Dinda nggak mau dipecat!

1002 Kata
"Argh!" Ia tidak ingat sudah berapa kaleng diminum tadi malam. Kepalanya terasa berat saat ia bangun pagi ini. Tangannya terulur untuk meraih gawai yang di atas meja. "Sial! Udah jam enam." Dinda harus berangkat dari jam tujuh agar tidak terlambat. Matanya mengitari ruangan sekitarnya. Ia masih berada di ruang tamu dan tertidur di sofa. Krek! Dinda memutar pinggangnya ke kiri dan ke kanan. Posisi tidurnya yang tidak benar membuat tubuhnya kini terasa pegal-pegal. Dengan susah payah cewek itu berdiri. Sedikit sempoyongan hingga menabrak benda sekelilingnya. "Siapa yang naro di sini, sih?" sulutnya sambil terus berjalan ke arah dapur. Padahal ia tinggal sendiri. Dinda mengambil air putih dan meneguknya. Kemudian ia membuka aplikasi chatting di dalam ponselnya. Keningnya bertaut kala ia melihat kolom panggilan keluar. Ia menelepon Ardan tadi malam? Mata Dinda menyipit berusaha mengingat sesuatu lalu membulat lebar saat mengingatnya. "Gue nggak kuat lo cuekin gitu sumpah!" tangis Dinda pecah. "Ardan jahat banget sih lo! Kenapa lo nggak pecat gue aja kalo benci!" Reflek ia melempar ponselnya ke atas meja makan. "BEGOK!" makinya pada diri sendiri. Dinda menepuk pipi, dan menjenggut rambutnya sendiri. "Bodohh kenapa lo nelepon Ardan bodoh! Aaaa!" Terbayang bagaimana ekspresi Ardan saat melihatnya nanti. Wajahnya akan sedingin apa atau mungkin cowok itu akan memaki dan memecatnya. "Hua! Mau ditaro mana muka gue!" "Maksud perkataan lo tadi malam apa?" "Lo mau dipecat? Oke, lo dipecat." Bayangan kalimat itu keluar dari mulut Ardan membuat Dinda menciut. Apa dia harus izin hari ini? Ah, iya dia harus izin sambil mempersiapkan diri jika bertemu dengan Ardan nanti. "Nggak sekalian mengundurkan diri aja? Tanggung kalau cuma izin." Dinda menjerit kesal. Suara itu terngiang terus di kepala Dinda. Terus mengolok-oloknya sampai dia merasa gila. "Oke, nggak ada apa-apa. Gue lagi nggak sadar, Ardan bakalan paham kok." Ia menegaskan kepada dirinya sendiri semua akan baik-baik saja. *** Matanya menyipit mengawasi pintu toko yang belum juga dibuka oleh pemiliknya. Toko itu masih terkunci, Dinda menunggu tidak di pelataran toko melainkan di pangkalan ojek di depan toko. Ia sontak menunduk kala motor Ardan lewat. Memperhatikan di balik majalah dari mulai cowok itu turun dari motor sampai membuka kunci toko. Dinda menunggu Ardan masuk ke dalam ruangannya seperti kemarin. Namun, cowok itu tak kunjung masuk. Justru berdiri di balik meja kasir. Sial! Apa Ardan sengaja menunggunya? "Dia inget yang tadi malem nih. Gue yakin." Dinda menggigit bibir bawahnya. "Lo di situ ngapain sih? Beneran mau mecat gue? Duh, mana cicilan panci belom lunas," gumamnya. "Neng, kerja di sana kan?" tegur bapak-bapak berjaket hitam. Dinda tebak ia salah satu dari abang ojek di situ. "Iya, Pak." Bapak itu mengangguk. "Kok nggak masuk? Udah dateng tu bosnya." Dinda tersenyum memaksa. Saya sengaja nggak masuk, takut dipecat, Pak! "Oh, udah dibuka ya? Makasih, Pak. Nggak engeh saya." Bapak itu terkekeh. "Makanya fokus banget baca majalahnya." "Hehe, iya, Pak. Permisi, Pak." Dengan berat Dinda melangkah menuju toko. Ia harus menguatkan hatinya untuk mendengar kata-kata terakhirnya bekerja. Kamu harus kuat, Din. Yok, cari kerja lagi yok. Kamu pasti bisa! "Kok nggak langsung masuk?" tanya Ardan ketika kaki Dinda pertama kali menginjak lantai toko ini. "Ya?" Ardan melirik pangkalan ojek di seberang jalan. Dinda melongo, Ardan mengetahuinya! "O-oh itu. Ia gue nungguin lo belum dateng jadi nunggu di situ." Cowok itu memasukan tangannya ke dalam saku dan berjalan keluar dari balik meja kasir. "Udah sarapan?" "Ya? Oh, iya. Eh, maksudnya udah," gugup Dinda. Keringat mengalir di dahinya, yang Dinda rasakan saat ini hanya satu. Panik! Ardan melewati Dinda dan berjalan masuk ke dalam ruang kerjanya. "Fokus kerjanya, ya," katanya dengan nada rendah dan menusuk. Hawa panas menyelimuti Dinda saat ini. Ardan jauh lebih sinis dan dingin dari sebelumnya. Argh! Sesuai perkiraan Dinda. "Huu!" Dinda menghela napasnya. Rasanya seperti ia menahan napas saat berhadapan dengan Ardan tadi. *** Benar saja, Ardan tampak lebih kejam dari sebelumnya. Ia bahkan menyuruh Dinda untuk menata barang yang baru datang sendiri. Pekerjaannya pun jadi tambah banyak karena Ardan yang seperti mencari-cari kesalahan cewek itu. Dari mulai kecil yang ada di bawah rak. Sampai debu yang bersarang di salah satu produk yang harus dielap oleh Dinda. Bahkan Ardan meninggalkan ruang kerjanya sampai hampir tiga jam. Dinda sedikit kelimpungan saat beberapa tamu ingin bertemu dengan Ardan untuk membahas produk yang akan dimasukan ke dalam toko ini. "Ini masih satu produksi tapi beda varian." "Iya, Mas, tapi saya nggak paham. Tunggu atasan saya datang atau bisa tulis nomornya di sini. Nanti kalau atasan saya datang saya infokan ke dia." "Yah, padahal saya udah jauh ke sini. Sekalian ngasih ini kontraknya." "Iya, Mas, masalahnya saya nggak ada wewenang." Setelah melewati penjelasan yang panjang pada akhirnya orang marketing dari salah satu produk makanan itu mau juga untuk pergi tanpa memaksa Dinda bertanda tangan. Cewek itu melihat jam di dinding. Ardan belum kunjung datang. Seperti inikah cara Ardan memecatnya? Dengan membuat dia tidak nyaman bekerja dan memutuskan untuk keluar sendiri. Oh, tidak. Kalau dia keluar sebelum kontrak habis maka Dinda harus membayar denda. Sedangkan jika ia yang dipecat, Ardan-lah yang akan mengeluarkan uang untuknya. Dinda berdecih, ia menerka jalan pikir Ardan. "Nggak bisa! Lo nggak bisa dengan mudah buat gue ngundurin diri terus lo nuntut uang denda. Enak aja." Dinda menata produk s**u dengan sambil bergumam. "Kita liat aja, siapa yang bakalan ngeluarin uang. Lo atau gue," kata Dinda memasang wajah menantang pada gambar muka bayi yang menyengir di produk s**u bayi. "Mama, itu mbanya lagi ngomong sama kardus?" celetuk seorang anak kecil di samping Dinda yang entah sejak kapan ada di sana. "Huss!" tegur ibu anak itu. "Maaf, Mba," ujar ibu itu sopan kepada Dinda. "Iya nggak apa-apa, Bu." Dinda menegapkan dirinya. Memasang senyum ramah yang ia paksakan padahal dirinya tengah malu setengah mati karena kepergok lagi menggerutu. "Mau cari apa, Bu?" tanya Dinda. "Oh, ini jagung buat bikin popcorn. Di mana, ya?" "Di sebelah sini, Bu," tunjuk Dinda ke arah tumpukan produk yang diminta ibu itu. "Makasih, Mba." "Sama-sama." Setelah mengantar ibu itu menemukan barangnya, Dinda kembali lagi ke meja kasirnya. Ardan belum juga datang. Dinda jadi berpikir lain, ke mana cowok itu pergi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN