"Jika Nona Pendeta ternyata masih hidup, bukankah seharusnya dia kembali?" Seorang wanita berujar seraya menghentikan kegiatan menyapunya.
Salah seorang wanita yang beberapa saat lalu menghampirinya itu pun mengangguk pelan. "Kau benar. Apa sekarang dia jadi berpihak pada Moa? Atau mungkin Nona sudah mati?"
"Kurasa Nona Pendeta masih hidup. Jika dia sudah mati, tidak mungkin Tuan Hwang mengirimkan orang untuk pergi ke hutan. Tuan Hwang tidaklah bodoh. Dia pasti bisa membaca rencana Moa. Itu artinya, kemungkinan Nona Pendeta masih hidup," ujar yang lain.
"Tapi sekarang desa kita ini terancam. Jika Moa mengamuk lagi seperti kemarin, kita semua bisa mati. Tuan Hwang dan Tuan Seungmo terluka parah dan mustahil bagi mereka untuk mengalahkan Moa. Lagi pula perbatasan sudah dibakar habis oleh Tuan Seungmo. Dia bahkan berniat membunuh cucunya sendiri. Tapi apa menurut kalian, Tuan Seungmo memiliki rencana lain? Apa dia sengaja melakukannya? Untuk memancing Moa?"
"Itu terlalu besar resikonya. Cucunya bisa saja mati. Bahkan jika Nona Pendeta selamat, dia pasti akan langsung disekap oleh Moa atau yang lebih parahnya lagi Nona Pendeta akan langsung dibunuh oleh makhluk itu."
Para wanita itu bergidik ngeri.
"Sebagian rumah terbakar karena ulah Moa. Ya Tuhan, aku benar-benar tidak menyangka kalau semua ini terjadi pada desa kita. Haruskah kita pindah ke Tamra?"
"Uangku tidak akan cukup."
"Apa kalian hanya akan berdiam diri dan mengabaikan pekerjaan kalian?" Yooshin menatap satu per satu pelayan yang bekerja di rumahnya. Telinganya terasa gatal sewaktu mengetahui kalau para wanita itu tengah membicarakan Nara. Memang bukan pembicaraan yang begitu buruk, namun Yooshin tak menyukainya apalagi jika sudah menyangkut tentang nyawa Nara.
Mereka meminta maaf dan kembali ke pekerjaan masing-masing. Sementara Yooshin pergi ke tempat kejadian kebakaran. Dengan ditemani oleh seorang anak buah sang ayah, ia berjalan melihat keadaan sekitar yang masih tampak kacau dengan langkah yang masih pincang.
"Moa tiba-tiba saja mengamuk tidak lama setelah Tuan Hwang menyuruh kami untuk mencari Nona Pendeta ke dalam Hutan Moa," jelas pria yang berjalan di sebelahnya.
"Sudah kuduga. Moa benar-benar mendapatkan Nara kali ini." Yooshin bergumam.
"Maaf mengatakan hal ini, Tuan. Tapi saya penasaran mengapa Nona Pendeta bisa dengan mudah tetangkap? Bukankah ia memiliki sebuah norigae peninggalan ibunya? Kudengar norigae itu bisa melindunginya dari Moa."
"Nara menukarnya dengan norigae yang lain," jawab Yooshin. "Aku tidak tahu di mana dia menyembunyikan benda itu tapi aku yakin kalau dia tidak membawanya pergi. Dia pasti meninggalkannya di suatu tempat, jika itu bukan rumahnya."
Tiba-tiba seorang gadis kecil berlari menghampiri Yooshin dan langsung memeluknya.
"Tuan!"
Yooshin sempat terkejut. Anak buah sang ayah hendak mengeluarkan pedangnya namun Yooshin segera menahannya. Lelaki itu lalu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan gadis itu.
"Ah, kau gadis yang waktu itu, kan?" Ia melihat sebuah norigae yang menggantung di hanbok gadis itu, yang tidak lain adalah norigae yang pernah dibelikan oleh Nara.
Gadis itu mengangguk. Tiba-tiba ia menangis, membuat Yooshin terkejut.
"Kenapa kau menangis, Nak?"
"A-aku khawatir pada Nona Pendeta, Tuan. Apakah Nona Pendeta baik-baik saja? Aku mendengar kalau dia sekarang ditangkap oleh Moa. Aku takut jika sesuatu yang buruk terjadi padanya."
Yooshin tertegun mendengar ucapan gadis itu. Ia lalu mengusap air mata yang jatuh dari pelupuk mata gadis di depannya."Nona Pendeta pasti baik-baik saja. Dia adalah wanita yang kuat. Dia pasti bisa melindungi dirinya. Kau jangan khawatir aku pasti akan segera menemukannya dan membawanya pulang ke sini lagi. Yang harus kau lakukan, adalah berdoa untuk keselamatannya, juga keluargamu," ujarnya.
Gadis kecil itu mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Yooshin mengusap puncak kepala gadis itu dengan lembut.
***
Nara berjalan mendekati aliran air sungai lalu berjongkok di sana. Gadis itu mengambil air yang jernih itu menggunakan kedua tangannya, lalu ia minum. Kerongkongannya terasa lebih segar saat air itu masuk. Ia lalu memutar tubuhnya dan menatap ke atas, tepat ke sebuah pohon tempat Moa berdiam diri.
"Kenapa aku harus mencemaskannya? Ini kesempatan bagus. Apa yang dia katakan itu benar. Aku harus lari dari sini. Atau membunuhnya sendiri dengan kedua tanganku?" Nara menatap kedua tangannya yang basah.
"Dia bilang kalau lukanya akan pulih dalam waktu 24 jam. itu artinya tidak ada banyak waktu yang tersisa. Aku harus bergerak cepat. Keadaan desa akan kacau jika aku berlama-lama di sini." Ia menatap pantulan wajahnya yang berada di permukaan air. Gadis itu lalu meraba lehernya. Ia masih merasakan luka bekas kuku Moa beberapa hari yang lalu. Makhluk itu memang beberapa kali menyelamatkan hidupnya, namun Moa tetaplah Moa. Ia tetap menjadi makhluk yang harus Nara hindari sekaligus Nara bunuh demi kelangsungan hidup semua orang.
"Aku tidak punya senjata, dan aku bahkan tidak bisa menyentuh pedang milik Moa sedikitpun. Aku akan langsung mati. Norigae milikku sudah tidak ada, aku hanya bisa berdoa pada Tuhan. Ah, kurasa aku akan membuat senjataku secara diam-diam." Nara berdiri dari posisinya dan berjalan. Sesekali ia menoleh ke belakang, memeriksa apakah Moa menyadari kepergiannya dan mengikutinya, namun sepertinya makhluk itu tak ada di sana. Itu adalah kesempatan yang cukup bagus. Jika dia memang tak bisa pergi dari hutan, maka ia harus bisa mempertahankan diri.Ia berharap Yooshin akan datang dan menemukannya.
Pandangannya tiba-tiba teralih pada sebuah tanaman obat yang ada di pinggir sebuah jurang. Nara berpikir sejenak, berusaha mengingat jenis tanaman itu. Ia dan kakeknya sejak dulu cukup sering pergi ke hutan untuk mencari tanaman obat, jadi Nara juga cukup banyak mengetahui jenis tanaman liar yang bisa dijadikan untuk obat.
Dengan berpegangan pada salah satu pohon, Nara perlahan menuruni lereng dan berusaha meraih tanaman itu. "Mungkin dengan ini, luka di punggung makhluk itu akan segera pulih," ujarnya. Ia masih terus berusaha memanjangkan tangannya agar bisa meraih tanaman itu. Sesekali matanya tanpa sengaja menatap ke bawah sana hingga kepalanya berdenyut.
"Tinggi sekali." Ia sempat memejamkan kedua matanya. Lalu membukanya lagi dan semakin menurunkan tubuhnya ke bawah. "Kumohon, sedikit lagi."
Tepat ketika tangannya berhasil meraih tanaman itu, tangannya yang lain justru tergelincir hingga tubuhnya terperosok ke bawah. Nara menggapai salah satu akar yang dan berpegangan di sana sekuat yang ia bisa. Seketika ingatan beberapa tahun lalu kembali menghinggapi kepalanya. Di salah satu musim dingin, ia pergi ke dalam hutan sendirian dan bertemu dengan Moa. Ia terjatuh ke jurang lalu berpegangan pada akar, bersamaan dengan Moa yang menghunuskan pedang padanya. Ia yang masih kecil menangis dan berusaha minta diselamatkan, namun ia ketakutan di saat yang bersamaan.
"Akh!" Nara semakin kehilangan tenaganya. Tangannya semakin terasa perih dan ia seperti tak bisa lagi bertahan di sana. Dengan pandangan yang buram, ia melihat ke sekitar.
'Ini ... tempat yang sama dengan yang waktu itu.' Kedua sudut bibirnya naik. Mungkin pada akhirnya, ia akan mati di sana.