Usaha Kevin

1001 Kata
"Gue nggak suka sama dia. Lo bisa buktiin omongan gue ini." Kevin mengembuskan nikotinnya. Di balik kemudinya mata cowok itu awas menunggu sosok seseorang. Beberapa kali ia melirik jam di tangannya. "Oke, gue buktiin," gumam Kevin kala sosok yang ia tunggu tertangkap netranya. *** Hari yang ditunggu Dinda datang. Me time-nya tiba. Dengan style jeans kulot dengan kaos oversize hitam dan topi baseball, Dinda hanya membawa satu tas kecil berisi dompet dan ponsel. Ia belum merencanakan rencananya. Namun, untuk pagi ini ia akan mulai dari makan bubur di pertigaan depan SMP-nya dulu. Penjualnya masih sama. Hanya gerobaknya saja yang terlihat berbeda dari terakhir kali ia ke sini. Lebih besar dengan cat biru cokelat. Dulu ia langganan dengan Ardan di sini. Dinda tidak yakin kalau penjual buburnya masih mengenali Dinda yang lebih tinggi dari sebelumnya dan lebih glowing. Dinda memesan bubur tanpa seledri dan kacang. Ditemani teh hangat, ia menyantap bubur itu yang rasanya tidak berubah. Membawa Dinda kembali pada masa itu. "Aku ada piket OSIS, Dan!" seru Dinda dari boncengan. "Iya, tapi kan harus makan!" balas Ardan. "Dibungkus aja, makan di sekolah." Kemudian roda dua itu berhenti di depan gerobak cokelat di pinggir jalan. Ardan memesan dua bungkus bubur. Satu tidak pakai seledri, satu lagi buatnya tidak pakai kacang. Dinda menunggu di atas jok motor dengan gelisah. "Dan, cepet, nanti aku diomelin Pak Edo." Pak Edo adalah guru yang merangkap menjadi ketua kesiswaan. OSIS masuk ke dalam naungan bagian kesiswaan. "Sabar, dong. Ini udah." Ardan mengangkat plastik putih di tangannya. "Mau setelat apa pun, sarapan utama." Lalu Ardan mengegas motornya. Usai mengisi perutnya dengan sarapan Dinda berjalan ke halte dan menunggu angkutan umum di sana. Seperti kata orang itu "sarapan utama". *** Tempat yang Dinda tuju pada akhirnya adalah Taman Mini Indonesia Indah. Sambil berfoto-foto Dinda memasuki rumah adat minangkabau. "Mau foto di sana?" tawar seorang perempuan yang Dinda ketahui petugasnya. Ia menawarkan berfoto di tempat duduk dalam rumah gadang. "Ini ada baju sama kain songket." Dinda tertarik. Ia akhirnya menyewa kostum itu dan duduk di kursi yang sudah disediakan. Saat Dinda sudah tersenyum ke kamera dan kameramen hendak memotret seorang laki-laki menahannya. "Hai! Kita foto bareng. Tunggu!" Dinda membelalak. Sangat terkejut karena kedatangan cowok itu. Mengapa dia ada di sini? Pikiran negatif Dinda mengatakan kalau cowok itu menguntitnya. Setelah mengenakan baju adat padang pria, cowok itu menghampiri Dinda yang sudah menatap tajam. "Gue mau foto sendiri." "Berdua dulu," balasnya. "Kevin!" Dinda geram. "Gue kan udah bilang kalo hari ini waktunya gue. Lo ngikutin gue dari rumah?" Kevin buru menoleh. "Geer banget!" bantah Kevin. "Gue tadi emang ngikutin lo tapi dari gerbang sono. Nggak sengaja ketemu lo. Ya udah kebetulan dong jadi gue samperin." Kevin jelas berbohong. Namun, karena ia terbiasa menjadi buaya darat ekspresinya tidak menunjukan tanda kebohongan di mata Dinda. "Ini foto berdua dulu baru sendiri," paksa Kevin. Melihat Dinda tidak lagi menolak Kevin mengangkat satu tangannya kepada kameramen. "Mulai, Mas." Tiga kali mereka berganti pose saat foto berdua. "Satu lagi?" "Enggak!" tolak Dinda. "Sekarang turun karena gue mau sendiri." Kevin membentuk jari telunjuk dan jempolnya menjadi O. "Oke." Seperginya Kevin, barulah Dinda meminta untuk berfoto lagi. Terlintas di benaknya apakah hari ini ia akan gagal untuk menghabiskan waktu sendiri. Puas berfoto, Dinda berganti pakaian sambil menunggu fotonya selesai dicetak. "Dinda!" panggil Kevin. Mata Dinda mencari keberadaan cowok itu. Kevin melambai padanya. Dinda berdecak sebal. Ia mengambil langkah lebar ke arah Kevin. "Nih, foto yang lo sendiri. Ini foto kita berdua." "Itu kan mau lo bukan gue. Lo aja yang pegang," ketus Dinda. "Dih, buat kenang-kenangan kali," kata Kevin sambil terus menyodorkan foto berduanya dengan Dinda. "Oke," desis Dinda. "Sekarang kita pisah di sini. Lo ke sini pasti punya tujuan. Lo ke tujuan lo dan gue ke tujuan gue. Awas ngikutin lagi," ancam Dinda. Dalam hati Kevin terkekeh. Sayangnya dia butuh melakukan lagi untuk menyadarkan sahabatnya. Ia mengangkat kedua tangannya. "Iya, okey!" Dinda berbalik memunggunginya dan pergi ke arah rumah adat lain. Kevin benar tidak mengikutinya hanya memantau dari depan pintu masuk kawasan rumah adat itu. Setelah bosan memasuki rumah adat, Dinda kembali melangkah. Di atas sana terdapat kereta gantung. Mata Dinda berbinar tanda ingin menaikinya juga. Cewek itu bergegas menuju tempat kereta gantung. "Sendiri aja?" tanya petugas karcis. "Iya," jawab Dinda. Setelah mendapat karcis ia naik ke tangga untuk memasuki kereta gantung berwarna kuning itu. Di atas sana terdapat petugas juga. Satu kereta gantung yang sudah sampai dan kosong lantas dimasuki oleh Dinda. Kala petugasnya ingin menutup pintu, seorang lelaki berteriak menghentikan. "Saya mau masuk!" kata laki-laki itu sambil melambaikan karcis di tangannya. Tau siapa yang masuk, membuat Dinda kesal setengah mati. "LO LAGI?!" "Lah? Lo juga naik ini?" Dinda menahan dirinya untuk tidak mengumpat macam-macam. Kevin duduk di depannya. Kereta di tutup dan mulai bergerak. "Gue udah lama nggak naik ini. Jadi flashback waktu jaman TK sama Mama ke sini. Haha!" celoteh Kevin. Dinda tidak merespon. Pandangannya terlempar ke luar jendela. "Dulu gue takut liat ke arah luar jendela. Senengnya liat ke atas langit. Mikirin harus setinggi apa lagi biar nyentuh langit." Kevin bukannya tidak sadar kalau Dinda menyuekinya. Namun, ia tidak peduli. Setelah bingung mau bercerita apa pada akhirnya Kevin diam. Ia membuka aplikasi kamera dan diam-diam memfoto cewek itu. Maaf, Din. Ini juga buat kebaikan lo, batin Kevin. Aksi Kevin tidak berhenti sampai situ saja. Saat Dinda memasuki keong mas, Kevin ikut masuk. Ke mana Dinda berjalan, Kevin diam-diam mengikuti dari belakang. Alasannya selalu sama. Tak sengaja ketemu dan tujuannya kebetulan sama. Kevin benar-benar tidak mengikuti lagi saat Dinda keluar dari Taman Mini Indonesia Indah. Cowok itu mengambil ponselnya. Membuat aplikasi chatting yang sudah memiliki ribuan pesan. Kalau dilihat kebanyakan pesan masuk itu dari kontak perempuan. Kevin jadi merasa seperti ibu kos perempuan. Kemudian ia mencari satu nama. Gue lagi di sini sama dia. Cocok nggak? From: Me Kevin mengirim foto-foto yang ia kumpulkan hari ini. Dari mulai foto berdua di rumah adat sampai foto punggung Dinda saat di museum. Ia hanya ingin tahu apa respon dari sahabatnya itu. Kevin harap usahanya ini tidak sia-sia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN