Bertemu Teman Lama

1116 Kata
“Bukan, Bun!” sergah Adel. Tangannya ia lipat di depan d**a. “Terus aja gitu.” Melihat adiknya mendumel kesal, Ardan tambah senang melempar ledekan. “Iya, percaya kok.” Ardan menganggukan kepala, tangannya memegang perut, saking gelinya tertawa. “Tapi, spill kali nama cowonya siapa?” kata Ardan sambil mengerlingkan mata. Kembali membuat perempuan berambut panjang itu kesal setengah mati. Bunda yang datang dari dapur membawa piring besar berisi risol. “Udah, dong, kalian udah gede masih aja berantem.” Ia mendudukan bokongnya di samping Adel. “Alfa duluan,” gerutu Adel. Ardan ikut mendudukkan diri di kursi seberang. Mencomot satu risol kemudian membuka ponselnya. Dalam hati, Adel tersenyum, senang melihat kakak dan ibunya. Rasa rindu yang ia rasakan setahun ini rasanya sudah terbayarkan. Mengingat besok ia harus kembali ke Paris membuat Adel selalu menikmati momen yang ada saat ini. Walau momen itu adalah keributan antara dia dengan Ardan. “Rencana kamu ke depan gimana, Ar?” Ardan mendongak, mendapati wajah serius bundanya. “Oh, Ardan kemaren disuruh Papa megang supermarket di daerah Tangerang.” “Kamu ambil?” Adel ikut bertanya. Ardan mengendikkan bahu sembari berdiri. “Entah, belum dipikirin. Pengennya buka usaha fashion sama Kevin.” Lelaki itu meraih jaket kulit dan kunci motornya. “Ardan keluar dulu, ya,” pamit dia. “Hati-hati,” jawab Bunda sembari mengulurkan tangannya yang disalami Ardan. Adel yang tiba-tiba mengingat satu hal ikut berdiri. “Adel ikuttt!” Ardan mengangkat satu alisnya. “Mau ngapain? Gue mau nongkrong.” Cewek itu mengambil tas kecilnya di meja. “Mau ketemuan sama temen. Minta dianterin.” “Ck, ke mana? Gue males kalo beda arah.” “Ardan!” tegur Bunda. Cowok itu menghela napasnya kemudian mengangguk. “Ayo, Princess, abang anter.” Hal itu membuat Adel mengulum senyumnya. *** Musik jazz yang mengalun merdu menemani kesendirian gadis berkemeja flanel hijau itu. Beberapa kali ia melirik ponselnya yang ia taruh di samping gelas minumnya. Kata temannya akan tiba sekitar lima belas menit lagi, tetapi sudah hampir setengah jam orang itu belum muncul juga. Bunyi ketukan sepatu tinggi merebut perhatiannya. Ia menarik dua sudut bibirnya saat melihat kedatangan teman lamanya itu. “Adel!” Ia melambai. Perempuan yang ia panggil Adel itu tampak kebingungan mencari keberadaanya kemudian tersenyum kala mata mereka bertemu. “Dindaaa!” Dengan girangnya Adel menghampiri Dinda yang sudah berdiri. Mereka berpelukan sebentar lalu duduk di kursi masing-masing. “Maaf banget tadi sempet kesasar.” Dinda tertawa. “Kok bisa?” “Hehe, iya, soalnya aku yang baca mapnya ngaco.” Ia tertawa. Mengingat kembali muka kesal Ardan karena dirinya selalu kelewatan hampir 200 meter. “Tapi akhirnya ketemu, kan?” “Iya, akhirnya aku nggak dibolehin liat map lagi. Ardan yang baca map sendiri.” Dinda membeku sepersekian detik. Tawanya menjadi garing. Baru mendengar namanya saja Dinda sudah merasa salah tingkah. “Ardan yang nganter?” Adel yang sudah sibuk melihat daftar menu lantas mengangguk. “Iya. Tadi aku suruh masuk dulu dia bilang mau buru-buru karena ditunggu teman-temannya.” Dinda terdiam. Entah, Adel menyadari atau tidak. Dinda terkadang bingung dengan sahabatnya itu. Adel seperti orang yang tidak peka. Namun, di kejadian tertentu Adel seperti cenayang yang bisa menebak hatinya secara tepat. Setelah memesan pesanannya. Adel kembali memfokuskan dirinya kepada Dinda. “Kamu makin cantik aja, Din,” puji Adel. Dinda tersenyum simpul. “Apa, sih, gini-gini aja kali.” Adel tertawa renyah. “Udah pernah ketemu Ardan?” Lagi-lagi Adel menyebut nama Ardan tanpa memedulikan Dinda yang gelagapan sendiri. “A-anu. Belum.” Dahi Adel mengernyit. “Belum? Yah, sayang banget Ardan nggak ngeliat kamu udah secantik ini.” Baru saja Dinda hendak membalas, Adel sudah mengibaskan tangannya. “Udah nggak usah bahas Ardan lagi.” “Kamu sekarang sibuk apa?” tanya Adel lagi, tangannya sudah terlipat di atas meja. Posisi siap mendengarkan. “Aku kerja jadi admin online shop gitu, itung-itung sambil nyari pekerjaan yang sesuai sama bidang aku.” Adel tersenyum tipis, memang susah untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusan saat kita kuliah. Adel termasuk salah satu orang yang beruntung yang bisa memanfaatkan ilmu kuliahnya. Dinda yang kuliah di jurusan sastra harus menerima kenyataan bahwa persaingan di dunia kerja pada bidang itu sangat ketat. Dalam hati Dinda justru penasaran dengan Ardan. Ke mana lelaki itu akan berlanjut. “Kalo Ardan disuruh Papa pegang supermarket.” Seperti mengetahui isi hati Dinda, Adel menjelaskan rencana yang akan Ardan lakukan. Dari mata Adel, ia dapat melihat bahwa sahabatnya itu masih menaruh ketertarikan kepada kakaknya. Namun, mau bagaimana lagi, ia tidak dapat membantu dalam hal ini. Karena yang Adel tahu, Ardan sudah sangat kecewa dengan perempuan di depannya ini. Maka yang bisa Adel lakukan hanyalah memberitahu sedikit-sedikit mengenai langkah Ardan ke depannya. Berharap kalau Dinda mau sedikit lagi berusaha mendekati Ardan. “Ya, udah sekarang, lanjut ke cerita kamu.” Alis Adel terangkat. “Aku?” Dinda mengangguk cepat. “Ceritain cowo yang kamu temuin di sana. Katanya mau cerita!” Pikiran Adel terlempar saat dia masih berada di Paris dan mengatakan bahwa ia bertemu seseorang. Tawa Adel membuncah. “Oh, itu!” Dinda memajukan wajahnya. “Iya, gimana? Kalian pacaran?” “Apaan sih!” Tawa Adel makin pecah. “Itu Dion, hehe, sengaja aku ngomong gitu biar kamu penasaran.” Muka Dinda mencebik kesal. “Kirain cowok bule gitu. Lagian kamu bilangnya ‘pas aku ke Indonesia aku mau cerita tentang seseorang yang aku temuin di sini’. Taunya Dion.” Pesanan Adel sudah datang. Setelah menyeruput minumannya, Adel mendesah pelan. “Sempit juga, ya, padahal udah jauh-jauh ke negara orang, masih aja ketemunya sama teman SMA.” Dinda mengangguk mantap. “Mungkin jodoh,” celetuknya asal. “Amin. Eh—” “Jiahh, diaminin.” Dinda tergelak. Sedangkan Adel menelungkupkan wajahnya karena malu. Padahal dia juga asal celetuk. Sore itu pertemuan Dinda dan Adel hanya diisi obrolan ringan tentang diri mereka masing-masing. Sesekali mereka membahas tontonan atau artis kesukaan mereka. Meskipun tidak sampai dua jam, hal itu sudah lebih dari cukup bagi Adel untuk melepas kerinduannya dengan Dinda. *** “Padahal aku bisa pulang sendiri,” kata Adel saat ia turun dari motor Dinda. “Nggak pa-pa lagi, arah rumah kita deket juga.” “Mampir dulu, Din?” ajak Adel sambil membuka pagar. Dinda bergeleng dibalik helmnya. “Kapan-kapan aja. Titip salam aja ke Bunda, ya.” Adel mengangguk kecil, ia melambaikan tangan saat Dinda sudah memutar balikkan motornya. “Hati-hati, ya, Din.” Dinda tersenyum dibalik helmya. “Bay!” Saat ia baru ingin menjalankan motornya dari arah berlawanan, ia berpapasan dengan cowok yang memakai helm full face. Tangannya mendingin saat ia mengetahui pengendara motor itu. Mata mereka sempat berpapasan. Degup jantung Dinda berdetak lebih cepat. Perasaannya masih sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN