Achieved Status

1126 Kata
Pagi itu Ardan kembali sarapan bersama dengan ayahnya. "Papa udah merencanakan liburan." Ardan yang hendak menyuap makanannya berhenti. Sebelum ia memprotes, ayahnya sudah melanjutkan. "Ajak teman-teman kamu juga. Papa tau kamu nggak bakal mau kalo cuma sama Papa doang." Ardan tersenyum tipis, sepertinya hubungannya dengan sang ayah sudah berangsur baik. Ayahnya mulai berpikir jika seperti ini kenapa tidak dari dulu saja dia sakit agar sang anak berhenti bersikap dingin kepadanya. Sudah beberapa kali ayahnya ingin berusaha mendekati Ardan. Namun, Ardan seperti menjaga jarak dengannya. Ditambah lagi kondisi perusahaan yang belakangan ini membutuhkan banyak perhatiannya membuat ia tidak dapat selalu mengawasi anak laki-lakinya ini. Ia tau ini sangat kurang baik bagi perkembangan masa remaja anaknya. Salah satu anak rekan kerjanya ada yang terjerat n*****a karena kurangnya perhatian dari orang tuanya. Hal itulah yang menyebabkan ia takut hal yang sama menimpa Ardan. Maka dari itu ia mulai mengontrol Ardan dimulai dari sekolahnya. Benar saja ia mendapat banyak aduan dari pihak sekolah mengenai tingkah anaknya itu. Ia juga bersyukur karena keberadaan pembantunya, Bi Nining. Ia selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada Ardan. "Jadi, kapan rencana itu?" Ardan bertanya membuyarkan lamunan sang ayah. "Minggu depan. Kita jalan-jalan ke puncak aja. Kita nginep semalam." Ardan hanya mengangguk. "Asal jangan jadiin pekerjaan atau usia buat alasan lupa aja. Aku bakal tagihin terus." Sang ayah hanya terkekeh melihat tingkah anaknya. "Aku pamit pergi sekolah dulu." "Hati-hati!" kata ayahnya yang dibalas acungan jempol dari Ardan. *** Tadi malam Dinda menceritakan masa lalunya. Masa lalu yang menyebabkan penyesalan di masa sekarang. Adel hanya memandang tanpa berkomentar sesekali ia mengelus pundak Dinda yang bergemetar. "Saat ini aku cuma mau minta maaf aja. Cuma itu, tapi kayaknya susah banget," kata Dinda di sela-sela isakannya. "Kamu nggak boleh nyerah. Kamu tau di mana rumahnya?" Dinda mengangguk sebagai jawaban. "Nah! Apalagi yang ditunggu, datengin rumahnya minta maaf. Menurut aku wajar dia bersikap gitu, karena yang kamu lakukan itu udah nyakitin dia banget." Adel jujur mengatakan itu. "kamu hanya perlu bersabar," sambungnya. *** "Hai Adel!" sapa Dinda ketika melihat Adel yang keluar dari pekarangan rumahnya dengan menenteng sepeda. "Hai juga Din!" Adel balas menyapa. Dari raut wajah Dinda, Adel menyimpulkan bahwa melihat tadi malam sudah menguap entah ke mana. Tampaknya sahabatnya ini sudah melupakan kesedihan tadi malam. "Del, aku udah mutusin buat nggak nyerah." Senyum indah menghiasi wajahnya. "Bagus itu. Aku dukung! Semangat!" Adel melayangkan tinjunya ke udara. Sambil bersiap menginjak gowesan sepedanya, Adel kembali berkata yang membuat Dinda tambah bersemangat. "Aku tunggu kabar baiknya! Semoga kalian baikan!" *** Adel sedang merapikan buku-bukunya yang berada di atas meja. Aktifitasnya terhenti karena kedatangan seseorang. "Del," sapaan itu berasal dari ketua kelasnya yang dingin. Ia mendongakkan wajahnya menatap laki-laki itu. "Ada apa, Yon?" Kening Adel sedikit mengurut. "Ada Ardan di luar nyariin lo." Belum sempat Adel menjawab, Dion sudah pergi melewatinya. Adel menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Dion emang suka begitu, batinnya. Adel melangkah menghampiri Ardan yang sedang berdiri di depan kelasnya. Lihatlah Ardan saat ini, tidak ada yang berubah darinya gayanya yang masih acak-acakan, tetapi ia sudah menjelma menjadi playboy cap ulung. Ia menggoda siswi yang melewatinya. Selama ia berteman dengan Ardan baru kali ini ia melihat Ardan menggoda perempuan. Ardan bukanlah anak tengil yang playboy seperti kebanyakan tokoh remaja badboy yang berada di n****+-n****+. Ah, mungkin yang mencerminkan badboy playboy yang di damba-dambakan kebanyakan orang itu lebih tepatnya ditujukan kepada Kevin Alexander. Jika Ardan, orang akan cenderung merasa ogah. Seperti tidak ada kelebihan dari seorang Ardan yang membuat perempuan bertekuk lutut. Padahal jika diperhatikan, apa yang salah dari Ardan. Badannya tinggi tegap dengan tinggi 178 cm. Bola matanya berwarna cokelat, hidung mancung, dan memiliki lesung pipi di sebelah kanannya. Menurut Adel, Ardan memiliki paras tampan dan manis karena lesung pipinya itu. "Belajar dari Kevin, huh?" Ardan beralih pada Adel yang sedang menyedekapkan tangan di depan d**a. "Waduh mata gue nggak kuat liat cewek cakep." Adel memicingkan matanya, tangannya terulur memegang dahi Ardan. "Kamu sakit?" Ardan memegang tangan Adel lalu menggenggamnya. "Cie, pegang-pegang. Modus kamu, ya." "Dan, kok aku jadi takut ya?" Adel menarik tangannya dari genggaman Ardan. "Kamu kesambet setan apa, sih?" Ardan berdecak kesal melihat respon Adel. "Ngga asik banget lo! Gue kan lagi berusaha jadi cowo idaman." Adel membulatkan matanya, mulutnya terbuka tetapi tak mengeluarkan suara. Ia mengerjapkan matanya dan menutup mulutnya kembali. "Co-wo i-idaman?" Adel menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Apa?" "Emang cowo idaman itu gimana?" Adel tersenyum tipis melihat Ardan yang sedang menatapnya kesal. "Kalo kata Kevin sih yang bisa bikin baper cewe," gumam Ardan mengingat perkataan Kevin. Adel hanya mengangguk paham. "Lo baper nggak gue bilang cantik?" Adel menggerakan kepalanya pelan. "Enggak." Ardan menghela napasnya pasrah. "Bodo, ah." Ardan entah sejak kapan mulai memikirkan bagaimana cara membuat perempuan luluh kepadanya. Namun, bukan pada semua perempuan, hanya satu yang akan ia buat luluh kepadanya. "Jadi, kenapa nyariin aku?" Ardan menggaruk tengkuknya. "Eum...." Apa yang harus dia jawab, tadinya ia hanya mencoba misi pertamanya membuat perempuan itu luluh. Namun, yang terjadi, misi pertamanya gagal. "Oh, iya, dua minggu lagi gue sama yang lain mau ke puncak. Lo mau ikut nggak?" Adel sempat berpikir sebentar sebelum menjawab. "Enggak deh, kayaknya. Dua minggu lagi, berarti setelah ujian kan ya?" Ardan mengingat lagi waktu ujian akhir semesternya yang akan dilaksanakan minggu depan. "Iya, pas banget, kan. Abis ujian kita liburan." "Iya, Dan. Nggak bisa, aku nggak boleh pergi jauh-jauh sama Bunda." Otak Ardan segera berputar cepat. "Nanti gue izin langsung sama Bunda. Kalo Bunda bolehin, lo nggak ada alesan nolak." Tanpa mendengar bantahan dari Adel, Ardan kembali berujar sambil melambaikan tangannya dan berlari kecil menjauh. "Oke, deh. Gue balik ke kelas dulu. Belajar yang bener lo!" Adel menggerutu, seharusnya itu kalimat untuk Ardan sendiri. *** Seperti kesepakatan beberapa hari yang lalu. Adel, Ardan dan yang lain akan mengunjungi kafe Reinald. Hubungan mereka berangsur membaik. Di pertemuan itu, mereka bersikap bukan seperti murid dengan guru, melainkan seperti teman dekat. Dalam pertemuan itu pun, mereka mengetahui satu hal bahwa Adel memiliki bakat terpendam. Fakta itu membuat teman-temannya berdecak kagum sekaligus tidak menyangka. "Keren" satu kata itu yang hanya dapat mereka ungkapkan. Dan kini, mereka kembali belajar bersama untuk menghadapi persiapan ujian akhir. Acara belajar bersama itu tidak berlangsung dengan hening. Banyak kejadian-kejadian yang membuat keadaan menjadi tidak seperti sedang belajar bersama. Seperti halnya Anton, Aldi, dan Galang yang malah bermain ML. Kevin yang tertidur di atas buku yang terbuka. Hanya Ryan, Adel, dan Ardan saja yang fokus pada pelajaran yang sedang mereka pelajari. "Sugesti, adalah suatu pendapat, saran, pandangan atau sikap yang diberikan pada seseorang dan diterima tanpa disertai daya kritik. Wah, kayak gue sama Kevin dong?" Adel melihat betapa seriusnya Ardan membaca dan memahami pelajaran, senyumnya mengembang. "Kali ini gue mau dapetin Achieved Status, status yang diperoleh karena kerja keras dan prestasi," kata Ardan lalu mengangkat wajahnya membalas tatapan Adel kepadanya kemudian tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN