Ketertarikan

1048 Kata
Pagi ini adalah hari pertama ujian akhir semester. 12 IPS 4. Terkenal dengan biangnya keributan, itu karena sang pentolan sekolah berada di kelas itu. Tidak seperti kelas-kelas lain yang murid-muridnya akan sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian, 12 IPS 4 malah sebaliknya. Dari mulai ada yang memainkan kartu remi, main ML di pojokan kelas, ada yang tidur dengan iler yang membasahi buku, dan terakhir beberapa orang sedang membuat kertas sontekan. "Woy, contekannya gue share di grup nih, yak!" Ibon si kriwil dekil berteriak di depan kelas. "Sip, Bon!" ucap Rizal sambil membaca sebuah tabloid dewasa. "Eanjir, Zal! Buku gituan lo bawa." Kevin yang berdiri di sampingnya berdecak. Rizal mengalihkan pandangannya ke arah Kevin dan beberapa teman-temannya yang sedang menatapnya. "Gini, ya. Lo semua pada tau, kan. Gue itu mau jadi fotographer jadi gue harus banyak belajar tentang dunia fotography," kata Rizal lalu kembali melihat majalah itu. "Termasuk model-modelnya." Mendengar alasan Rizal mereka hanya mencibir. Di saat keadaan kelas yang tidak beres, hanya ada satu siswa yang duduk di meja belakang tengah sibuk dengan dunianya. Ari yang masuk dengan terburu-buru dari luar memberitahu bahwa Pak Yusuf—guru pengawas—akan segera memasuki kelas mereka. Para siswa sibuk merapikan kekacauan yang mereka perbuat. Tepat setelah mereka duduk dengan tenang di kursi masing-masing, Pak Yusuf datang membawa setumpuk kertas ulangan. Ketua kelas mempersiapkan untuk memberi salam dan berdoa. "Kenapa bangku depan kosong?" Pak Yusuf melayangkan pandangannya ke seluruh murid-muridnya. "Siapa yang mau duduk di sini?" Pak Yusuf menunjuk meja kosong yang yang berada persis di depannya. "Biasakan, isi dulu meja depannya." Ardan menghela napas lalu menenteng tasnya dan berjalan menuju meja yang kosong itu. Seluruh siswa 12 IPS 4 memandang takjub Ardan yang berani duduk di depan—komuk—guru. "Kerjakan yang benar, kali ini aja nilai kamu harus di atas tujuh." Pak Yusuf berkata sambil memberikan selembar kertas ujian kepada Ardan. Ardan mengangguk mengiyakan sambil menerima kertas itu. "Yang lain, kalo ketauan menyontek kertas ujiannya akan saya sobek!" ancam Pak Yusuf yang sepertinya tidak dihiraukan. Beberapa menit sudah terlewati. 5 menit pertama kelas sangat hening, 5 menit kedua kelas mulai riuh. Pak Yusuf yang duduk di kursinya beranjak dan mulai berkeliling dalam kelas itu. Matanya sangat jeli dalam mengawasi anak muridnya yang sedang ujian. Di saat siswa-siswa lain sibuk melirik kanan kiri, Ardan justru fokus ke kertas ujiannya. Kini ia baru mengetahui apa itu ambisi. Terkadang memang ambisi itu bisa membuat orang lebih baik atau justru dapat menjerumuskan. Dan yang ia tahu saat ini, ia berambisi untuk dapat dilihat orang melalui kerja kerasnya. *** Bel berakhirnya ujian hari ini sudah berbunyi. "Dion, Adel, bisa bantu Ibu nyusun kertas ulangan ini sesuai absen?" Adel dan Dion yang baru saja mengumpulkan saling menatap, kemudian berbarengan menjawab "iya". Dalam diam mereka menyusun kertas ulangan itu. "Setelah itu bawa ke ruang guru ya," titah Bu Beti yang kembali mendapatkan jawaban "iya" dari Adel dan Dion. Adel sempat memandang Dion, ia jadi teringat mengenai masalah masa lalu antara Dion dan Ardan. Ardan sepertinya sudah bisa memaafkan Dion, tetapi jika dilihat sikap mereka antara satu sama lain tidak berubah. Adel mengalihkan pandangannya, mungkin ia harus kembali berusaha agar semua terlihat lebih baik. Ketika mereka sudah keluar dari ruang guru, Adel memberanikan diri memanggil Dion. Dion memutar tubuhnya menghadap Adel. Ia menaikkan satu alisnya, "Ada apa?" "Besok sepulang sekolah mau belajar bareng nggak?" Ah, ya, ajakan konyol, Adel meringis dalam hati, mana mau orang seperti Dion menerima ajakan yang tidak menguntungkan baginya itu. Adel mulai memutar otak lagi jika seandainya Dion menolak. "Tumben." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Dion. "Ah, iya, lusa ulangan ekonomi, nah ada beberapa materi yang aku belum paham, mungkin kamu bisa bantu." Adel menghela napas sepertinya alasan itu sangat masuk akal, hingga Dion menyuarakan jawabannya membuat Adel kembali menepuk jidat. "Tahun lalu elo kan ditunjuk jadi perwakilan sekolah untuk ikut OSN Ekonomi. Gue pikir lo cukup menguasai pelajaran itu." Dion masih senantiasa memasang wajah dinginnya. Adel mati kutu, ia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. "Mungkin kebalikannya, besok kita belajar bareng karena ada beberapa materi ekonomi yang gue belum pahami," Dion menjeda ucapannya, "Itu pun kalo lo bisa bantu." "Bisa kok, bisa, ya udah besok sepulang sekolah." Dion hanya mengangguk sekilas kemudian berlalu. Ketika punggung Dion terlihat menjauh reflek Adel berteriak, "Yash! Rencana awal aku berhasil." Selanjutnya kita lihat besok, pokoknya perang dingin antara Dion dan Ardan harus segera berakhir, batin Adel menyemangati. *** Adel berjalan di antara buku-buku yang tertata rapi di rak ruang perpustakaan. Ia sedang mencari buku sejarah untuk persiapan di hari esok. Ia melihat buku itu, tetapi pikirannya melayang pada kejadian beberapa menit yang lalu. Ketika ia sedang berjalan di lorong, ia kembali mendengar gosipan beberapa siswi yang mengatakan perubahan sikap Ardan. Salah satu mereka mengungkit kejadian saat Ardan sempat menggoda beberapa siswi di depan kelas Adel beberapa hari yang lalu. Dan menurut yang ia dengar, itu sebuah kejadian yang aneh karena Ardan dikenal sebagai cowo yang tidak pernah mau dekat dengan perempuan—kecuali dirinya—seperti ucapan Ardan waktu itu. Satu hal yang dapat Adel simpulkan, selama ini persepsi ia yang mengatakan tidak ada perempuan yang menyukai Ardan ternyata salah besar. Karena pada kenyataannya mereka hanya tidak mau berurusan dengan Ardan seperti yang dilakukan siswi sebelumnya yang pernah mencoba memuji ketampanan Ardan secara terang-terangan. Karena setelah itu siswi yang mencoba memuji Ardan mendapatkan hadiah yang tidak akan pernah dilupakan oleh siswi itu. Ardan mempermalukannya di tengah lapangan dengan mengatakan "Perempuan murahan!" Setelah itu selama beberapa hari Ardan mengerjainya habis-habisan yang membuat siswi itu sangat kapok, begitu pula siswi-siswi lain yang melihatnya. Hingga Bella datang dan ikut mencoba mendekati laki-laki itu, beberapa kali ia diacuhkan oleh Ardan. Ardan tidak mengerjai bukan tanpa sebab. Karena menurut Ardan, Bella dapat dijadikan alat untuk melindungi dari siswi-siswi yang berusaha mendekatinya. Hingga ia bertemu dengan Adel, ia merasa Adel berbeda. Gadis polos penyendiri yang hanya memerlukan teman. Bukan tipe perempuan yang dapat melukai hatinya lagi seperti yang pernah ia rasakan sebelumnya. Karena ketika melihat gadis itu untuk pertama kalinya, ia merasakan ketertarikan khusus kepada gadis konyol yang berani menolak perintahnya. *** "Lo serius nganggep dia temen?” “Iya Antonio, kenapa sih?” Ardan mulai merasa tidak enak. “Alasannya?” "Nggak tau pasti, yang jelas dia berbeda dan gue tertarik," ucap lugas Ardan membuat teman-temannya seketika terdiam. .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN