Hati Batu

1002 Kata
Ardan sengaja untuk keluar dari toko. Ia belum menentukan sikap atas ucapan yang Dinda berikan tadi malam. Apa ia harus membahasnya lagi? Bahkan Ardan tidak siap kalau Dinda membahas itu duluan. Untuk itu yang ia lakukan hanya menyuruh Dinda melakukan pekerjaan lebih banyak dari sebelumnya. Semata-mata karena ia tidak mau membuat Dinda membahas percakapan malam itu. Awalnya ia tidak mau terlihat kalau ia terganggu, dengan berpura-pura bersikap biasa. Tanpa ia sadari sikapnya justru berlebihan dan membuat Dinda berpikir lain. Ketika mendengar ucapan Dinda tadi malam rasa marah, jelas ada. Menyesal pun ada. Namun, Ardan tidak bisa mengungkapkan itu semua. Maka dari itu ketika jam menunjukkan pukul delapan malam, Ardan baru balik ke tokonya lagi. "Ini nomor telepon beberapa produk yang mau masukin barangnya ke sini." Dinda menyodorkan secarik kertas. "Ada produk baru ada produk lama tapi nyediain varian baru. Gue nggak paham jadi gue mintain nomornya aja. Gue bilang kalo lo yang nelepon mereka." Ardan menerima kertas itu. "Iya." Hanya itu jawaban Ardan lalu ia lekas ke ruangannya. "Maaf." Langkah kaki Ardan berhenti. Suara lemah Dinda di belakangnya terasa jelas di telinga Ardan. "Atas ucapan ngaco gue tadi malem. Nggak usah dipikirin. Itu bukan ucapan yang mau gue sampein ke lo." Ardan berdeham. "Ya, gue juga ngira gitu." Bohong. Jelas. Kemudian ia kembali berjalan meninggalkan Dinda di meja kasirnya. "Gitu doang?" Dinda berdecak. "Ekspektasi gue terlalu tinggi dia bakalan ngerasa bersalah atau gimana." Memang paling benar tidak berharap lebih kepada manusia. Dinda mengecek jam di ponselnya. Setengah jam lagi dia akan pulang. Ahh, rasanya Dinda ingin cepat-cepat sampai rumah. Pekerjaan hari ini cukup melelahkan. *** Kalau tahu ia akan lembur akibat aksi 'kabur'-nya Ardan tidak akan kabur tadi. Seharusnya ia sudah bisa berleha-leha di rumah, kini Ardan harus menuntaskan terkait beberapa produk yang akan ia jual. "Iya, Mas, besok jam sembilan saya sudah ada di sini. Baik, Mas." Nomor terakhir yang Ardan hubungi malam ini. Ia meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Ponselnya berdering. Menampilkan tulisan Bundadari di layar ponselnya. "Halo, Bun." "Arfa, udah pulang?" "Belum, Bun, masih di toko." Ardan melirik jam di dinding. Sudah hampir jam setengah sebelas. "Besok sabtu masih kerja atau libur?" "Masih kerja." Ardan mengapit ponselnya di antara telinga dan bahu untuk merapikan laporan keuangan harian di laptopnya. "Arfa liburnya minggu." "Yah, kirain. Ya udah malam ini aja ke rumah Bunda dulu. Bunda masakin balado ayam. Bawa pulang, ya." "Iya, Bun. Nanti Arfa ke rumah. Terima kasih, Bunda." "Sama-sama. Hati-hati di jalan Arfa." "Iya, Bun. Siap." Ardan menarik ponselnya dan mematikan layar benda pipih itu. Biasanya, kalau Bunda sudah menyuruhnya pulang ada sesuatu yang mau dia bicarakan. Kalau kata Adel curhat time. Entah apa lagi kali ini. Terakhir Bunda curhat masalah Bu RT yang tidak mengajak Bunda kondangan bareng. Semoga aja bukan masalah seperti itu karena jujur, Ardan sudah capek dan mendambakan kasur kesayangannya. *** "Apa—uhuk... Uhuk!" Ardan gelagapan karena tersedak balado yang tengah ia santap. "Aduh, hati-hati, dong, Ar!" Bunda menyodorkan gelas berisi air. Dengan rakus Ardan meneguk isi gelas hingga tuntas. "Kok Adel nggak cerita kalau pacaran sama Dion," protes Ardan. Bunda mengendikkan bahu. "Mana Bunda tahu." "Sejak kapan, Bun?" "Udah seminggu kayaknya. Dua hari yang lalu Bunda vidio call-an sama Dion juga." Ardan menyipit. Bunda mulai menyombongkan diri setiap berteleponan dengan Adel. "Parah, Arfa nggak dikasih tau sama sekali. Sama Dion lagi pacarannya." "Loh emang kenapa? Dion ganteng kok. Baik lagi. Usahanya juga di sana sukses loh, Ar," tutur Bunda panjang lebar. Bisa-bisanya Bunda menyombongkan pacar anak perempuannya di depan anak laki-lakinya. Ini salah satu penyebab ipar tidak pernah akur. "Aku juga usahanya baru mulai, Bun. Nggak kayak Dion udah tiga tahun," elak Ardan. "Iya, itu karena dia cepet lulus kuliahnya. Kamu kan maba, mahasiswa abadi." 1-0 Bunda unggul malam ini. Oke, kalau Bunda sudah mode pantang kalah debat seperti ini Ardan tidak akan mau melanjutkan lagi. Bisa ngamuk tujuh hari tujuh malam kalau posisinya berbalik jadi 1-1. Usai makan dan mencuci piring Ardan mengambil ponselnya. "Ardan mau marah-marah dulu sama tu anak." "Ih, jangan nelpon sekarang!" Bunda merampas ponsel Ardan. "Kenapa?" "Dia lagi nge-date. Adel cerita diajak jalan-jalan seharian penuh sama Dion. Kamu jomblo jangan ngeganggu adeknya." "Astaga Bunda!" Ardan membelalak tak percaya. "Jleb banget jomlonya penuh penghayatan." Bunda terkikik. Ia mengambil lap dan mengelap meja makan yang kotor. "Makanya jangan mau kalah sama adeknya. Cari pacar sana. Terus nikah." Lancar tanpa gangguan sinyal ya Bunda mengatakannya. Membuat Ardan harus menahan dongkol setengah mati. Jadi, jangan heran kalau Ardan atau Adel sedikit menyebalkan. Sudah tau bukan turunan siapa? *** Hai kakak ipar! From: Diontai Dion mengirimkan fotonya dan Adel tengah menaikki perahu kecil seperti di film heart. "Ini kalau ponselnya nyebur mantep banget." Bunda udah cerita? Hehe maaf ya belum sempet ngabarin From: Adelola Ardan mengetikkan sesuatu dan mengirimnya kepada Adel. Beliin gue sesuatu. PAJAK JADIAN! From: Me Kemudian ia membuka ruang chat dengan Dion untuk membalas temannya itu juga. Pulang lo sini. Gue gebuk dadda lo ampe bunyi telolet From: Me Satu pesan masuk Dinda jadi pegawai kasir ya? From: Adelola Tidak heran adiknya tahu. Adel dan Dinda berteman jelas dia akan memberitahu Adel. Kalau Adel sudah membahas Dinda jujur Ardan tidak nyaman. Topiknya selalu sama. Ia akan membujuk Ardan untuk balikan lagi dengan Dinda. Dikata balikan sama mantan kayak balikin telapak tangan! sulut Ardan dalam hati. Mengganti topik. Gue mau pajak jadiannya yang mahal. Apa aja bendanya tapi mahal. From: Me Haha Terus gimana kerja bareng sama Dinda? Udah tumbuh tumbuh perasaan ingin bersama? From: Adelola JANGAN MULAI DEH From: Me Dapat dipastikan Adel sudah tergelak saat ini juga. Seberapa keras Ardan menjelaskan bahwa sisi hatinya menyimpan ketidakpercayaan kepada perempuan itu tetap saja Adel tidak akan memahaminya. Bahkan tidak hanya Adel, semua orang dekatnya pun sama. Perkataan Kevin beberapa hari yang lalu jadi teringat kembali. Ardan melempar ponselnya ke samping. Tidak dipedulikannya notifikasi baru yang masuk ke ponselnya. Ia merebahkan tubuhnya di kasur dan menutup matanya dengan lengan. "Gue nggak mau ngelanjutin lagi karena gue tau, Dan. Rasa buat Dinda di hati lo masih ada. Lo nya aja yang batu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN