Tidak Apa-apa

1018 Kata
Melihat foto yang dikirimkan Kevin membuat dadanya terasa sempit. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia lantas menutup aplikasi pesan itu dan lekas bersiap berangkat ke toko. Sesampainya di toko Ardan tidak menemukan Dinda. Padahal waktu sudah mendekati jam setengah delapan. Ardan membuka tokonya dan berdiri di balik kasir. Ia akan menunggu di sini sampai Dinda datang. Beberapa pembeli sudah datang. Ardan mengecek ponselnya. Tidak ada pesan dari cewek itu. Jam menunjukan pukul setengah sembilan. Lelaki itu berdecak kesal. "Kalau mau terlambat 'kan bisa izin dulu," gerutu Ardan. Tring! Suara pintu terbuka. Ardan mendongak, mendapati Dinda yang terengah-engah. "Maaf, Dan. Gue kesiangan." Ardan terdiam. Baru kali ini Dinda kesiangan sampai sejam. Apa dia kurang tidur? Jam berapa Dinda dan Kevin pulang tadi malam? Ardan berdecak. Sialan, harusnya ia tidak berpikir sejauh itu! "Gue tolerir kalau elo kesiangan setengah jam. Tapi sampai sejam lebih? Lo emang tidur jam berapa tadi malem? Ke mana aja? Nggak inget kalau sekarang kerja? Jangan seenaknya datang terlambat gini, gue juga banyak yang dikerjain," sembur Ardan. Dinda menunduk. Nyalinya ciut mendengar omelan Ardan. "Sorry, Dan," cicitnya. Helaan napas berat terdengar di telinga Dinda. Sepanjang jalan tadi ia sudah merutuk dirinya yang bisa-bisanya bangun kesiangan. "Gue nggak benci lo. Gue juga nggak ada niat mau pecat lo. Tapi kalau sikap lo-nya gini. Ini lo yang sengaja minta dipecat namanya!" "Maaf, Ardan!" Dinda memberanikan diri membalas mata Ardan. "Iya, gue salah, ini yang terakhir. Bahkan gue mau lembur hari ini. Kita tutup jam sebelas malam buat gantiin keterlambatan gue tadi atau lo bisa potong gaji." Ardan diam. Mata elangnya menusuk tajam. Tatapan itu sama seperti tatapannya dulu. Saat Ardan mengetahui Dinda menyukai Dion. Sebegitu marahnya Ardan karena dirinya terlambat? Dinda bertanya dalam hati. "Apa gue perlu—" Belum sempat Dinda menyelesaikan kalimatnya Ardan sudah berbalik meninggalkannya. Tadinya kalau Ardan masih marah juga Dinda menawarkan diri untuk menghukumnya ala anak sekolah. Berdiri di bawah terik matahari sambil hormat bendera. Untungnya, ia tidak perlu mengatakan hal konyol itu. Melihat Ardan sudah benar-benar masuk ke dalam ruangannya, Dinda menghela napas lega. Ia lekas ke balik meja kasir dan memakai rompi. Tak mau Ardan memarahinya lagi, Dinda buru menata rak. Menyapu dan mengepel lantai. Mengelap rak dan meja. Serta melayani pembeli dengan semangat. Sebenarnya tadi Dinda sedikit senang saat cowok itu mengatakan bahwa ia tidak membencinya sama sekali. Pemikiran konyol terbesit di benak Dinda kalau Ardan masih mau menerimanya lagi. "Ck! Siapa tau aja maksud dia bukan ke situ!" Dinda memukul pelan kepalanya. "Halu, dasar!" Segerombolan perempuan masuk ke toko. Dinda yang tengah merapikan rak mie instan yang berantakan, lantas berlari kecil ke arah kasir. "Selamat berbelanja, Mba!" ucap Dinda ramah. "Oh, lo orangnya." Salah satu dari mereka berbicara sinis kepada Dinda. Ada tiga perempuan yang memasuki toko itu. "Maaf, maksudnya, Mba?" Cewek itu berlalu menuju lemari pendingin. Membawa botol minuman bersoda ke kasir. Dinda menatap penuh tanya cewek yang bersikap kasar tadi. Namun, karena ia tidak mau mencari masalah Dinda hanya fokus pada minuman itu. "Delapan ribu," ucap Dinda. Cewek itu menyodorkan uang sepuluh ribu. Dinda membuka laci kasir dan mengambil uang dua ribu. Saat Dinda hendak menyodorkan kembaliannya, tanpa disangka-sangka siraman air mengenainya. "Lo cuma pegawai kasir, bisa-bisanya lo dengan pedenya ngegoda cowok orang?" Dinda yang masih shock hanya terdiam sambil mencoba memproses apa yang tengah terjadi. Jenggutan tiba-tiba di rambutnya mengembalikan kesadarannya bahwa ia harus membangun perlindungan diri. "Pelakor kayak lo gini, pantesnya di neraka!" "Aakk!" Dinda merintih saat rambutnya terus ditarik. Rasanya kulit kepalanya ingin lepas. Tangannya berusaha melepas tarikan itu. Ardan dari ruang kerjanya melihat kehebohan itu dari monitor cctv. Ia berlari keluar ruangannya untuk menolong Dinda. Dengan sigap ia menghalangi cewek yang tengah menarik rambut Dinda. Dicengkeramnya pergelangan tangan cewek itu. "Apa-apaan ini?! Kamu mau saya lapor polisi atas tindakan p*********n?" "Bilangin pegawai lo untuk jauhin cowok gue!" Pintu toko terbuka kasar. Menampilkan wajah keras Kevin di sana. Kevin melirik Dinda yang sudah basah kuyup dengan rambut yang berantakan. Di sisi lain Shella tengah dicengkeram oleh Ardan. "Dinda maaf, ini salah paham," ucap Kevin kepada cewek yang membuang muka padanya. "Biar gue yang selesain," kata Kevin kepada Ardan. Kemudian ia menyeret Shella keluar dari toko itu. Ardan melihat kepergian Kevin dan cewek yang ia duga korban kebuayaan sahabatnya itu. "Si begok," maki Ardan. Ardan melirik Dinda yang terdiam menatap lurus ke depan dengan baju yang sudah basah kuyup. Cewek itu menoleh ke sudut lain. Masih ada dua pelanggan lagi. "Maaf, Mba, atas ketidaknyamanannya. Mari saya layani," ucap Dinda dengan wajah ramahnya kembali kepada dua perempuan yang sudah memegang belanjaan mereka. Ardan memijit keningnya. Pening. Ia tidak tahu kalau Kevin sudah benar-benar free. Tahu seperti ini ia tidak akan memaksa sahabatnya itu mendekati Dinda. Ia masuk kembali ke ruang kerjanya. Mengambil ponselnya dan mengetikkan suatu kalimat. Gue punya hadiah buat lo. Jangan kaget From: Me Siap. Gue terima hadiahnya From: Kevin Hadiah yang dimaksud Ardan jelas saja bukan hadiah sesungguhnya. Walaupun sahabatnya, satu bogeman cukup untuk memberi pelajaran kalau mulai sekarang sahabatnya itu jangan main-main dengan orang yang masih berkaitan dengannya. Tidak. Ardan tidak membela Dinda karena dia mantan. Ia membela Dinda karena cewek itu pegawainya. Ardan kemudian mengambil kaos cadangan yang biasa ia bawa di tasnya. Dinda yang tengah mengelap wajahnya dengan tisu terhenti ketika Ardan menyodorkan kaus berwarna hitam ke depannya. "Ganti dulu. Rompinya basah nggak usah dipake." "Makasih." Dengan ragu Dinda mengambil kaus hitam itu. "Rompinya cuma ada satu nggak apa-apa gue pake. Diperjanjian kerja ada tertulis bersedia memakai seragam yang disediakan." "Rompinya basah. Percuma ganti baju. Lagian ide pake rompi itu dari bokap. Gue nggak ngewajibin." Dinda mengangguk kecil, tak ingin membantah lagi. Ia kemudian ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Keluar dari kamar mandi ia melihat secangkir teh hangat menangkring di meja kasirnya. Kemudian pintu ruang kerja Ardan kembali terbuka. "Kalau mau istirahat di dalam." Ia menunjuk ruang kerjanya. "Biar gue yang jaga di sini. Nanti kalau udah baikan lo balik ke sini." Dinda tersenyum dan menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Setelah minum itu," tunjuknya ke cangkir. "Bakalan baikan kok." Ardan memasang wajah tidak terima. Ia berusaha sabar, tetapi cewek di depannya ini malah keras kepala. "Beneran, Dan. Nggak apa-apa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN