Tak Tergapai

1004 Kata
"Dinda masih sayang Ardan. Kita bisa balik kayak dulu nggak, ya." Bohong kalau Ardan tidak mendengar suara Dinda. Ia hanya belum siap menjawab. Dinda menggeser satu bangku plastik dan menepuknya. "Sini, Van." Wajah Dinda sekarang ini masih sama seperti saat cewek itu SMP dulu. Mata bulat berpayung bulu mata lentik. Jari tangan yang panjang dengan kuku yang berkilap indah. Kulit kuning langsat serta rambut panjang yang jatuh milik Dinda selalu menjadi favoritnya. Ardan masih tidak tahu sampo apa yang dipakai Dinda hingga rambutnya bisa selembut itu. Yang berbeda dari perempuan itu hanya tingginya, sekitar lima senti lebih tinggi dari Dinda SMP. "Mas Ardan!" Tepukan dari Ivan di pundak Ardan membuat cowok itu terlonjak. "Kok bengong, Mas. Mau pesen apa?" Kelopak mata Ardan mengerjap cepat. Tangannya meraih kertas menu di meja dengan tergesa. "Eungh gue." Matanya berlarian. Telunjuknya bergerak mencari menu yang ia sukai. "Ayam pecel aja." Raut wajah Dinda mengerut bingung. Sikap salah tingkah Ardan terlalu kentara. "Oke, Mas. Saya pesanin dulu," kata Ivan seraya beranjak mendatangi penjualnya. Dalam diam Dinda melirik Ardan yang kini tengah fokus pada layar ponselnya. Mustahil ia dapat bersama dengan cowok itu. Karena nyatanya, Ardan sudah tak tergapai. *** Tak terasa seminggu lagi acara resepsi pernikahan Adel dan Dion. Dinda terpaksa tidur di rumah orang tuanya untuk membantu Adel. Walaupun persiapan pernikahan sudah selesai semuanya. Namun, tetap saja untuk hal kecil seperti mengingatkan Adel untuk makan atau menyiapkan skincare yang akan dipakai cewek itu memerlukan bantuan Dinda. Seperti saat ini Dinda tengah membantu Adel menggunakan masker bengkuang. Setelah melumuri semua wajah Adel dengan masker, Dinda ikut merebahkan diri di samping sahabatnya. "Sebentar lagi kita nggak bisa seenaknya jalan-jalan," gumam Dinda sambil memandangi langit-langit kamar Adel yang sudah dihias. Dinda menoleh saat tangannya ditarik oleh Adel. Sahabatnya itu menggenggam tangannya sambil tetap menatap lurus ke atas. "Jangan sedih gitu dong." Dinda tersenyum, "Enggaklah. Malah seneng. Nanti jangan lama-lama kasih keponakan buat aku—ark SAKIT!!" Adel mencubit tangan Dinda. "Ahaha ampun, eh retak masker kamu nanti!" Adel sudah tidak peduli lagi dengan maskernya. Ia mengejar Dinda yang sudah loncat ke samping tempat tidur. Keduanya tertawa saat masker Adel benar-benar retak. "Sia-sia pake masker gara-gara Dinda!" *** "Mba Dinda cantik banget hari ini," puji Ivan kala Dinda keluar dari rumahnya. Pukulan melayang ke bahu Ivan. "Nggak usah ngeledek." Ivan menggeleng. "Nggak kok. Bener cantik," katanya meyakini. Ivan menyodorkan helmnya kepada Dinda. "Tapi Mba nggak apa-apa naik motor gini? Udah dandan cakep cakep." "Gue bawa peralatan mekap, di sana bisa gue poles lagi kalo kurang." Raut ragu Ivan tercetak jelas. Matanya bergerak seperti berpikir. "Ayo. Keburu telat. Akadnya bentar lagi dimulai." Dinda menempatkan bokongnya di jok motor Ivan. Cowok itu lantas mengangguk cepat sambil mengegas motornya. Melaju menuju acara resepsi pernikahan Adel. Sebenarnya Dinda berharap banget kalau yang mengajak ini adalah Ardan. Namun, sayangnya cowok itu sama sekali tak menghubunginya. Dinda meringis dalam hati. Bodoh. Masih saja ia mengharapkan sesuatu dari Ardan. *** "Adel cantik banget!" puji Dinda antusias. Penampilan Adel cukup simpel, tapi elegan. Tubuh ramping Adel dibalut dengan kebaya putih. Rambutnya dikonde dengan sisi kanan kiri di sisakan sedikit untuk terurai. "Kamu juga. Mau ngalahin aku ya?" goda Adel. Dinda terkekeh. Matanya berganti ke Dion. "Selamat, Dion!" "Makasih, Din. Nyusul cepet." "Lo kira lomba lari main nyusul-nyusul aja." Dion tergelak karena gerutuan Dinda. Tawanya berhenti saat ia menyadari sosok lain di belakang Dinda. "Siapa tu, Din?" Dinda baru tersadar dengan keberadaan Ivan di belakangnya. "Oh, iya. Ini Ivan. Pegawai barunya si Ardan." "Owh, iya bener kemarin Ardan bilang mau nitip undang satu pegawainya lagi," tambah Adel. Adel mengulurkan tangannya ke Ivan. "Semoga betah ya kerja sama Ardan. Makasih juga udah dateng." Ivan melebarkan senyumnya. "Iya, Mba. Mas Ardan baik kok. Selamat, ya Mba Adel, Mas Dion," kata Ivan sambil menyalami Dion. "Thanks, Van. Kalian langsung makan sana nanti kehabisan." "Dih, parah, sih, kalau kehabisan, mah," kata Dinda sambil berpura-pura cemberut. "Haha, nanti aku beliin nasi warteg," kelakar Adel. Dinda tertawa merespon bercandaan Adel. Kemudian ia bersama Ivan berjalan menuju tempat hidangan makanan. Saat itu mereka berpapasan dengan Ardan. Dinda sempat terperangah dengan penampilan Ardan saat ini. Tuksedo yang dipakainya, serta rambut tebalnya yang ditata rapih tidak acak-acakan seperti biasanya, menambah ketampanan cowok itu. Garis rahang Ardan yang tegas membuatnya menjadi pusat perhatian saat cowok itu lewat. "Mas Ardan, dari tadi saya cariin," ucap Ivan. "Bukannya chat gue kalo dateng," balas Ardan sambil menjabat tangan Ivan. "Oh, iya, lupa, Mas." Tangan Ardan terentang ke arah deretan sajian makanan. "Ambil makan dulu deh." "Siap, Mas!" seru Ivan semangat. Cowok itu langsung ikut mengantri mengambil makan. Dinda masih terdiam di tempatnya. Ardan sama sekali tidak menegurnya. Cewek itu mendengkus entah sudah berapa kali ia memaki diri sendiri karena masih belum sadar diri. Dinda berbalik dan mengikuti Ivan dari belakang. Di tempatnya, Ardan melirik Dinda yang tengah memilih makanan. Jujur, perempuan itu sangat cantik hari ini. Dress berwarna salem yang bagian bahunya terbuka dengan tatanan rambut yang hanya diberi jepitan di sisinya. Ardan mengembuskan napasnya lewat mulut. Kalau begini caranya, bisa-bisa ia mengkhianati tekadnya. Dengan rasa belum puas melihat Dinda, Ardan memutuskan matanya dari perempuan itu. Dari meja tempat bundanya duduk, wanita paruh baya itu melambai kepadanya. Ardan menunjuk diri sendiri memastikan bahwa memang dia yang dipanggil. Bunda mengangguk. Dengan langkah lebar Ardan lekas mendekati bundanya. "Dan, kenalin. Ini anaknya temen kerja Bunda dulu. Namanya Rifa." Ardan melihat perempuan yang ditunjuk bundanya. Ia mengulurkan tangan untuk menjabat perempuan itu. "Ardan," ucap cowok itu memperkenalkan diri. "Rifa," balas Rifa. "Nah ini Tante Nia temen Bunda." Hal yang sama Ardan lakukan kepada Nia. Setelah berkenalan, Bunda mempersilakan Nia dan anaknya mendatangi Adel. "Parah Bunda, bukannya ke Adel dulu, malah ke Arfa," bisik Ardan. "Adel mah udah kenal Tante Nia," jelas Bunda. Ardan mengangguk singkat karena penjelasan singkat Bunda. Baru saja ia hendak pergi ke tempat yang lain. Tangan Bunda sudah menahan lengannya. "Nanti ke sini lagi ya." Dahi Ardan mengerut bingung. "Pas Tante Nia sama anaknya ke sini. Kamu ke sini juga." Ardan terdiam untuk sepersekian detik. Semoga saja apa yang berusaha ia tebak tidak benar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN