Tubuh Nara pasti sudah jatuh ke bawah jika saja seseorang tidak menahan tangannya. Gadis itu sudah menangis, dan dalam peglihatannya yang buram ia melihat seseorang. Nara terisak saat menyadari Moa ada di sana. Perlahan tubuhnya ditarik kembali ke atas.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Moa.
Di tengah isakannya, Nara mengangkat salah satu tangannya. Ia menunjukkan sebuah tanaman obat yang berhasil dia dapatkan pada Moa.
Kedua alis Moa bertaut. "Apa itu? Tanaman obat?"
Nara mengangguk. "Aku berniat memberikan ini padamu tapi aku malah terpeleset. Kau lagi-lagi menolongku."
"Dan tanaman itu pada akhirnya akan kau gunakan sendiri." Moa menggendong tubuh Nara dan membawanya pergi dari sana.
"Lukamu sudah sembuh?" tanya Nara.
"Hm. Sudah kubilang lukaku akan membaik dalam kurun waktu 24 jam. Kenapa juga kau harus bersusah payah mencari tanaman obat?"
Nara menunduk. Selain ia melupakan tujuannya untuk membuat senjata secara diam-diam, ia kini malah semakin tidak bisa keluar karena Moa akan semakin mengawasinya.
Moa mendudukkan Nara di bawah pohon dan ia berlutut. Setelah membersihkan tangan Nara dengan air, ia menggunakan tanaman itu untuk luka Nara.
"Manusia selalu saja merepotkan," keluh makhluk itu.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku ada di sana?" tanya Nara kemudian.
"Baumu itu sudah bisa aku kenali bahkan dari jarak jauh, jadi aku bisa dengan mudah menemukanmu. Jika aku terlambat beberapa detik saja, tubuhmu akan terjerembap ke dalam jurang tadi."
"Dan lagi-lagi kau menolongku," ujar Nara.
Moa yang tengah membalut luka Nara mendadak berhenti dan menatap tangan gadis itu selama beberapa saat, namun ia tak menjawab ucapan gadis itu.
"Sekali lagi kau berniat kabur dari sini, aku tidak akan segan-segan membuat penghalang dan tak akan ada satu orang pun yang bisa menembusnya."
Nara terdiam. Habislah dia, jika itu benar-benar terjadi maka dia akan selamanya terjebak di dalam hutan. Gadis itu menelan ludah.
"Jika hal itu terjadi, kurasa tidak ada pengaruh apa-apa untukku. Aku tetaplah manusia dan aku akan mati di sini. Bukankah begitu?" Nara mengaduh pelan saat Moa mengikat kain yang membalut lukanya. "Selain aku, apakah ada orang lain yang pernah ke sini?" Ia bertanya.
"Hanya ada satu orang yang bisa menemukan tempat ini. Selebihnya tak ada manusia yang berhasil ke sini, karena sebelum mereka sampai, aku akan langsung menghabisinya.
"Siapa ... dia?" Nara menatap Moa. "Siapa yang berhasil menemukan tempat persembunyianmu?" Siapapun itu, Nara berpikir kalau orang itu pasti sangat kuat dan hebat.
Moa menatap Nara dengan tatapan yang sulit diartikan. Pria itu lalu melepaskan mantel bulunya yang berwarna hitam secara tiba-tiba dan memakaikannya pada Nara. Tanpa berniat menjawab, Moa perlahan berjalan menjauh dari sana.
"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku," ujar Nara. Ia hendak bangkit namun suara Moa menginterupsinya.
"Tetaplah berada di sana. Aku akan segera kembali. Jangan lepaskan mantel itu sebelum aku ke sini," ujar Moa, Dalam hitungan detik, tubuh makhluk itu sudah lenyap dari pandangan.
Nara menatap mantel milik Moa yang ada di tubuhnya. Mantel yang berukuran lebih besar itu hampir membuat tubuhnya tak terlihat, bahkan ia tak bisa melihat telapak tangannya.
Perlahan Nara bisa mencium wangi khas dari mantel itu dan menguar ke indra penciumannya. Gadis itu menghirup wangi mantel milik Moa, yang entah kenapa justru membuatnya merasa nyaman.
Nara menatap ke sekitar saat Moa tak kunjung kembali.
"Apa dia meninggalkanku di sini?" Nara berkedip. Ia dengan perasaan was-was menatap ke sekeliling, takut jika ada binatang buas yang secara tiba-tiba muncul dan menyerangnya. "Ke mana dia pergi? Kenapa lama sekali?" Nara berniat beranjak dan mencari Moa namun sebuah suara mengerikan di antara semak-semak langsung mengurungkan niatnya dan gadis itu memutuskan untuk kembali duduk di sana, bahkan semakin merapatkan tubuhnya ke pohon, sekaligus merapatkan mantel itu ke tubuhnya.
Meskipun itu adalah Hutan Moa, tapi tetap saja itu adalah hutan yang masih terdapat banyak binatang liar di sana. gadis seperti Nara akan menjadi sasaran empuk binatang yang kelaparan.
Lalu tidak lama kemudian, Nara melihat Moa yang datang dengan membawa banyak buah murbei di tangannya. "Makanlah. Aku hanya menemukan ini." Ia menatap Nara.
"Untukku?"
"Hm."
"Wah ... " Nara mengambil murbei yang berada di tangan Moa dan memakannya. "Ini manis. Kau juga harus mencobanya," ujarnya.
"Moa menggeleng. Kau saja yang makan."
"Kenapa kau selalu menolak makanan yang aku tawarkan?" Nara menatap Moa.
"Aku hanya sedang tidak lapar," jawab Moa seadanya. Ia lalu duduk di sebuah batu yang tidak jauh dari posisi Nara.
"Aku tidak tahu kalau di hutan ini ternyata banyak tumbuh buah-buahan." Nara memakan murbei itu dengan lahap.
"Itu banyak tumbuh di sekitar sini, jadi kau bisa menemukannya dengan cukup mudah," ujar Moa. Ia menatap Nara yang terlihat sibuk dengan makanannya. Ia tersenyum tipis.
"Oh, iya. Kenapa kau tadi memberikan mantelmu padaku?"
"Agar tidak ada binatang buas yang menyerangmu. Mereka akan berpikir kalau kau itu aku, dan mereka tidak akan mendekat."
"Ah, jadi begitu. Pantas saja kau tidak pernah diserang oleh binatang liar." Nara tertawa pelan. Ia kembali memasukkan murbei itu ke dalammulut dengan tangan menggunakan tangan kiri, karena tangan kanannya mengalami cidera.
"Kalau begitu aku akan meminjam mantelmu jika aku mau mencari ini sendiri."
Moa tersenyum miring. "Hei, kau tidak lelah? Kau terlihat kurang tidur."
Kunyahan Nara sempat terhenti. "Aku tidak bisa tidur semenjak aku berada di sini. Aku masih takut kalau kau akan membunuhku secara tiba-tiba saat aku sedang tidur."
"Begitukah?" Moa tertawa pelan. "Tidurlah yang benar. Aku tidak akan membunuhmu jika kondisimu sedang tidak sadar. Jangan samakan aku dengan kakekmu itu. Aku berbeda."
Nara terdiam setelahnya. Ia sadar suatu hal, sepertinya kakeknya tidak mencarinya. Lalu mungkinkah hanya Yooshin? Pemuda itu bahkan sampai terluka demi menemukannya.
"Kakekmu berusaha mencarimu," ujar Moa.
"Apa?"
"Dia mencarimu bersama dengan ayah temanmu itu. Sulit dipercaya, dia tidak tahu malu. Padahal dia sendiri yang membuangmu, tapi setelah tahu kau ada padaku, dia masih bisa mencarimu dan bahkan memohon agar aku melepaskanmu."
"Kakekku melakukan itu?"
"Hm. Kenapa? Kau ingin kembali ke sana?"
Nara tak menjawab. Sejujurnya ia masih ingin kembali ke sana, namun perjanjiannya dengan Moa membuatnya hampir tak bisa berkutik. Ia tidak boleh gegabah, atau ia akan membuat masalah dan semuanya akan hancur.
"Kau tahu kan, kalau kau tak akan bisa lagi kembali ke sana," ujar Moa.
Nara menganggukkan kepalanya.
"Kau tahu akibatnya jika sampai kau berani melanggar perjanjian kita. Akan aku pastikan kalau kau pasti akan menyesalinya jika semua itu sampai terjadi."