Perubahan

1017 Kata
Pandangan mata orang sekelilingnya tak henti-henti menatap gadis berambut lurus sepunggung itu. Poni yang dipotong rata dengan bandana yang bertengger manis di kepalanya membuat penampilannya kini menjadi sorotan. Kacamata yang ia pakai saat ini bahkan menambah kesan manis pada wajahnya, bukannya kesan "cupu". Langkahnya mantap menuju kantin yang biasa ia dan kawan-kawannya singgahi. "Halo semua!" sapa Adel kepada teman-temannya yang sedang menatapnya tidak percaya. Bahkan Kevin tidak menutup mulutnya yang sudah di masuki mie ayam. "Vin, mingkem," kata Anto yang berada di sampingnya. Bahkan Galang yang biasanya tidak terlalu tertarik dengan perempuan kini beranjak dari tempat duduknya untuk melihat Adel lebih dekat. "Del, lu Adel kan?" Adel mengernyit bingung, ia mulai ragu dengan penampilannya. "Iya kenapa? Aneh ya?" Dan mereka menganggukan kepala. Adel mengerucutkan mulutnya. "Ya udah deh, aku balik lagi." "Eh bukan gitu, maksudnya lu ... beda banget hari ini." Anton ikut berdiri menahan Adel yang hendak pergi karena kurang percaya diri. "Lo liat aja nih Galang, yang biasanya dia ngiler kalo ngeliat kacang sekarang dia ngiler ngeliat elu," lanjutnya yang membuat Galang berdecak kesal. "Nggak usah minta-minta lagi lu," ancamnya dengan nada rendah lalu kembali ke tempat duduk. "Gitu aja sewot," cibir Anto lalu hendak menduduki tempatnya sebelum akhirnya sepasang tangan menghalangi tujuannya. "Jangan duduk di sini, cari tempat laen!" "Vin, apaan sih lu, kebiasaan dah. Awas gue mau duduk." "Cari tempat laen!" "Kevin!" Dengan gerakan kilat ia menepis tangan itu lalu duduk. "Anton!" Ardan hanya menggeleng pasrah dengan tingkah teman-temannya lalu ia mengarahkan pandangannya lagi pada perempuan yang masih berdiri canggung. "Del." Ia menengok, dengan isyarat tangan Ardan menyuruhnya duduk di sampingnya. Adel pun berjalan mendekati tempat duduk itu. "Bandonya cocok ternyata. Cantik, Del," bisiknya yang dirasa hanya Adel saja yang dapat mendengarnya. Ucapan itu membuat pipi Adel merona, ia menyelipkan sejumput helaian rambutnya ke belakang. *** Keadaan lorong ini tidak terlalu ramai. Dengan menggenggam buku yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan, gadis itu kini tengah berjalan menuju kelasnya. Saat melewati ruang musik, perlahan-lahan langkahnya terhenti. Dentingan piano mengalun dengan merdunya. Dengan keragu-raguan ia menghampiri ruang musik itu dan mengintip ke dalamnya. Permainan yang sangat indah. Rupanya gadis itu dapat mengenal siapa orang yang sudah menciptakan alunan yang memikat. Ia sempat terbuai dalam irama hingga tersentak sadar dan bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah suara menghentikan langkahnya. "Del, bisa bicara sebentar." Adel masih terdiam membelakangi orang tersebut. "Sebentar aja," ucap orang itu lagi. Adel pun membalikkan badannya, dengan ragu ia melangkah mendekati orang tersebut. Laki-laki itu menepukkan bangku di sampingnya isyarat agar Adel mendudukin bangku itu. Setelah Adel mendaratkan bokongnya, laki-laki itu berdeham lalu kembali memainkan tuts hitam putih itu. "Terkadang orang melakukan apa yang ia anggap benar, bukan melakukan apa yang benar. Melakukan apa yang menurut ia baik, bukan yang terbaik untuknya." Ia menarik napas dan mengembuskannya. Berusaha mengontrol emosinya dan bersikap tenang. "Mungkin kalimat 'Mas, nggak mau kamu kenapa-napa' itu terlalu basi, terlalu sering kamu dengar dan pada akhirnya kamu menganggap itu kalimat yang biasa. Tapi yang kamu tidak ketahui adalah makna dibalik kalimat itu. Terdapat makna yang menunjukan bahwa orang itu benar-benar sayang sama kamu, makna yang berarti tidak ingin kehilangan. Kalimat memang terdengar biasa saja jika kamu tidak mengetahui maknanya." Adel mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. "Selama ini Mas merasa kalo cuma Mas doang yang bisa menjaga kamu. Bahkan kamu pun nggak bisa menjaga diri dengan baik. Kamu terlalu polos, terlalu baik dalam menilai orang. Tapi kayaknya asumsi Mas udah salah." Reynald memutar posisinya melihat gadis di sampingnya. Gadis itu balik menatapnya. "Karena kamu ... kamu udah membuktikan itu dari sikapmu kemarin. Maaf karena udah bersikap buruk." Terjadi keheningan yang cukup lama. "Ya." Hanya kata itu yang terucap dari mulut Adel. "A-aku balik ke kelas dulu." Adel bingung harus mengatakan apa dia kikuk berada di dekat Reynald. "Hari sabtu nanti kamu bisa kan ke kafe?" Belum sempat Adel menjawab, Reynald sudah menambahkan. "Ajak teman-teman kamu yang lain juga." Senyum itu akhirnya terukir. "Bisa kok, bisa! Em ya udah aku balik ke kelad dulu ya." Adel pun keluar dari ruang itu. Reynald kembali menatap piano di depannya. Ia sangat lega sudah mengatakan itu. Meskipun jawaban dari permintaan maafnya hanyalah kata "Ya". Setidaknya itu lebih dari cukup, dia benar-benar sudah menganggap Adel sebagai saudara sendiri. Tiba-tiba saja dengan gerakan mengejutkan sebuah lengan memeluk lehernya dari belakang. "Aku udah maafin Mas Rey kok, tapi harusnya Mas juga minta maaf kepada anak yang nakal itu," ia terkekeh karena ucapan terakhirnya lalu pelukan itu terlepas. Pelukan itu terlepas, tetapi sepertinya meninggalkan bekas yang tak dapat dilupakan. Reynald berdebar, debaran yang sangat kencang. *** Seperti perjanjian sebelumnya, sepulang sekolah mereka akan mulai belajar bersama. Awalnya hanya ingin berdua, tetapi teman-temannya yang lain malah mengikuti dari belakang. "Parah banget nih, masa kita nggak diajak," protes Aldi dengan tangan yang disedekapkan di depan d**a. Anton yang berdiri di sampingnya ikut menimpali, "Iya, udah nggak solid lagi." "Ck, emangnya kalo gue ajak lu pada mau ngikut?" tanya Ardan. "Emang kalian pada mau kemana?" Galang balik bertanya. "Belajar," jawab singkat Adel sontak membuat kelima temannya terkejut. "Gila, Dan, lu mau belajar? Seumur-umur baru kali ini gue liat lu mau belajar. Biasanya lu paling anti sama yang berkaitan dengan hal akademis." Aldi menggelengkan kepalanya tak percaya. Diantara mereka berenam yang memiliki otak yang pintar hanyalah Aldi. Aldi si gamers dengan IQ yang tinggi. Biasanya jika ada tugas, mereka akan meminta Aldi untuk mengerjakannya--tentunya sebelum ada Adel. "Lu mau jadi pinter, Dan?" tanya Kevin. "Bagus deh kalo lu nanti pinter, tapi jangan kayak." Dengan isyarat dagu ia arahkan pada Aldi. "Pelit." "Apa lu bilang? Gue pelit?" "Yee, nggak usah ngeles lu, Al. Diantara 25 soal lu cuma mau ngasih tau 3 jawaban doang. Apa coba namanya?" timpal Anton. "Setidaknya gue kasih tau ya. Nggak bersyukur banget sih." Ryan yang sedari tadi diam kini berdehem. "Gue ikut ya, bolehkan?" "Boleh!" "Enggak!" Mendengar jawaban Ardan, Adel mengernyit. "Kenapa nggak boleh?" "Rusuh, Del, kalo ada mereka. Em, kecuali Ryan sih. Ya udah deh boleh, lo aja tapi." Hal itu membuat teman-temannya yang lain protes tidak terima. Empat lawan tiga siapa yang menang? Akhirnya dengan amat sangat terpaksa Ardan pun mengangguk setuju.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN