Masa SMA

1009 Kata
Biasanya, anak-anak lain akan merasa gembira ketika memasuki sekolah baru. Murid-murid berpakaian putih biru dengan segala pernak-pernik ospeknya memasuki pelataran sekolah dengan wajah semringah. Namun, tidak bagi seorang laki-laki yang tengah duduk santai di salah satu warung kopi dekat sekolah. Jam dinding menunjukkan angka enam lewat 50. Sekitar sepuluh menit lagi gerbang sekolahnya akan ditutup, tetapi lelaki bercelana biru itu masih asyik menyantap gorengannya. “Bu, beli s**u, bisa masukin ke sini?” Seorang gadis berkucir lima itu menyodorkan botol minumnya. “Oh, bisa, Neng.” “Tolong dicepetin lagi ya, Bu. Soalnya bentar lagi udah mau tutup. Udah kesiangan.” “Siap, Neng.” Ibu warung dengan gesitnya menyeduh s**u pesanan cewek itu. Usai menyelesaikan pekerjaannya, Ibu Warung memberikan kembali botol minum itu ke pemiliknya. Gorengan terakhir milik cowok itu sudah habis. Ia bangkit sambil mengambil tas yang ia taruh di kursi sampingnya. Tangannya yang berminyak baru saja hendak menyentuh seragam, tetapi satu tangan berhasil menahannya. “Jorok, pake ini.” Cewek itu memberikan sapu tangannya. “Dah pake aja, aku ada selusin di rumah,” katanya lalu berlari meninggalkan cowok yang kini tengah mengerutkan dahi. Adelina Tulisan bertinta hitam yang terdapat di ujung sapu tangan itu. “DION! Dua menit lagi pintu ditutup, masih bengong aja.” Lelaki yang dipanggil Dion itu berbalik. Memberikan cengir kuda kepada ibu warung yang tengah berdecak heran lalu berlari mengejar gerbang besar di seberang jalan. *** Pada awalnya Dion tidak pernah tertarik untuk mencari tahu perempuan bernama Adel. Namun, karena mereka satu sekolah untuk beberapa waktu mereka sering berpapasan dan bertemu. Seperti saat ini, Dion yang tengah mengendarai motor maticnya harys berhenti karena halangan dari sepeda cewek itu. Dion mengernyit di balik helmnya. Apa kali ini? “Sebentar ya, Kak. Ini ada anak kucing nggak mau disuruh minggir.” Dion menarik satu sudut bibirnya kala cewek itu tengah menjentikan jarinya sebagai umpan agar kucing itu mau mengikutinya. Kemudian cewek itu menuntun sepedanya ke pinggir. “Silakan lewat, Kak. Maaf ganggu, ya!” Dion kembali mengegas motornya melalui Adel. Perempuan aneh, pikir Dion saat itu. *** Dion tambah penasaran kepada cewek itu saat ia memberikan topinya. Adel tampak tidak mengenalnya. Niat Dion yang ingin menolong cewek itu justru membuat cowok itu mengetahui hal lain. Bahwa cewek yang sudah memberikan sapu tangan, cewek yang pernah menghalangi jalannya, cewek itu sama sekali tidak mengingatnya. Ada perasaan kesal dalam diri Dion karena cowok itu mengenal dan mengingat seseorang yang tidak mengingatnya. Bahkan Dion tahu nama panjang dan kelas Adel berada. Beberapa kali Dion membantu Adel kala cewek itu ingin mengeluarkan sepedanya yang tidak bisa keluar dari parkiran atau saat cewek itu harus membawa setumpuk buku pelajaran dari kelas ke ruang guru. Dion juga pernah menghalangi bola yang hampir melayang ke arah cewek itu. Namun, sepertinya seberapa sering Dion bersenggolan dengan cewek itu, Adel tidak sama sekali mengingatnya. Maka, ketika tahun ajaran baru di mulai dan mereka menduduki kelas sebelas, Dion sedikit berharap bahwa namanya dan Adel akan berada dalam kelas yang sama. Hari itu, Dion berangkat sekolah lebih pagi dari sebelumnya. Ia langsung menuju papan mading untuk melihat deretan nama beserta kelas. Mata Dion membulat kala ia melihat namanya dan Adel berada dalam kelas yang sama. Doanya terkabul! *** Dion memberanikan diri menjadi ketua kelas. Selain untuk menunjukan kepada almarhum ibunya bahwa ia sudah berubah, Dion juga berharap cewek itu melihatnya. Upacara tengah berlangsung, Dion sebagai ketua kelas harus berdiri memimpin barisan laki-laki. Matanya melirik barisan perempuan. Seperti biasa, dia akan memilih barisan paling belakang. Dion menghampiri perempuan itu. "Diri di depan," titah Dion. Suara baritonnya menusuk dan tidak dapat dibantah. Adel mengerjap cepat, mulutnya terbuka dan tertutup. Seperti ada penolakan keras dalam dirinya, tetapi tak bisa ia sampaikan. Pada akhirnya, Adel menuruti perintah Dion dan berdiri di paling depan, juga bersebelahan dengan cowok itu. "Jangan dibiasain diri paling belakang." Dion berbicara dengan pandangan lurus ke depan. "Berada di paling depan, dan nyaksiin sendiri apa yang sedang terjadi lebih baik daripada di paling belakang dan tahu dari hasil katanya." Adel mengernyit. Ia baru paham apa yang dimaksud Dion ketika upacara berlanjut. Ia lebih leluasa melihat yang terjadi di lapangan. Bahkan ketika nama Dion dipanggil dan ditunjuk sebagai kandidat ketua OSIS yang baru. Dion melirik ke arahnya. Ekspresinya tampak datar, saat itu Adel melihat Dion sebagai lelaki yang penuh ambisi. Untuk pertama kali, Adel melihat Dion. *** Kemampuan bersosialisasi perempuan itu tampak buruk. Dion mengakuinya. Adel tidak pernah membaur dengan teman sekelasnya yang lain. Percakapannya dengan teman sekelasnya hanya sebatas pelajaran. Sesekali ia ditegur dan hanya menunduk dan tersenyum kikuk. Namun, siapa sangka, ketika tidak ada orang Adel menyelinap masuk ke dalam ruang musik dan bermain piano di sana. Dion memperhatikan jemari Adel yang tampak lincah bernari di atasnya. Satu rahasia lagi yang Dion ketahui tentang gadis itu. Dion buru pergi dari ambang pintu ruang musik ketika Adel sudah berhenti memainkan piano itu dan bangkit dari duduknya. Cowok itu menempatkan dirinya di balik tembok dan menunggu Adel keluar. Saat perempuan yang ia tunggu keluar dari ruang musik barulah Dion ikut keluar dari persembunyiannya. Ia sengaja berjalan papasan dengan cewek itu. "Mm, Adel!" panggil Dion. Perempuan berambut pendek itu terdiam. Perlahan menoleh ke sampingnya. "I-iya?" "Pembagian kelompok pelajaran bahasa indonesia—" "Maaf, aku belum dapet kelompok." Adel menyela. Ia menunduk dalam menghindari tatapan tajam Dion. Cewek itu sudah menduga bahwa ia akan mendapat ceramah panjang lagi dari ketua kelasnya itu. "Lo sekelompok sama gue." Satu kata itu mampu membuat Adel mendongak. Matanya yang bulat beradu tatap dengan mata elang Dion. Netra gelapnya seperti biasa memandang Adel tanpa ekspresi. "Beneran?" Adel mengerjap lambat. Otaknya kembali bekerja dan berpikir lagi sejak kapan ia dan Dion berada dalam satu kelompok. "Emangnya kita, mm-maksud aku, itu, sejak kapan, terus—" "Hari ini. Karena lo belum dapat kelompok dan gue sebagai ketua kelas bertanggungjawab juga akan hal itu. Jadi lo masuk kelompok gue," kata Dion menegaskan. Kemudian tanpa mendengar balasan dari Adel, Dion berbalik. "Nanti malem on w******p, gue kasih tau tugasnya lewat chat," katanya lalu pergi. Adel lagi-lagi terdiam. Untuk pertama kalinya Adel diajak satu kelompok belajar dengan seseorang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN