“Oh, Sial. Tubuhnya panas sekali, apa dia akan baik-baik saja? Maafkan aku, Ruth. Aku sungguh tidak sengaja,” sesal Sean ketika memegang kening Ruth di kursi sebelahnya, wanita ini sepertinya masih berada dalam alam bawah sadar, hanya saja sesekali bibir tipisnya itu menyebut nama Romeo. Ruth mengigau sambil merintih, membuat Sean semakin dilanda kecemasan.
Sean sangat menyesali amarahnya tadi, padahal dia tahu kondisi Ruth tidak seperti dulu. Wanita ini seperti mengalami beban pikiran hingga tidak dapat mengontrol kesehatannya sendiri dan Sean tahu apa penyebabnya.
“Tunggulah, sebentar lagi kita sampai, Ruth.” Sean mengusap puncak kepala Ruth seraya menyetir mobilnya lebih kencang menuju rumah sakit. Dia membawa wanita ini ke lokasi yang bersamaan dengan putra mereka dirawat. Kebetulan sekali, Romeo juga tengah menjalani perawatan karena kondisinya yang tidak stabil. Putra semata wayang mereka, sedang bertaruh nyawa di usia sekecil itu.
Sesampainya di rumah sakit, Ruth telah mendapat penanganan yang tepat. Wanita itu terbaring di instalasi gawat darurat sementara sebelum dipindahkan ke ruang rawatnya. Dia mengalami masalah dengan lambung juga darah rendah, dia sampai membutuhkan transfusi darah ke depannya.
“Sonya, apa kau bisa membantuku? Aku sedang ada di rumah sakit, datanglah ke sini dan bantu aku mengecek keadaan bayi itu. Tapi pastikan kau tidak ketahuan oleh siapa pun,” pinta Sean kepada Sonya.
“Baik, Tuan.”
Setelah menutup panggilan, Sean sekali lagi melihat ke arah Ruth yang tampak terlelap. Kali ini dia lebih tenang dan tidak lagi mengigau, Sean pun sesekali menyeka keringat tipis yang mengalir di pelipis Ruth dengan lembut, khawatir dia akan mengganggu istirahatnya.
Bahkan setelah pertengkaran hebat mereka, Sean masih bisa seperhatian ini kepada Ruth. Dia sungguh mengalami dilema berat, antara cinta dan benci, itu berjalan beriringan dalam hatinya. Sekarang saat Ruth sakit, dia seakan lupa bahwa wanita ini adalah tersangka yang masih dalam pantauan. Sean masih terus mencari kebenaran tentang perselingkuhan itu, apa benar Ruth melakukannya atau tidak.
“Kau menjadi sedikit lemah setelah menjadi seorang ibu, Ruth. Apa kau memiliki ikatan batin dengan anak itu?” tanya Sean sangat pelan sekali. “Aku ingin sekali melihatnya ... melihat anak yang kau lahirkan. Apa dia sama sepertiku? Tapi kenapa dia bisa sakit separah itu? Apa yang kau lakukan selama hamil tanpaku, hmh?”
Sean terpatri dalam lamunannya sendiri, meski dia tahu telah menjadi seorang ayah dari anak bernama Romeo, tapi sekalipun dia beluk pernah melihat wajahnya. Bayi berusia sekitar 3 bulan tersebut mendapat pengawasan ketat dari salah seorang keluarga Wiliams, yaitu adalah Gabriel—kakak Ruth. Lelaki dewasa berusia 34 tahun itu menaruh beberapa orang untuk menjaga bayinya selama di rumah sakit, Sean sendiri belum berhasil menembus penjagaannya karena mereka ada 24 jam.
Kenapa begitu sulit menemui putranya sendiri? Ah, tidak. Sean merasa keadaan ini sangat merugikannya, bayinya sakit parah, tapi sekalipun dia tidak bisa menjenguk karena keadaan mereka yang tidak baik-baik saja.
“Tidak, Romeo! Hiks ... Rom.” Ruth mendadak terbangun, air matanya berlinang, meski belum sempat dia menyadari tempat keberadaannya sekarang.
Sean yang menggenggam tangan Ruth pun mendadak melepaskannya, tidak ingin wanita ini sadar bahwa ada kecemasan di sana. Wanita itu memaksa duduk, sedikit rintihan kecil terdengar, satu tangannya memegangi tengkuk yang sempat terantuk sudut meja.
“Di mana aku? Di mana anakku?” Ruth belum menyadari keberadaan Sean, hanya bergerak gelisah seakan mencari seorang bayi yang hilang di dekatnya.
“Menyusahkan sekali, apa kau tidak tahu cara berterima kasih?” tanya Sean yang kemudian menyadarkan Ruth dari halusinasinya. Wanita itu sedikit mengernyit, sejurus kemudian menyeka air matanya sendiri.
“Kau membawaku ke sini?”
“Memangnya mau siapa lagi? Kau tidak mungkin terbang datang ke sini dengan kondisimu itu,” jawab Sean bernada sinis seraya beranjak dari kursinya. “Jangan berusaha kabur, sebentar lagi kau akan dipindahkan ke ruang inap. Aku akan pergi ke—“
“Bawa aku menemui anakku, Sean. Aku ingin sekali menemuinya ....” Ruth menahan langkah Sean dengan menggenggam sudut lengan kemeja panjang lelaki itu.
“Memohon padaku sekali lagi, aku akan membawamu padanya,” ujar Sean. Raut wajah Ruth sontak berubah, amarah menyelimutinya, tapi dia belum melepas pegangannya.
“Baiklah, Sean ... kumohon bawa aku pada Romeo. Anakku membutuhkan keberadaanku sekarang, dia tidak bisa ditinggal begitu saja bersama pengasuhnya. Aku mohon, Sean.”
Sean tersenyum miring, dia kembali mengarahkan tubuhnya ke hadapan Ruth dengan sebuah rencana besar dalam kepalanya. Dia menginginkan bayi itu apa pun alasannya, dia juga menginginkan Ruth berada di sekitarnya meski hubungan mereka tidak pernah lagi bisa harmonis. Sampai Sean mendapat fakta yang dia cari tentang perselingkuhan wanita ini, sepertinya sekarang adalah momen yang tepat.
“Tapi tidak sekarang, kau tahu kondisimu tidak mendukung. Aku akan membawamu setelah keadaannya memungkinkan.”
“Sungguh?” tanya Ruth memastikan.
Sean tidak memberi jawaban dengan kalimat, hanya diam tapi tetap berada di tempat sehingga Ruth bisa mengartikan sendiri jawabannya.
“Tapi kau juga harus ingat, Ruth. Aku adalah ayah kandung dari anak itu,” ujar Sean menambahkan.
“Jadi apa maumu?”
“Bawa aku juga bersamamu, cegah siapa pun yang mau melarangku menemuinya tanpa terkecuali. Kau tahu ... aku tidak akan pernah membiarkanmu menguasainya sendiri. Jika sampai aku gagal menemuinya, aku akan tetap merebut anak itu meski kau membawa kasus ini ke pengadilan. Aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan jika itu menyangkut keturunanku.”
Seketika genggaman Ruth berpindah tempat ke pergelangan tangan Sean, itu cukup keras akibat dorongan amarah yang tertahan karena kondisinya. Kedua mata Ruth memerah, berair menahan tangis sebab dia seharusnya tidak menaruh harap lagi kepada lelaki ini. Ruth bukan tidak berani melawan jika kondisi fisiknya membaik, akan tetapi peperangan melawan Sean adalah hal paling merepotkan. Itu tidak akan menemui titik terang, apalagi menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Ditambah, kesehatan Romeo juga mempengaruhi pikiran Ruth sekarang. Anak semata wayangnya itu menderita penyakit yang harus mendapat perhatian khusus, apa jadinya kalau Romeo malah berada di tengah-tengah konflik mereka? Ruth benar-benar terdesak oleh sebuah pilihan buruk, yaitu menyetujui permintaan Sean.
“Baiklah, aku setuju.” Ruth menjawab dengan terpaksa.
Namun, itu sudah lebih dari cukup untuk Sean memulai langkah dalam menjerat wanita ini ke dalam pelukannya lagi.
***
Setelah Ruth diperbolehkan pulang, wanita itu telah disediakan kursi roda yang akan didorong oleh Sonya. Kening Ruth sedikit mengerut karena dia malah diajak lebih jauh di area rumah sakit tersebut alih-alih pulang dan membawanya ke tempat Romeo. Sean juga belum memberitahu keadaan sebenarnya, sebab Ruth pasti tidak akan sembuh secepat ini jika tahu putra mereka juga masuk rumah sakit.
“Sean, jangan main-main. Aku mau bertemu dengan Romeo, ke mana kau membawaku sekarang?” tanya Ruth sekaligus protes.
“Aku sedang membawamu ke tempatnya, Ruth,” jawab Sean. Sesekali dia menelan ludah, berat sekali menyampaikan kabar ini kepada Ruth. “Dia juga masuk rumah sakit beberapa hari lalu, Romeo telah menjalani operasi di jantungnya.”
“Apa kau bilang?” Ruth menghentikan putaran roda, kedua tangannya gemetar dan menatap Sean jauh lebih dalam. “Dia masuk rumah sakit dan kau tidak memberitahuku?”
“Lalu aku harus memberitahumu kemarin-kemarin dan mengambil risiko kau akan mengacaukan segalanya?”
“Lelaki b******k, bisa-bisanya kau menyembunyikan hal sebesar ini dariku!”
“Setidaknya berterima kasihlah karena kau tidak sampai bertindak di luar kendali! Kalau kau tahu lebih awal, apa kau akan memedulikan dirimu sendiri? Aku yakin kau akan merangkak ke sana dan mengabaikan apa yang paling penting untuk anak itu!” Sean masih berkata tegas kepada wanita itu. Dia sangat tahu wanita cenderung menggunakan perasaan, hati yang lemah dalam menghadapi masalah anak. Apalagi Ruth juga bukan tipe wanita yang mudah dikendalikan, jika sampai Ruth tahu keadaan Romeo sejak dia masuk rumah sakit. Sean yakin wanita ini hanya akan menyiksa diri sampai titik terendah kekuatan tubuhnya. Sementara, Romeo lebih membutuhkan seorang ibu yang sehat dan bisa memeluknya, daripada ibu yang bisa menularkan penyakit ketika operasinya berhasil.
Ruth hanya bisa kembali terduduk dan menangis setelah sempat ingin mengamuk kepada Sean.
“Biar aku yang ambil alih mulai dari sini, pergilah dan siapkan berkas yang kuminta semalam,” pinta Sean kepada Sonya.
“Baik, Tuan. Saya akan segera mengantarkannya kepada Anda.”
Wanita itu pun berlalu, meninggalkan Sean yang mengambil alih pekerjaannya. Sean mendorong kursi roda yang diduduki Ruth sampai mereka tiba di area ruang rawat inap khusus bayi. Kabar terakhir yang didapat Sean, Romeo berhasil menjalani operasinya. Bayi malang itu mengalami kebocoran jantung, meski ukurannya kecil tapi tetap butuh penanganan khusus karena berpengaruh kepada kesehatannya.
Di sana, Sean hanya melihat satu orang penjaga suruhan Gabriel. Sepertinya seorang lagi tengah pergi keluar. Lelaki itu terkesiap seketika melihat nyonya yang sempat hilang itu muncul di hadapannya.
“Nona Ruth! Ini memang benar Anda, saya harus segera menelepon Tuan Gabriel—“
“Jangan, Sam. Tolong rahasiakan untuk sementara, karena ada yang harus kulakukan hari ini,” ujar Ruth kepada lelaki tersebut.
“Tapi, Nona. Tuan Gabriel tengah susah payah mencari Anda selama ini, dia sangat cemas dengan keadaan Anda.”
“Aku tahu. Sekarang aku sudah ada di sini, aku yang akan bertanggung jawab atas kakakku. Kau tetaplah di sini dan rahasiakan orang yang berada di sampingku, jangan memberitahu Gabriel. Apa kau mengerti?”
Lelaki itu tampak sangat keberatan, dia tidak mengenal siapa Sean, tapi tidak berani membantah perintah Ruth. Mereka pun akhirnya meminta sedikit ruang untuk bertemu dengan Romeo kepada perawat, hingga mereka bisa melihat keadaannya bersama.
Bayi itu tampak sedang bergerak kecil di kasur pesakitannya. Ruth begitu tergesa-gesa sampai dia turun dari kursi roda hanya untuk melangkah cepat ke arah bayinya. Sean juga tidak dapat mencegah, tangis Ruth memecah keheningan ketika menyentuh tangan bayi mungil mereka yang masih bisa merespons. Operasi yang dijalani Romeo selesai dua hari lalu, itu membuat kondisinya sekarang cukup stabil dan sudah mampu beraktivitas seperti biasa.
“Oh, Sayang. Maafkan momy, ya. Momy tidak ada saat kamu membutuhkan momy ... hiks. Maafkan momy, Rom.” Ruth menangis, tetapi dia tidak bisa menyentuh Romeo lebih banyak karena khawatir akan menggerakkan luka bekas operasinya. Bayi itu hanya bergerak kecil, tidak nyaman karena masih menggunakan selang oksigen yang menusuk hidung.
Sementara Sean seakan terpatri di tempat. Bagaimana tidak, bayi Romeo mengingatkan tentang dirinya sewaktu masih seusianya dulu. Romeo memiliki lensa mata warna amber paling langka dan menghasilkan warna seperti kuning tembaga, kulit putih pucat dengan rambut kecokelatan hampir mencetak keseluruhan tubuh milik Sean. Tidak sampai dua menit menatapnya, Sean sudah bisa memastikan siapa ayah dari anak ini.
“Aku akan membawa anak ini bersamaku.”
“Apa?” Ruth spontan menoleh ketika mendengar ucapan Sean.
“Sudah kubilang ... aku akan membawa anak ini. Kalau kau tidak mau melepaskannya, ikutlah dan aku akan membiarkanmu merawatnya di rumahku.” Sean melempar tatapan keseriusan kepada Ruth yang sekarang tengah mengumpulkan kalimat seribu kilometer untuk membantahnya.