Nara berdiri begitu akar-akar itu bergerak menjauh hingga akses ke istana Moa terbuka. Gadis itu sempat memundurkan langkahnya. Siapa yang datang? Apakah orang lain? Apakah penduduk berhasil menemukannya dan mengalahkan Moa?
Tapi--
Kedua netra milik gadis itu membulat tatkala melihat Moa yang masuk dengan keadaan sempoyongan dan berlumuran darah. Gadis itu secara refleks menangkapnya begitu tubuh Moa kehilangan keseimbangan dan ambruk. Napas makhluk itu terengah.
"Kau terluka." Nara berujar pelan begitu menyadari tangannya yang ikut berlumuran darah.
"Menjauhlah," lirih Moa.
"Tapi kau terluka.Kau sebaiknya--"
"Kubilang menjauh!!"
Tubuh Nara terhempas ke belakang oleh dorongan Moa. Namun Nara memanglah keras kepala. Bahkan di saat Moa terluka, dia memilih untuk mengobati luka milik makhluk itu, mengabaikan kalau kesempatan itu cukup langka baginya. Gadis itu terkejut melihat tangan Moa yang berlumuran darah. Apakah makhluk itu kembali menjatuhkan korban lagi? Atau itu hanya darah binatang liar?
"Siapa yang melukaimu? Pasti dia orang yang hebat." Nara melepas jubah berwarna hitam milik Moa dan membersihkan luka itu.
Dalam hati gadis itu cemas jika Moa menyebut Yooshin. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Yooshin berjuang sendirian melawan Moa. Jika Moa saja bisa terluka seperti ini, Nara tak bisa membayangkan bagaimana luka yang dialami oleh pemuda itu.
"Kakekmu," lirih Moa. "Dan juga ayah dari temanmu."
Gerakan tangan Nara terhenti. "Maksudmu kakekku ... dan Tuan Hwang?" Kedua netra milik Nara membulat.
"Hm."
"Lalu ... Yooshin? Bagaimana dengannya?" tanya Nara ragu.
"Pria itu tak ada di sana. Lukanya beberapa waktu lalu cukup parah, jadi kurasa dia tak akan sanggup bahkan untuk berjalan."
"A-apa?"
Moa melirik gadis di belakangnya. "Aku tidak bilang dia mati. Aku hanya bilang kalau dia terluka parah. Aku sudah bilang kalau aku hanya memukulnya dan dia langsung jatuh pingsan."
Nara kian tak tenang. Selain ia mengkhawatirkan Seungmo dan Tuan Hwang, kini gadis itu kembali mencemaskah Yooshin. Mungkin jika lelaki itu tidak terluka, ia akan segera menemukan Nara di sana.
"Kau benar-benar mencemaskan pria itu, ya?" Moa berujar.
"Kami bersama sejak masih kecil. Dia bahkan menghiburku di hari kematian kedua orang tuaku." Nara terdiam sejenak. Ia lalu berdiri dari posisinya. "Tunggulah, aku akan keluar untuk mencari tanaman obat."
Moa dengan cepat menahan pergelangan tangan gadis itu. "Tidak usah. Lukaku akan sembuh dalam semalam."
"Apa?"
"Aku hanya butuh istirahat sekarang. Jadi tetaplah di sini dan jangan pergi keluar," ujar Moa.
Nara diam selama beberapa saat. "Kau yakin? Lukamu parah."
Moa tersenyum miring.
***
"Tuan sudah sadar!" Beberapa orang yang ada di ruangan itu tak henti-hentinya mengucapkan syukur ketika kedua mata milik Tuan Hwang akhirnya kembali terbuka setelah pria itu tak sadarkan diri selama beberapa jam usai bertarung melaan Moa.
"Ayah!" Yooshnin berjalan perlahan menghampiri ayahnya. "Apa yang terjadi?"
"Yooshin--" Tuan Hwang berusaha bangkit untuk mendudukkan tubuhnya namun badannya terasa begitu sakit.
"Ayah terluka sangat parah. Perut Ayah juga terluka. Moa menusuk Ayah, beruntung lukanya hanya luka biasa, tidak seperti yang dialami oleh Nara. Moa tidak menggunakan kekuatannya saat melukai ayah dan Kakek Seungmo," ujar Yooshin.
"Tuan Seungmo! Bagaimana dia sekarang?"
"Tenanglah, Ayah. Kakek Seungmo sudah diobati di kediamannya. Dia akan baik-baik saja. Ayah harus istirahat untuk sementara. Kakiku sudah cukup mendingan jadi aku bisa mengejar Moa."
"Tidak, Yooshin. Meskipun mungkin saat ini Moa dalam keadaan terluka, tapi Ayah yakin kalau lukanya akan segera pulih. Dia kembali memakan korban. Dia menghisap jiwa beberapa penduduk, bahkan dia meningkatkan kekuatan pedangnya. Kau tahu, pedang milik Moa juga bisa menghisap sisi gelap manusia."
"Tapi aku tidak bisa membiarkan Nara terus-menerus berada di sana. Dia berada dalam bahaya. Apa Ayah ingin aku hanya berdiam diri di sini?"
"Yooshin, percayalah. Nara akan baik-baik saja. Moa datang mengacaukan desa tidak lama setelah Ayah mengirimkan beberapa orang untuk masuk ke dalam hutan. Makhluk itu langsung muncul di desa, membakar habis rumah penduduk dan membunuh mereka dengan kejam. Nara pasti ada di dalam hutan. Dia sengaja pergi ke desa untuk mengalihkan perhatian orang-orang agar berpikir kalau Nara tak ada padanya," ujar Tuan Hwang. "Tapi Ayah tidak bodoh. Moa sudah jelas sengaja melakukan itu. Ia tidak ingin keberadaan Nara kembali ditemukan oleh siapapun."
"Tapi kenapa Nara tidak berusaha pergi dari sana? Dia bukan gadis penakut yang hanya diam pasrah saat berada dalam bahaya. Tidakkah Nara berusaha untuk kabur? Seperti apa tempat tinggal Moa? Bahkan sampai saat ini pun tak ada seorang pun yang berhasil menemukannya."
"Hanya ada dua kemungkinan, Yooshin."
"Apa itu?"
"Nara dikurung di sana," Tuan Hwang menjawab. "Atau dia sendiri yang berinisiatif untuk tetap tinggal di sana."
"A-apa? Tapi kenapa, Ayah? Kenapa Nara harus melakukan hal seperti itu? Itu berbahaya!"
"Yooshin, Nara mungkin dalam bahaya di sana. Tapi Moa tak akan denga nmudah membunuhnya."
Kedua alis Yooshin bertaut. "Kenapa?"
"Kemungkinan Nara yang melakukan perjanjian dengan Moa."
"A-apa? Kenapa Ayah mengatakan hal seperti itu? Nara tidak akan melakukannya, Ayah!"
"Karena ibunya juga melakukan hal yang sama, Yooshin. Kiara melakukan perjanjian dengan Moa. Hanya wanita itulah, yang tahu ada di mana letak istana milik Moa. Hutan Moa tidaklah kecil, justru sebaliknya. Hutan itu sangat luas dan hanya Moa sendiri yang tahu seluk-beluknya.
Yooshin terdiam. Ia terkejut mendengar hal itu. Kejadian ini bukan hal yang pertama, karena ternyata Kiara dahulu juga mengalami hal yang serupa.
Saat di mana Nara diam sewaktu Moa menyandranya, ia ingat itu. Bahkan saat ia menyadari kalau norigae yang dipakai oleh Nara adalah norigae biasa, bukan milik mendiang ibunya. Benarkah Nara sengaja melakukan semua ini? Tapi kenapa? Dengan alasan apa dia melakukan hal seberbahaya ini?
"Jadi Ayah harap agar kau tidak gagabah menghadapi ini."
***
Moa berjalan ke luar dan menyadari kalau langit sudah gelap. Ia tertidur cukup lama, membuatnya lupa akan keberadaan gadis itu. Semula ia sempat berpikir kalau Nara mungkin sudah melarikan diri, namun ternyata gadis itu masih ada di sana. Ia terlihat sibuk membakar ikan, entah bagaimana gadis itu mendapatkannya. Sepertinya ia mulai terbiasa.
"Kau sudah sadar." Nara tersenyum tanpa sadar, membuat Moa sempat terdiam. Untuk pertama kalinya ia melihat Nara tersenyum padanya.
"Kau berhasil menangkapnya?" Moa duduk di bawah pohon.
"Hm. Aku menangkapnya dengan susah payah. Makanlah, ini sudah matang." Nara memberikan ikan yang sudah matang itu. Gadis itu lantas kembali menatap Moa saat makhluk itu tak bereaksi dan hanya memandanginya. "Kenapa diam? Ini, makanlah. Aku tak memasukkan racun apapun ke dalamnya, jadi kau tak perlu merasa cemas." Ia meletakkan ikan yang sudah ditusuk dengan kayu itu ke tangan Moa. Gadis itu lalu tersenyum lebar saat ikan lainnya matang.
"Ah, panas!" Ia tersentak pelan saat hendak menggigitnya. Ia pun meniupnya beberapa kali lalu mulai memakannya, dan kembali tersenyum saat rasa ikan itu seperti yang ia harapkan. "Astaga, ini enak sekali," ujarnya. Ia lalu menatap Moa. "Kenapa tidak makan? Makanlah. Aku bersusah payah menangkapnya."
Moa menatap ikan bakar di tangannya selama beberapa saat sebelum akhirnya mulai menggigitnya.
"Bagaimana? Enak, 'kan?" Gadis itu kembali tersenyum untuk kedua kali, entah dia sadar atau tidak.
"Bagaimana lukamu? Apa sudah baikan?" tanyanya kemudian.
"Hm. Lukaku sudah terasa lebih baik dari sebelumnya."
"Pasti karena cukup banyak jiwa yang kau hisap hari ini. Energimu juga pasti meningkat," ujar Nara. Gadis itu masih berfokus pada ikan di tangannya.
Moa menatap gadis itu. "Kenapa kau tidak kabur selama aku tak sadarkan diri? Bukankah itu kesempatan yang bagus? Atau kau harusnya membunuhku tadi." Ia berujar.
"Aku mungkin bisa saja tadi membunuhmu atau bahkan kabur dari sini. Tapi aku tidak bisa melakukan hal seperti itu pada makhluk yang sedang dalam keadaan lemah. Aku tidak bisa meninggalkanmu dalam kondisi terluka seperti tadi, atau parahnya membunuhmu yang tak berdaya seperti itu. Aku bukanlah tipe manusia yang seperti itu."
Moa tertegun mendengar ucapan gadis di depannya. Kalimat tak asing itu ... terdengar persis seperti kalimat yang dilontarkan oleh Kiara.