit kecewa. Mungkin saja, Shine masih terobsesi padanya setelah ini, dia tidak peduli. Shine seakan memikirkan cara lain untuk membuat lelaki incarannya luluh. Dia pun kembali mengejar langkah Sean dan menghentikannya dalam beberapa langkah. “Baiklah, tapi ini bukan pertemuan terakhir kita, kan? Aku ingin sekali menjadi bagian dari hidupmu lebih dari sekedar rekan bisnis.” “Kita lihat saja nanti. Yang harus kau ingat sekarang, aku bukan orang yang tepat untuk kau ajak bermain. Aku sudah memperingatkanmu,” ujar Sean. Wanita ini hanya terdiam, entah sedang memikirkan apa dia tidak peduli. Sean tidak akan lagi luluh kepada seorang wanita, apalagi jatuh hati seperti yang dilakukannya pada Ruth. *** 10 bulan berlalu. Sean benar-benar kehilangan jejak Ruth. Wanita itu tidak kembali, bahkan perceraian mereka belum resmi secara hukum karena tidak ada satu pun tanda Ruth akan mengurus itu. Apa Ruth sudah tidak peduli? Atau dia sudah senang dengan lelaki lain? Begitu banyak yang ada di pikiran Sean sekarang. Sialnya, dia benci saat menyadari ada sebuah rasa mengganjal di sela-sela kebenciannya. Hatinya sedikit ngilu ketika menatap satu-satunya foto yang masih bertahan dalam dompet Sean, itu adalah foto ketika mereka berada di Paris saat menikmati bulan madu. Ada canda dan tawa, juga aksi-aksi nakal Ruth melintas dalam ingatan Sean. “Sialan, apa aku tidak bisa melupakannya sehari saja?” Sean mengeratkan pegangan di botol minumannya. Dia sama sekali tidak bergerak dari kamar sudah dua hari ini, itu karena frustrasi sendiri. Dia membenci Ruth, tapi juga sangat merindukannya. Lalu di mana wanita itu? Sean sekarang sampai di California, sudah satu minggu dia di sini untuk urusan pekerjaan sekaligus mencari keberadaan Ruth di rumahnya lewat orang suruhan. Namun, Ruth tetap tidak ada. Sean sendiri tidak berani menanyakan langsung keberadaan Ruth ke kedua orang tuanya, sebab mereka tidak pernah akur. Apa Ruth disembunyikan oleh ayahnya—Carlton? Keluarga Williams memang terkenal dengan kecerdasan dan licik, tidak semua orang bisa masuk ke dalam lingkaran keluarga kaya raya itu. Mungkin, Sean memang salah sudah bermain api dengan mereka. Sean pun sekali lagi menelepon orang kepercayaannya. Dia berencana akan pergi jika hari ini tidak menemukan informasi apa pun. “Apa kau sudah menemukannya?” tanya Sean. “Ya ... baru saja saya ingin mengabari Tuan. Nona Ruth sekarang tinggal di Washington—“ “Washington? Sedang apa dia di sana?” Sean mulai mengernyit. Sekilas hatinya menggebu-gebu, bersemangat sekali, sisi lain dia berniat melanjutkan balas dendamnya jika wanita itu benar-benar ditemukan. “Saya tidak tahu pasti, saya belum melihat lebih jauh karena sekarang dia sedang berada di pusat perbelanjaan. Nanti saya hubungi Tuan lagi jika menemukan alamat rumahnya.” “Aku akan membayarmu 2 kali lipat jika kau berhasil, Fred.” “Terima kasih banyak, Tuan.” Sean mulai beranjak dari kursi duduknya, berjalan beberapa langkah menuju balkon. Udara di luar cukup hangat, matahari bersinar cerah dengan pemandangan jalanan yang indah di luar sana. Dia pun tersenyum, lalu meneguk minumannya sekali lagi. Kali ini, dia merasa ada hal berbeda, sebuah hal yang akan sangat menantang bila bertemu dengan Ruth. “Aku akan pastikan kau tersiksa, Ruth. Kali ini, kau yang akan menjadi mainanku.” *** Sean sengaja datang ke Washington setelah mendapat alamat pasti tempat tinggal Ruth. Wanita itu tampak sedang berbelanja di sebuah mal, sepetinya ini sudah menjadi rutinitas mingguan Ruth. Sean melangkah seperti angin tidak jauh di belakangnya, Ruth tampak asyik mendorong troli dan memilih barang belanjaan. Pakaian-pakaian bayi, peralatan makan bayi hingga tempat tidur bayi. Semua tentang bayi. Apa Ruth sudah memiliki anak? Dilihat dari tubuhnya, Ruth tampak sedikit lebih berisi. Membuat beberapa titik bagian tubuhnya juga bertambah besar dan padat. “Astaga ... lucunya. Ini pasti cocok kalau dipakai Romeo,” ujar Ruth ketika melihat sepasang sepatu mungil berwarna putih. Ruth tampak senang sekali, hingga Sean tidak segan menghampirinya. Sebab Ruth tidak ditemani oleh siapa pun. “Anak siapa itu?” Suara Sean berbisik menyeramkan di samping telinga Ruth, sampai wanita ini spontan menoleh. Kedua tangan Ruth mendadak gemetar, memeluk sepasang sepatu yang baru saja dipilihnya. “Ka—kau?” Sean menyeringai kecil. “Sepertinya kau bersenang-senang di atas penderitaanku, Ruth.” “Bagaimana bisa ... bagaimana kau bisa ada di sini?!” Ruth mulai mengambil beberapa langkah ke belakang, tapi Sean lebih gesit memegang lengannya. “Aku bisa melakukan apa pun, Ruth.” “Sakit, lepas! Ini sakit!” Ruth mencoba melepaskan genggaman tangan Sean, memukulnya berkali-kali, tapi tidak berhasil. Sean malah menariknya hingga sepasang sepatu itu terlepas dari tangan Ruth. *** Brak! Pintu terbanting sangat keras, Sean tetap menyeret Ruth masuk dalam sebuah kamar besar hotel tempatnya menetap sementara. Dia tidak peduli seberapa keras tangisan Ruth sekarang, yang ada hanya sebuah kebencian semata. Sejak tadi Ruth hanya memohon dan memohon agar bisa dibebaskan, dia tidak mengatakan alasannya, tapi seolah-olah tidak senang bertemu dengan Sean lagi. Itu membuat amarah Sean memuncak. “Letakkan semua barangnya di sana,” ujar Sean kepada petugas hotel yang membawa seluruh barang belanjaan Ruth. Setelah semua itu diletakkan dan hanya tinggal mereka berdua, Sean mendorong Ruth ke atas tempat tidur. “Sekarang apa? Kau telah melahirkan seorang anak dari selingkuhanmu?!” tanya Sean kasar kepada Ruth. “Untuk apa kau mau tahu? Bukankah penjelasanku tidak akan mengubah apa pun? Kau tetap tidak mempercayaiku!” Brak! Sean menendang seluruh barang belanjaan tersebut hingga berantakkan di lantai. “Jangan! Tolong ... tolong lepaskan aku, Sean. Aku harus pulang, Romeo membutuhkanku, kumohon.” Ruth menangis getir melihat seluruh barangnya, itu adalah kebutuhan anak yang telah dilahirkannya beberapa bulan lalu. Sementara Sean semakin kesal saja, Ruth tampak hanya memikirkan bayi bernama Romeo tersebut alih-alih meminta maaf atas kesalahannya dulu. “Sekarang kau memohon padaku untuk anak itu?” tanya Sean. “Tolong, aku tidak bisa meninggalkannya terlalu lama.” “Hentikan itu!” bentak Sean keras hingga Ruth tertunduk takut. “Aku mencarimu seperti orang gila, aku memikirkanmu tanpa henti meski kau sudah berkhianat, Ruth. Sekarang aku menemukanmu, kau tahu apa yang kuharapkan?” tanya Sean. “Aku berharap setidaknya kau meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Mungkin aku akan memberimu kesempatan kedua. Tapi sekarang apa? Kau malah memikirkan bayi itu dibanding aku?” Ruth hanya menangis. Apa dia sudah lemah setelah melahirkan seorang anak? Sean tidak habis pikir perubahan Ruth akan sedrastis ini. “Ayo katakan sesuatu!” paksa Sean. “Kau hanya lelaki egois yang tidak pantas kupertahankan, Sean. Tidak peduli kau mau menganggapku sebagai pellacur atau murahan, aku tetap tidak akan mengakuinya. Sekarang ... kau tidak berhak memaksaku. Karena hidupku akan kugunakan untuk membesarkan anakku. Aku akan membuat dia membencimu seumur hidup dan kau tidak berhak atas Romeo!” Pernyataan itu malah membuat Sean semakin geram, bukan itu yang ingin didengarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN