Damai dengan Kenyataan

1160 Kata
Cowo itu menoleh, "Maksudnya?" "Kenapa dipanggil Ardan bukan Alpa atau aslinya kan Arfa karena dulu aku cadel makanya Alpa. Nah, kenapa bukan Arfa?" "Cuma Princess doang yang boleh panggil itu." Adel terhenyak sejenak. "Alpa masih benci Bunda?" Ardan menggelengkan kepalanya. "Bukan benci tapi kecewa, bukan kecewa karena penyakit Princess tapi kecewa karena Bunda nggak berusaha bertemu Alpa." "Tapi, Bunda--" "Ya, tau, setelah mendengar alasannya dari Bunda. Alpa ngerti." Setelah itu keduanya sama-sama diam. Sama-sama bergelut dengan pikirannya masing-masing. Ketika mata Adel tak sengaja melihat wajah dan tangan laki-laki itu, satu hal yang ia ketahui, Alpanya hancur. Betapa berhasilnya dia menyembunyikan kehancurannya dibalik sikap tenang dan dewasanya saat ini. "Cewe yang pernah khianatin Alpa siapa?" "Kenapa emangnya?" tanya Ardan. "Pengen aku cakar-cakar." Ardan terkekeh. "Sok galak. Sekalian cakar juga cowo yang buat cewe gue khianatin gue, ya. Hehe." Adel tampak berpikir. "Cakar Dion juga," celetuk Ardan. "Kok Dion?" Wajah Adel cepat berputar. "Iya, dong, gara-gara dia juga 'kan." Ardan berdiri dari duduknya, ia berjalan menuju kursi bantal di dalam rumah pohon. "Loh, Dion nggak tau apa-apa," seru Adel dari belakang. Cewek itu mengekori Ardan di belakang. "Kok ngebela sih? Ga rela?" Adel melongo, mulutnya membuka dan menutup. "Si-siapa, a-aku—" Melihat Adel gelagapan Ardan tertawa lalu kembali merangkul cewe itu. "Pergi ke Parisnya nggak bisa seminggu lagi apa?" Adel bergeleng dalam rangkulan Ardan. Malam itu sedikitnya perasaan mereka berangsur membaik. *** Sepuluh menit lagi penerbangan Jakarta-Paris, tetapi tanda-tanda kehadiran seseorang yang ia harapkan tak kunjung muncul. "Alpa mana, Bun?" "Ini lagi Bunda telponin, ponselnya nggak aktif." Di lain tempat, cowo itu harus mengumpat kesal karena ban mobilnya yang kempes dan ponselnya yang tertinggal. Ia melihat jam di pergelangan tangannya. "Sial!" Sudah lima menit lagi Adel akan berangkat. Dengan kalap ia menyetop kendaraan yang berlalu, tetapi tak satu pun dari mereka yang berniat berhenti. Sampai motor Dinda melaju melewatinya. "Dinda!!" Sontak Dinda mengerem yang justru mendapat protesan dari pengendara di belakangnya. Ia mengucapkan kata maaf singkat lalu menengok ke belakang. Kalau ia tidak salah mengenali, itu adalah suara. "Ardan?" "Tolong gue, Din, anterin ke bandara. Sini gue yang bawa." Dan dengan kecepatan penuh Ardan mengendarai motor itu. Ia meliuk-liuk bak pembalap profesional. Dinda sampai jantungan dibuatnya. Ia memeluk erat pinggang Ardan. "Princess mana? Mama mana?" Pak Ramdan tak sanggup menahan kesedihannya ia mendekap sang anak. "Mereka ninggalin Alpa, Pa. Alpa telat bangun tidur, kalo Alpa nggak telat mereka nggak akan ninggalin Alpa, 'kan?" Sampai di bandara Ardan berlari dengan kecepatan penuh. Namun, sayang, semua sudah terlambat. Lagi-lagi Princessnya meninggalkannya. Bunda yang melihat kedatangan Ardan langsung memeluk tubuh anaknya itu. "Aku terlambat lagi." Bunda mengusap punggung Ardan kemudian perlahan menguraikannya dan memberikan secarik surat untuk laki-laki itu. "Dari adek kamu." *** Alpa, kalau kamu nerima surat ini tandanya kita belum ketemu sebelum aku terbang. Hehe terbang, jadi inget dulu Princess pengen jadi Tinker bell biar bisa terbang. Ardan terkekeh, ketika mengingat itu. Tapi Alpa nggak suka, Alpa bilang aku cocok jadi Princess Belle. Sampai sekarang aku masih bingung kenapa harus Princess itu. Pokoknya kalo kita ketemu lagi nanti Alpa harus ngasih tau maksudnya. Princess cuma mau bilang. Jangan merasa gagal. Jangan merasa gagal karena terlambat lagi. You're always to be a superhero for me. Alpa nggak terlambat mengucapkan salam perpisahan kok, sebelum Alpa tiba aku udah mendengarnya. Ingat kita satu rahim, aku bisa dengar salam perpisahan yang Alpa sampaikan lewat embusan angin. Dan lagi, Princess nggak ninggalin Alpa. Untuk dulu maupun saat ini. Love u my Alpa. Princess. *** Delapan tahun kemudian, di Paris Suasana tenang pagi itu tidak berlaku bagi nomor apartemen 506. Penghuninya heboh memakai pakaian, berdandan, hingga memakai sepatu. Ia sampai hampir lupa membawa laptop. Namun, kesialan menimpanya karena kakinya harus mengantuk kotak kayu yang tergeletak dengan manisnya di lantai. "Adaw! Siapa yang naro di sini, sih," gerutunya tanpa menyadari bahwa dialah pelakunya. Setelah berhasil memasukan laptopnya ke dalam tas ia buru-buru keluar apartemen dan berlari menuju lift. Keluar dari lift dengan cepat ia melangkahkan kaki menuju parkiran, tetapi ia harus mengurungkan niatnya karena ternyata kunci mobilnya masih tertinggal di dalam apartemennya. "Sial!" Ia kembali bergegas masuk ke dalam lift. Setelah berhasil selamat berlari mengambil kunci mobilnya yang tertinggal, ia buru-buru menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan penuh. Sesampainya di butik ia lantas memarkirkan mobilnya di parkiran dan berlari masuk ke ruangannya. Terlihat beberapa orang yang sudah menunggunya. Ekor matanya menangkap tatapan tajam dari Tere. 'Oh my bad day!' teriaknya dalam hati. *** "Ayolah Ter, kau masih marah padaku?" Adel memasang wajah memelasnya. Ia segera menempatkan dirinya berdiri tepat di hadapan temannya itu. "Please." Tere menyerah ia menghembuskan napas. "Aku dari awal sudah benar memberi julukan gadis gila kepadamu!" desisnya lalu meninggalkan Adel yang sudah merubah raut wajahnya. "Jadi aku dimaafkan?" Bukan tanpa alasan Tere kesal dengan Adel. Barusan itu adalah pertemuan Adel dengan klien mereka yang berasal dari kalangan pebisnis di kota itu. Mereka menggunakan jasa Adel untuk membuatkan sebuah gaun pengantin, yang rancangannya sudah ia persiapkan jauh-jauh hari bahkan sampai masih harus ia lihat lagi hasil rancangannya itu tadi malam. "Tadi malam aku tidur larut, jadi bangunnya kesiangan." Adel masih berusaha memberikan alasan keterlambatannya. Tere sendiri adalah asistennya yang memiliki darah campuran Indo-Paris. Tere memiliki kepribadian 180 derajat dengan Adel, maka dari itu sikap mereka selalu tertukar antara designer dengan asisten designer. Selain itu hubungan Tere dan Adel sangat dekat melebihi hubungan atasan dengan asisten sehingga seperti yang terjadi saat ini. "Oke, i forgive u, tapi ada syaratnya." "Apa?" Tere menampilkan senyum miringnya, dan Adel mengetahui bahwa syaratnya itu tidak baik untuknya. *** Indonesia Ardan menghisap nikotinnya lalu mengembuskannya. Ia bersandar santai di bawah pohon yang sudah menjadi kebiasaannya selama delapan tahun terakhir ini. Sebuah bola basket bergelinding mendekati ujung sepatunya. Ardan masih bergeming dengan posisinya saat ini. "Woy! p****t lo nggak bisa geser dikit tuh." Ardan menoleh, melihat orang yang berkata barusan. "Nggak bisa, udah enak." Cowo di depannya berdecih, ia adalah Kevin teman-temannya semenjak SMA sekaligus teman kuliahnya saat ini. Ardan tak menanggapi sikap Kevin, ia melihat jam tangannya. "Jam karet kita itu sejam kan, ya? Berarti kalo janjian ketemuan jam empat datengnya jam lima." Ardan dan Kevin sedang menunggu sahabat-sahabatnya yang lain. Mereka berenam berencana ngumpul hari ini. Sekaligus ini adalah rencana Kevin yang mengatakan bahwa Ardan dan dirinya akhirnya lulus juga. Di umur hampir dua puluh lima tahun dan baru lulus memang terkadang dianggap remeh orang-orang sekelilingnya. Keanggotaan Ardan dalam organisasi mapala di universitasnya menjadi salah satu faktor keterlambatannya dalam kelulusan. "Tuh, Ryan." Ucapan Kevin membuat Ardan mendongak, dan ketika Ryan melambaikan tangan ia turut membalas sambil tersenyum. "Mana yang lain?" tanya Ryan setelah berjabat tangan ala laki-laki. "Nggak tau nih pada nyangkut di mana," kata Ardan asal. Ryan manggut paham. Lalu ia melihat basket dan mengambilnya. "Main yuk." Ardan membuang rokoknya lalu berdiri. "Boleh." "Sama gue tadi nggak mau lu?" sulut Kevin tidak terima dengan perubahan sikap temannya itu. Ardan mendribel bola lalu menoleh, dengan santainya ia berkata. "Sama lo mulu bosen." "Sialan lo," gerutu Kevin membuat kedua temannya terkekeh geli.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN