Ambisi dan Sayang

1119 Kata
Ketika mereka sudah sampai di rumah pohon. Semua teman-temannya berdecak kagum. "Tempatnya bagus gila!" "Di sini nggak ada hantunya kan?" pertanyaan dari mulut Anton membuat gelak tawa dari teman-temannya. "Ahilah, gue serius ini." "Nggak ad—" ucapan Adel terpotong dengan ucapan Ardan. "Ada, Ton, banyak lagi." "Beneran? Eh gue jadi pengen kencing. Gue balik pulang deh, belajar di rumah aja. Al, pulang sekarang." Aldi sempat memprotes, tetapi Anton tetap ingin pulang. Rumah mereka satu komplek yang pada akhirnya membuat mereka pulang pergi sekolah menaikki kendaraan yang sama. Entah itu milik Aldi atau Anton. Kini hanya ada berlima saja. "Ayo, deh, mulai!" Adel menaikki tangga menuju rumah pohon itu. Ia duduk lalu mengeluarkan buku-buku yang baru ia pinjam di perpustakaan. Ketika kegiatan itu akan dimulai. Adel memberi instrupsi untuk mereka mendengarkan sebentar. "Hari sabtu kalian mau nggak ke kafenya Pak Rey. Beliau minta kalian dateng." Mereka hanya terdiam, terlihat tampang tidak suka dari mereka. Kecuali... "Oke, gue dateng. Kalian juga ya." Ardan menunjuk teman-temannya memberi ancaman. Melihat respon itu Adel tersenyum. *** Ketika ia sudah berada di rumah, gadis itu kembali tidak melihat bundanya. Sampai jarum jam menunjukkan angka delapan bundanya baru datang. Datang dengan wajah lelahnya. Kini ia berada di teras rumahnya menghirup udara sejuk di malam hari. Ia melihat tetangganya yang entah dari mana ingin memasuki rumahnya. Ia mencoba untuk memanggil. "Dinda!" Merasa namanya dipanggil Dinda membalikan tubuhnya. Dari geriknya ia seperti menyeka air mata yang jatuh dari sudut matanya. Di bawah temaram lampu Adel dapat melihat raut muka tidak baik pada wajah tetangganya itu. "Kamu kenapa?" "Oh, nggak pa-pa kok. Ada apa?" "Enggak sih cuma nyapa aja. Abis dari mana?" "Dari supermarket tadi ada yang dibeli." "Aku masuk dulu ya." "Din," panggil Adel, ia tampak ragu melanjutkan. Namun pada akhirnya ia berucap, "kalo butuh temen curhat aku siap kok." Dinda berbalik menghampiri Adel dan memeluknya. Terlalu tiba-tiba sehingga membuat Adel terkejut. Belum reda dari keterkejutannya, Dinda berbisik lirih, "Terima kasih." Di waktu yang sama dengan tempat yang berbeda. Laki-laki itu tengah mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat. Ia memejamkan matanya berusaha mengatur emosi yang bergejolak di hati. Ia menghirup napas kuat-kuat dan mengembuskannya perlahan. Begitu terus berharap cara itu ampuh untuk menenangkan pikirannya. Setelah itu ia mulai membuka kelopak matanya. Menengadahkan kepala untuk melihat langit yang bertabur bintang. Melihat bintang seperti melihat banyaknya harapan. Harapan-harapan yang entah dapat dicapai atau tidak. "Gue belum siap." Kalimat itu yang keluar dari bibirnya. Salah satu dari banyaknya harapan. "Gue belum siap ketemu dia lagi." *** Sebelum pulang ke rumah ia berniat membeli makanan-makanan ringan untuk cemilannya di rumah. "Selamat datang! Silakan berbelanja!" ucap salah satu pegawai kasir supermarket yang dibalas senyuman dari Ardan. Ia menyusuri beberapa rak makanan-makanan kecil, mie instan, dan selanjutnya minuman dingin. Ketika sedang berjalan menuju lemari pendingin Ardan melewati rak yang berisi buku-buku diary, ia mengambil satu dan menatap diary itu. Cukup lama hingga ia tersentak dan langsung mengembalikan diary itu ke tempatnya semula. Dan ketika ia akan berbalik menuju lemari pendingin ia melihat "dia". Dia yang baru saja sempat dipikirkan. Dia yang pernah mengisi relung hatinya. Dan dia pula yang sudah menjatuhkannya. Namun, tampaknya gadis itu tidak menyadari keberadaannya karena terlalu fokus melihat-lihat isi dari lemari pendingin itu. Sampai akhirnya gadis itu berbalik, wajahnya terkejut tak menyangka. Laki-laki itu, berada di depannya, memandangnya dengan wajah dingin. Caranya memandang sangat asing, ketika ia mendekat gadis itu hanya diam. Gadis itu berusaha untuk tersenyum, apa masih ada harapan? "Maaf, gue mau ngambil minuman itu." Ucapannya membuat harapan itu musnah seketika. Kesadarannya muncul, dengan salah tingkah ia pindah karena telah menghalangi jalan laki-laki itu. Dipandangnya lekat-lekat punggung tegap laki-laki dihadapannya ini. "A-Ardan." Dengan susah payah akhirnya ia bisa mengucapkan nama itu. Laki-laki itu menoleh, wajahnya masih datar. Tidak menunjukan sedikit pun emosi di dalamnya. Ia menaikan satu alisnya. "Ya?" Kali ini gadis itu benar-benar bingung harus berbuat apa. Akhirnya yang ia lakukan hanyalah tersenyum dan mengucapkan, "Udah lama nggak ketemu." Laki-laki yang dipanggil Ardan itu hanya tersenyum sinis. Ia mengembuskan napasnya kasar. "Ya, lama banget, semenjak gue menjelma menjadi orang bodoh karena udah ngejar orang yang nggak pantes dikejar." Kalimat itu berhasil menohok hatinya. "Ar—" "Dan gue nggak berharap bertemu dengan orang itu lagi," kata Ardan lantas pergi begitu saja. Meninggalkannya bersama dengan beribu-ribu penyesalan. *** Kini Ardan hanya duduk diam di depan jendela dan menatap langit-langit di atas sana. Selalu menenangkan ketika melihat ke atas sana. Dan keheningannya terganggu karena bunyi pagar dibuka. Ardan mengernyit memikirkan siapa ya baru datang. Memikirkan kemungkinan yang datang hanya satu. Ayahnya. Ardan bergegas berlari menuju pintu masuk. Ketika dilihat sang ayah masuk dengan wajah pucatnya Ardan hanya berdecak kesal. "Papa kan masih sakit, kenapa malah kerja sih bukannya istirahat." Melihat anaknya yang mendumel sang ayah hanya tersenyum lemah. Ia tau bahwa anak laki-lakinya ini masih sangat menyayanginya. Dia akan menjelma menjadi seorang anak yang sangat mencintai ayahnya jika ayahnya sedang sakit. Lalu akan menjadi anak pembangkang yang tidak bisa diatur jika sang ayah sibuk dengan pekerjaannya. Cinta dan benci diwaktu bersamaan. Cinta karena ayahnya adalah sebagian hidupnya dan benci karena sang ayah yang harus menyiksa dirinya sendiri demi kebahagiaannya. "Tumben Papa nggak dapat laporan macem-macem dari sekolah kamu." Ardan hanya mendengus kesal. Lalu menuntun ayahnya yang hampir limbung karena kondisinya yang lemah. "Tadi pagi kamu cuek sama Papa sekarang kamu berlaga seperti anak yang berbakti. Papa suka bingung sama kamu," kata ayahnya yang menggoda sang anak merasa mengetahui kelemahannya. Ardan masih diam hingga sampai ke dalam kamar ayahnya ia membaringkan tubuh ayahnya ke kasur. Setelah itu ia bergegas keluar, ketika ia berada di ambang pintu ayahnya kembali bersuara. "Papa sayang kamu, Papa harap kamu mengerti." Ardan memejamkan mata dan menghela napas lelah. "Aku sayang Papa tapi aku lebih membenci ambisi Papa." *** Ardan berbaring gelisah, hatinya tidak nyaman. Ia berusaha memejamkan mata, tetapi kesadarannya masih ada. Akhirnya ia memutuskan beranjak dan keluar kamar. Kakinya membawa ia menuju kamar sang ayah. Dengan gerakan ragu ia memegang kenop pintu lalu membukanya. "Papa, ada apa? apa yang sakit?" Ayahnya membuka matanya lemah. Ia tersenyum tipis. "Papa sedikit pusing," ujarnya seraya mengurut keningnya. "Udah minum obat?" tanya Ardan cemas melihat kondisi lemah ayahnya Ayahnya tidak menjawab. Ardan sudah dapat menebak. Ia segera mengambil obat-obatan dan memberikannya kepada sang ayah. "Papa, cuma nggak mau kejadian dulu terulang lagi. Ketika Papa belum memiliki apa-apa, malah yang Papa miliki yang pergi." Ardan menatap ayahnya sendu. Ia tau maksud perkataan itu. "Aku nggak akan pergi." "Tapi sikap Papa malah membuat aku ngerasa nggak punya siapa-siapa." "Maaf." Hanya satu kata yang terucap dengan tulus dapat menimbulkan ketenangan dalam hatinya yang selama ini selalu bergemuruh. "Papa tidurlah, malam ini Ardan di sini buat nemenin Papa." Ayahnya mengangguk lemah lalu memejamkan mata. Ardan menghela napasnya berat dan berusaha memejamkan mata juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN