Di bawah malam purnama itu, Kiara dan Moa melakukan perjanjian tanpa sepengetahuan orang-orang. Keduanya bertemu di perbatasan hutan dan melakukan perjanjian di sana.
"Jika aku berhenti membantai penduduk, kau akan menyerahkan dirimu padaku?"
Kiara mengangguk. "Aku akan datang padamu, jadi kau bisa membunuhku. Tapi ingat, kau juga harus menepati janjimu padaku."
"Aku pegang janjimu. Namun jika kau mengingkarinya, akan aku pastikan seluruh keluargamu akan aku habisi, termasuk putri semata wayangmu itu."
Kiara mengepalkan kedua tangannya.
***
Kedua mata Moa terbuka lebar dan ia mendudukkan tubuhnya. Mimpi tentang perjanjian bersama Kiara selalu berulang dan membuat tidurnya tak tenang. Setelah sekian tahun, ia tidak bisa melupakan dendamnya begitu saja. Moa menatap pedang miliknya. Pedang berwarna silver itu menyimpan sisi gelap Kiara di dalamnya, dan siapa sangka kalau sisi gelap milik Kiara lah yang membuat kekuatan pedangnya meningkat berkali-kali lipat. Di akhir hayatnya, kebencian Kiara pada Moa pasti begitu besar.
Moa berjalan keluar dan ia terkejut melihat Nara yang berada di sana. Gadis itu tampak duduk di depan sebuah api unggun yang sengaja dia buat.
"Kau tidak tidur?" tanya Moa.
Nara mengangkat wajahnya dan menatap Moa yang kini mendudukkan tubuhnya di sebelahnya. "Sudah kubilang kalau aku tidak bisa tidur dengan benar selama berada di sini," ujar gadis itu.
"Di luar dingin dan akan banyak binatang liar berkeliaran mencari makan. Kau tidak takut?"
"Aku tahu. Jadi aku membuat api di sini. Kudengar mereka takut dengan api."
Moa tertawa pelan. "Dengan binatang saja kau masih ketakutan, dan kau masih berniat ingin membunuhku?" cibirnya.
Nara menggembungkan kedua pipinya. "Apa kau bisa sekali saja tidak membahasnya?" Ia berujar kesal. "Kau sendiri kenapa malah keluar? Ini sudah malam. Kau kan masih harus banyak beristirahat."
"Aku terbangun." Moa melempar kayu berukuran kecil yang ada di dekatnya ke dalam api.
"Aku khawatir dengan keadaan kakek. Apa kau tidak berbohong? Apa kakekku baik-baik saja?" ujar Nara tiba-tiba.
"Kau tidak percaya padaku? Aku tidak membunuh kakekkmu. Lukanya mungkin agak parah, tapi dia tidak akan mati karena itu. Aku tidak menggunakan kekuatanku saat menyerangnya. Dia akan sembuh dalam waktu kurang dari seminggu, hanya saja lukanya tidak akan mengering dengan cepat." Moa menatap tangannya. Ia lalu menoleh, dan justru melihat Nara yang sudah memejamkan kedua matanya. Ia menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, lalu melepas jaketnya dan memakaikannya pada gadis itu.
"Semakin dewasa, kau semakin mirip dengan ibumu," lirih Moa. Dengan perlahan ia menarik kepala Nara agar bersandar pada bahunya. Gadis itu berkata kalau dia tidak bisa tidur dengan benar selama berada di sana, namun sekarang dia justru terlihat sebaliknya. Nara tampak tertidur pulas. Pandangan Moa turun dan menatap salah satu tangan Nara yang masih dibalut. Ia tidak habis pikir ternyata Nara bisa sampai mencarikan tanaman obat untuknya.
***
Beberapa anak tampak berada di perbatasan hutan. Mereka dengan semangat menanam benih pohon ek di sana.
"Aku berharap Nona Pendeta akan segera kembali dengan keadaan yang selamat," ujar salah satu anak.
Yooshin tersenyum dan berjalan menghampiri anak itu. Ia lalu menatap jauh ke dalam hutan, berharap Nara muncul namun itu sedikit mustahil karena gadis itu ada bersama Moa. Hari-hari cerah yang ia lewati berbanding terbalik dengan perasaannya yang selalu diliputi rasa bersalah sekaligus cemas atas keselamatan Nara.
Pemuda itu lalu berbalik ke belakang dan terkejut melihat Seungmo.
"Anda sudah sembuh? Seharusnya Anda tidak perlu memaksakan diri ke sini." Yooshin membantu Seungmo berjalan.
"Aku mendengar dari beberapa pelayan di rumahku kalau kau pergi bersama anak-anak ke sini untuk menanam benih pohon ek. Aku sangat berterima kasih padamu. Rasanya aku malu sekali," ujar Seungmo.
"Tidak apa-apa. Aku dan anak-anak melakukan ini dengan senang hati. Bahkan anak-anak ini mendoakan keselamatan Nara dan berharap Nara segera kembali."
"Begitukah?" Seungmo menatap anak-anak yang berada di sana. Kedua sudut bibirnya perlahan naik, membentuk seolah senyuman.
"Haruskah aku masuk ke dalam hutan dan mencari Nara? Aku tidak bisa membiarkan dia berada di sana lebih lama atau sesuatu yang buruk akan terjadi padanya. Lukaku juga sudah sembuh, aku bisa pergi mencarinya"
"Tapi itu terlalu bahaya. Aku akan menyuruh anak buahku agar menemani perjalananmu," ujar Seungmo.
Yooshin menggelengkan kepala. "Aku akan pergi sendiri. Jika aku pergi bersama dengan anak buah Anda, korban yang berjatuhan akan bertambah lagi. Moa akan dengan cepat menemukan keberadaanku dan membunuh mereka semua dalam sekejap. Bagaimana pun, Nara ada bersamanya. Aku hanya ingin membawanya sendiri dengan keadaan selamat. Jadi tolong izinkan aku pergi," pinta Yooshin.
"Lalu bagaimana jika sesuatu yang buruk itu terjadi padamu? Apa yang akan aku katakan pada ayahmu dan juga orang-orang?"
"Aku akan baik-baik saja, jadi Anda tidak perlu khawatir. Aku akan membawa pedang milik Guru Son jika Anda mengizinkan."
"Pedang milik Daehyun?" Seungmo tampak berpikir sejenak dan ia kemudian mengangguk. "Aku akan mengizinkanmu membawanya. Tapi ingat, kau harus pergi memberitahu ayahmu dan kau akan pulang dengan keadaan selamat." Seungmo memegang kedua bahu Yooshin kuat.
Yooshin mengangguk. "Aku akan membawa Nara kembali dan melenyapkan Moa."
***
Nara membuka kedua matanya saat sesuatu yang menyilaukan mengganggu tidurnya. Ia perlahan membuka mata, lalu terkejut melihat Moa yang masih tertidur di sampingnya. Mereka masih berada di luar, bahkan api unggun semalam sudah padam entah sejak kapan. Nara juga mendapati mantel milik Moa yang sudah berada di tubuhnya. Kedua mata Moa masih terpejam, bahkan pria itu hanya bertumpu dengan pedangnya untuk menjaga keseimbangan. Jika dia manusia, mungkin tangannya akan kebas begitu ia terbangun.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Moa tiba-tiba membuka kedua matanya.
Nara tersentak dan gadis itu sampai refleks menjauhkan tubuhnya. "Bukankah kau sedang tidur?"
"Ya, awalnya. Sebelum aku merasa ada aura aneh, dan ternyata itu berasal darimu."
Nara berkedip dua kali. "Kau peka sekali. Bahkan jika aku membunuhmu saat kau tidur pulas, kau pasti akan langsung terbangun dan membunuhku terlebih dulu," ujarnya polos.
Moa tertawa. Ia lalu berdiri dan mengambil kembali mantel miliknya. Ia menoleh saat mendengar gemuruh kecil yang berasal dari sosok manusia di sebelahnya.
Wajah Nara tampak memerah dan ia memegangi perutnya yang berbunyi.
"Kau lapar?"
Nara menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. Tampaknya ia malu karena terlalu sering kepergok dalam keadaan lapar.
"Kalau begitu ayo cari makan." Moa berjalan mendahului Nara, dan disusul oleh gadis itu tidak lama setelahnya.
"Bisakah kita mencari murbei lagi?" Nara menatap Moa yang berjalan mendahuluinya.
"Kau akan sakit perut jika terlalu banyak memakannya," ujar Moa.
Nara mencebikkan bibir. Langkah Moa tiba-tiba berhenti, membuat Nara hampir saja menabrak punggung pria itu.
"Ada apa?" tanya Nara.