Rahasia Rasa

1033 Kata
Adel memeluk erat tubuh bundanya. Menghirup dalam-dalam aroma bunga bercampur minyak kayu putih khas Bunda. “Kalau udah nyampe, telepon Bunda, ya,” kata Bunda kepada anak gadis satu-satunya. Adel mengangguk di bahu bundanya. “Iya, Bun. Adel bakalan kangen banget sama Bunda.” “Kapan kamu mau tinggal di Indonesia lagi?” tanya Bunda saat pelukan mereka terlepas. Adel tidak menjawab pasti, ia hanya tersenyum simpul. “Adel berangkat dulu, ya. Dadah Bunda.” Lalu matanya beralih ke samping Bunda. “Jagain Bunda, ya, Ar.” Ardan mengulurkan tangannya untuk mengusap pucuk rambut adiknya. “Pastilah. Lo hati-hati, ya. Jangan mau dideketin bule.” Adel tergelak. “Babay!” Seperti itulah ritual setiap Adel akan pergi ke Paris, bunda dan kakaknya akan menemaninya hingga ke bandara. Mengatakan beberapa baris kalimat yang isinya itu-itu lagi. Ujung mata Adel mengeluarkan air mata. Ia akan rindu negara ini sebentar lagi. *** Tidak pernah terpikir bahwa ia akan berakhir di sini. Di ruangan kosong yang sudah disulap menjadi kafe kecil di pinggiran kota. Lelaki itu memandang layar ponselnya. “Pacarmu?” tanya orang di sebelahnya dengan bahasa Prancis yang faseh. “Oh, bukan. Ini temanku saat di Indonesia.” Dion melemparkan senyumnya. “Teman,” gumam orang itu diiringi dengan senyum jail. “Sungguh!” Dion mengelak. Pria bermata biru muda di depannya mengangkat kedua tangan. “Oke aku percaya!” katanya sambil mengulum senyum. Dion memandang sebal temannya itu. Baru saja ia hendak membalas, lonceng tanda pintu kafe terbuka berbunyi. Membuat perhatian Dion teralihkan kepada pelanggannya itu. “Hai!” sapa perempuan bermata bulat itu. *** Seperti robot yang tidak kenal lelah Adel yang baru saja tiba di apartemennya—lebih tepatnya di Paris—berencana keluar untuk mengunjungi suatu tempat. Kalau Ardan tahu mungkin ia sudah diomeli habis-habisan karena katanya Adel kejam dengan tubuhnya sendiri. Setelah menelepon Bunda untuk memberitahu kalau dia sudah sampai, Adel bersiap meraih tas dan kunci mobilnya. Ia ingin mengunjungi seseorang. Orang itu tidak tahu kalau Adel pulang hari ini. Maka dari itu Adel berencana memberikan kejutan. Sesampainya Adel di depan bangunan bernuansa putih cokelat, perempuan itu langsung melangkah masuk ke dalamnya. Bunyi tring terdengar kala ia membuka pintu kaca. Senyumnya merekah ketika seseorang yang ingin ia temui sudah berdiri tidak jauh dari hadapannya. “Hai!” Adel tampak bersemangat menyapa. Tangannya terangkat untuk melambai. Dion mengecek jam di pergelangan tangannya. “Maaf, kafe ini sudah mau tutup.” Adel mengangguk sambil berlalu menuju salah satu kursi di sana. “Mau tutup, bukan udah tutup?” Dion menarik satu sudut bibirnya lalu kembali ke mesin minuman. Meracik vanilla latte kesukaan perempuan itu. “Pulang dari kapan?” tanya Dion sambil meletakkan cangkir minuman itu di depan Adel. “Sekitar jam delapan.” Sontak jawaban Adel membuat Dion melongo tidak percaya. “Baru nyampe langsung ke sini?” Adel menampilkan deret gigi putihnya. “Besok aku harus lembur, jadi nggak sempet ke sini.” “Ya, justru itu!” Dion mengacak rambutnya. “Besok udah kerja, bukannya istirahat malah ke sini.” “Mm, enak.” Adel mengalihkan pembicaraan dengan mengomentari kopi buatan Dion. “Ardan titip salam buat kamu,” ucap Adel melirik Dion di balik cangkirnya. Lelaki itu mengangguk sekilas lalu bangkit berdiri. Membuat Adel ikut berdongak. “Ayok, pulang! Gue anter.” Adel menyimpan minumannya. “Nanti dulu, aku mau nikmatin ini.” Dion tidak mendengar, ia melepas apron hitamnya dan meletakkan di atas meja mengambil jaket dan kunci mobilnya. “Aku balik duluan,” kata Dion kepada temannya yang sudah memasang muka jail. “Selamat bersenang-senang!” bisiknya. Dion sedikit mengernyit sebelum akhirnya membulatkan matanya. “Tidak seperti yang kamu pikirkan!” Pria di depannya kembali mengangkat kedua tangan. *** Adel menghela napas. “Padahal vanila latte aku belum habis tadi.” Matanya memandang ke luar jendela, gedung apartemennya sudah ada di sana. Mobil Dion berhenti. “Besok gue bawain kalo lo lembur.” Adel menampilkan cengir kuda. “Bawain dua, ya, buat temen aku juga.” “Ya.” “Makasih Dion! Kamu emang teman aku paling top!” Adel mengangkat dua jempolnya. Dion tersenyum miring sambil menurunkan acungan jempol di depannya itu. “Dah, sana masuk.” Adel mengangguk sambil melepas sabuk pengamannya. “Sampai ketemu besok!” kata Adel saat sudah keluar mobil itu. “Dah!” balas Dion. Ia tidak langsung pergi. Seperti biasa. Ia akan menunggu Adel sampai di kamarnya terlebih dahulu baru ia akan pergi dari sana. Ketika chat dari Adel masuk, “Aku udah sampe kamar.” Barulah Dion menyalakan mesin mobilnya dan pergi. Teman? Dion tertawa sumbang. Padahal dia sudah biasa seperti ini. Hampir delapan tahun ia memendam perasaan ini. Teringat masa di mana ia pertama kali bertemu Adel di Paris. Tepatnya sekitar tiga tahun yang lalu. *** Suasana kafe saat itu sangat ramai. Dion dan Sam harus bekerja ekstra, ini adalah tujuh hari setelah hari pembukaan kafe mereka. “Aku tidak menyangka antusiasnya akan sebesar ini,” kata Sam. “Promosimu berhasil, Dion!” Dion tersenyum simpul. Ia hanya membagikan brosur ke teman kuliahnya yang bekerja di gedung yang dekat dengan kafenya. Ia bahkan meminta bantuan salah satu temannya yang kebetulan food vloger untuk mereview kopi buatannya. Semua tampak berjalan lancar sampai keributan kecil terjadi. “Maaf, Tuan, saya tidak sengaja.” Seorang wanita tidak sengaja menyenggol salah satu minuman seorang pria. Lalu pria itu tidak terima dan membalas dengan marah-marah. Karena tidak ingin keributan itu mengganggu pelanggannya yang lain, Dion menghampiri dua orang tersebut. “Minumannya biar saya ganti.” Ketika Dion mengatakan itu pria paruh baya di depannya terdiam dan menghentikan aksi protesnya. Dion menghela napas panjang. “Maaf, biar saya bayar minuman yang tumpahnya.” Kening Dion mengerut, suara itu terdengar seperti suara orang yang ia kenal. Saat wanita itu mendongak, ketika itulah ekspresi dari keduanya berubah. “Dion!” “Adel?” Pertemuan pertama mereka saat itu hanya diisi dengan pertanyaan dasar seperti tinggal di mana, kerja di mana. Selanjutnya mereka kembali berkomunikasi ketika Adel mendatangi kafenya. Sesekali membicarakan masa SMA. Namun, saat pembicaraan itu berlangsung Dion tidak pernah mengungkapkan rahasianya. Entah sampai kapan Dion akan menyimpannya. Mungkin sampai ia merasa Adel akan menerimanya. Karena pria itu belum siap menerima kenyataan terburuk dalam hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN