Lembar Baru

1268 Kata
Saat ini ia tengah duduk santai di salah satu kafe yang berada di pinggiran kota. Ia membuka laptopnya dan memutar beberapa video. Namun, kegiatannya itu harus terhenti dengan panggilan video call dari seseorang. Ia mengulum senyum kala mengetahui siapa yang menghubunginya. "Woy! Gila sombong banget lo nggak nelpon-nelpon gue!" Adel menjauhkan headset yang ia kenakan karena suara seruan orang di seberang sana. Untung saja ia menggunakan headset kalau tidak mungkin pengunjung kafe akan keberisikan. "Duh, kamu ini, baru diangkat langsung marah-marah." "Salah lo, pokoknya." "Iya, salah aku. Kalo masih marah aku tutup lagi aja." "E-eh jangan dong. Lo nggak kangen sama gue apa?" Adel mengulum senyumnya. "Tadinya kangen, tapi setelah diomelin kayak tadi jadi enggak kangen lagi." "Yee, terserah deh, gue cuma mau nanya, seminggu lagi lo jadi pulang, 'kan?" Adel sudah menduganya, cowo itu memarahinya bukan semata-mata karena ia tak pernah menelponnya melainkan urusan ini. "Iya, Tuan Maba seminggu lagi aku bakalan dateng ke wisuda kamu." Perlu diketahui bahwa Ardan adalah salah satu mahasiswa di universitas swasta di Jakarta. Ia mengambil jurusan manajemen seperti keinginannya dahulu. Namun, nasib buruk menimpanya karena baru di umur hampir dua puluh lima tahun dia baru menyandang gelar S1-nya. Karena itu juga Adel selalu meledekinya "Tuan Maba" alias mahasiswa abadi bukan mahasiswa baru. "Heh, udah nggak maba lagi, enak aja, seminggu lagi udah wisuda." Tawa Adel membuncah melihat ekspresi kesal saudara kembarnya. "Maaf, deh. Abis udah lama nggak liat ekspresi kesel kamu, Dan." Ardan mendengkus lalu setelah tawa Adel mereda ia merubah ekspresi wajahnya menjadi serius. "Gimana kerjaan lo di sana?" Adel menyeruput capuccinonya. "Baik. Tadi abis meeting presentasi desaign. Kali ini klien aku itu anak tunggal dari Mr. Adam pemilik hotel bintang lima di sini." "Selamat, ya." Adel tersenyum lalu mengangguk. "Dinda apa kabar?" Senyum yang tadi ikut menghiasi wajah tampan Ardan mendadak lenyap. "Nggak usah nanyain dia mulu kenapa, sih!" gerutu Ardan. Adel kembali menyeruput minumannya. "Segitunya," gumam Adel. Adel selalu berpikir bahwa sebenarnya Dinda dan Ardan itu cocok. Namun, entah mengapa Ardan selalu tidak suka dengan pemikiran itu. Adel pun sudah mengetahui mengenai Dinda yang ternyata mantan pacar kakaknya. Cukup terkejut karena ternyata mereka saling berkaitan. "Udah dulu, ya, Del. Gue ngantuk, nih, mau tidur. Pokoknya minggu depan jangan lupa." Wajah lelah Ardan terlihat jelas di layar laptop itu. Adel membayangkan bagaimana jerih payah sang kakak untuk dapat menyelesaikan skripsinya. Adel memeragakan sikap hormat. "Siap komandan Alpa! Selamat tidur." Lalu mereka sama-sama tertawa. Sambungan itu terputus dan perasaan rindu tiba-tiba terselip di hatinya. Seminggu lagi ia akan pulang ke tanah kelahirannya. Dan ia harus mempersiapkannya dari sekarang. Ia harus mempersiapkan, segalanya. *** Hari ini, adalah hari yang ditunggu-tunggu. Selama beberapa tahun ini ia selalu mendapatkan sebuah pertanyaan yang sudah sangat malas ia dengar, "Kapan wisuda?" Untuk saat ini ia tidak akan malas mendengar bahkan akan bersemangat menjawab, "Hari ini, saya Arfabian Putra Elramdan akan berwisuda!" Bunda beberapa kali memperhatikan penampilan anak laki-lakinya. "Kamu jangan kebanyakan gerak dong, Dan, jadi berantakan nih." Ardan mengernyit, perasaan ia menaikan lengan panjangnya hanya untuk melihat jam di pergelangan tangan, mengapa yang seperti dikatakan kebanyakan gerak. Ardan bergeleng, sifat cerewet emak-emak yang mulai terlihat dari Bunda. Memang benar perkataan orang yang mengatakan seorang ibu akan lebih cerewet ke anak laki-lakinya dibanding anak perempuannya. "Aku cuma liat jam doang, ini kok Adel nggak dateng-dateng ya?" Adel sebenarnya sudah datang kemaren sore, dan tadi pada saat mereka sekeluarga akan berangkat Adel masih tertidur tampaknya sangat kelelahan akhirnya Adel pun memutuskan akan datang menyusul. Setelah acara utama wisuda usai dilaksanakan saat ini para wisudawan bersama satu perwakilan orang tua yang diperkenankan masuk ke dalam gedung diperbolehkan keluar untuk menjumpai kerabat atau teman-temannya untuk berfoto. "Jangan-jangan dia ketiduran?" Bunda menebak. Ardan melirik ke arah bundanya lalu berdecak kesal. "Awas aja kalo bener ketiduran." "Kalo aku ketiduran kenapa?" Sebuah suara menyentakan omongan mereka. Ardan berbalik mendapati wajah ceria sang adik yang tengah tersenyum lebar sambil merentangkan kedua tangannya. "Selamat Alpa!" Ardan segera menyambut ucapan Adel dengan memeluknya. "Makasih Princess." "Ardan!" seruan dari Anto membuat pelukan mereka terurai. Ardan kembali mencari asal suara itu. Terlihat kelima temannya tengah berjalan ke arahnya dengan melambaikan tangan. "Selamat bro!" ucap Kevin. "Lo juga." "Akhirnya lo berdua wisuda juga," Galang berdecak kagum. "Iya nggak nyangka gue tuh dosen nyerah juga dan membiarkan lo lulus," ucapan Anto dihadiahi tawa oleh orang-orang di sana. "Halo, kalian!" Adel yang tampaknya diacuhkan mulai membuka suara. Sontak mereka terkejut karena melupakan keberadaan seseorang. Sedetik mereka terperangah, takjub, dan kagum. "Halo juga," Aldi berkata kikuk. "Adel, lo kok tambah cantik," ucap frontal Galang. Bahkan kevin yang biasa bergombal saja menjadi bungkam. Adel yang pada saat itu menggunakan dress selutut berwarna hitam dengan rambut yang ia gerai bergelombang. Penampilannya memang ia buat sespesial mungkin untuk hari ini. "Vin, tutup mulut lo." Ardan menoyor kepala Kevin yang berada di sampingnya. Kevin mengerjap, ia memegang dadanya lalu kembali berkata, "Lo udah punya pacar belum?" Lantas membuat keadaan menjadi riuh, mereka bersorak karena kelancangan Kevin barusan sekaligus karena melihat sikap over protektif Ardan yang sedang memiting Kevin hingga terlihat sesak napas karena sudah berani-beraninya menggoda adik perempuannya. "Ampun, Dan, ampun." Kalimat ampun itu pada akhirnya melepas jeratan pitingan Ardan. "Tapi emang Adel cantik banget, Dan, gilasih kalo bukan karena Ardan gue udah paksa lo buat jadi cewe gue, Del." Kevin kembali berkata dengan nada santainya menghiraukan ekspresi marah Ardan. Adel hanya tertawa melihat tingkah teman-teman lamanya, tak banyak yang berubah dari mereka. Dan hari ini Adel cukup bahagia karenanya. *** Suara gesekan daun kering yang bersentuhan dengan tanah, serta embusan angin di sore itu menghantarkan aroma kenangan yang kembali menyeruak dalam memori Adel. "Masih sama," gumam Adel ketika pandangannya ia sapukan keseluruh tempat itu. Pohon besar nan kokoh yang di atasnya terdapat bangunan berbentuk kotak, tak jauh dari itu terdapat ring basket yang jaringnya sudah tampak koyak. Ardan tersenyum, tadi setelah pulang dari acara wisudanya ia sengaja mengajak Adel ke sini sebelum besok ia harus sudah berangkat ke Paris lagi. Ia dapat memakluminya karena saat ini Adel memang sedang sibuk-sibuknya. Sebenarnya Adel pun sudah berencana setelah proyek terakhirnya selesai, ia akan pindah ke Indonesia. "Ayo naik!" Ardan berjalan mendahului Adel yang masih takjub dengan sekelilingnya. Ia mengikuti arah kaki Ardan melangkah. Menaiki tangga kecil yang tertempel di pohon kayu. Merangkak naik, hingga sampai ke dalam kotak kayu di atas pohon itu. Adel kembali melihat isi rumah pohon itu, tidak ada yg berubah isinya. Ardan berjalan ke sisi luarnya dan duduk di sana. Kakinya ia biarkan bergelantung. Adel mengikuti apa yang dilakukan Ardan. "Udah lama kita nggak kayak gini." Kepala Adel mengangguk. "Lama banget." "Mungkin tempat ini bisa jadi turun temurun untuk anak-anak kita nanti." Adel tertawa renyah. "Ya, kalo aku udah punya anak bakal aku ajak main di sini, sambil berkata bahwa ini adalah tempat favorit ibunya dan omnya." "Tempat ini saksi dari kebahagiaan dan kesedihan kita. Itulah yang membuat tempat ini favorit." Ardan melirik Adel yang tengah tersenyum membalas ucapannya barusan. Dan pandangannya berhenti pada jari cewe itu yang bertaut di atas pangkuannya. Ardan mengulum senyum tipisnya. "Pantesan besok udah ke Paris lagi." Adel mengernyit, baru hendak bertanya Ardan meraih tangannya. Saat itu juga ia paham maksudnya. "Kayaknya yang ini belum lo ceritain deh." Adel segera menarik kembali tangannya. Ia menjawab kikuk sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Cerita apa, sih?" Ardan berdiri, ia menampilkan senyum miringnya. "Nggak pa-pa nggak cerita ke gue, lo harus cerita pertama kali ke Bunda karena anak gadisnya udah ada yang lamar." Lalu ia berlari menuruni rumah pohon itu. Adel turut mengejarnya dari belakang. "Aku nggak dilamar jangan macem-macem Ardaann!" Ardan tertawa sambil berlari ketika ia sudah berpijak di tanah. "Adek gue dilamar di Paris gilaaa!" "Enggaak Alpaaa!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN