Tak Ada Harapan

1006 Kata
Dunia terasa berhenti saat ia melihat pemandangan di hadapannya. Suara di sekitarnya terasa menjauh. Yang ada dalam fokusnya hanyalah sosok lelaki yang masih ada di hatinya dengan perempuan yang tak ia kenali. Sebuah tarikan di lengannya menyentak Dinda. Reflek Dinda kembali menarik lengannya. Terlihat raut bingung dari Ivan. "Ayo, Mba, keburu didudukin orang mejanya." Dinda mengerjap cepat. Sadar kalau dari tadi dia dan Ivan memang tengah mencari tempat duduk. Ia mengangguk cepat dan mengambil langkah lebar menuju meja kosong yang ditunjuk Ivan tadi. "Mba Dinda tadi bengong?" Wajah polos Ivan bertanya. "Ah!" Ia menyelipkan anak rambut di belakang telinga. "I-iya, tadi tiba-tiba kepikiran udah nutup pintu rumah apa belum." "Itu aja?" Ekspresi cowok itu berubah. Ia tertawa. "Udah, Mba. Tadi aku liat. Masih muda udah lupa. Hahaha!" gelaknya sampai mata cowok itu tak terlihat. Kalau diperhatikan, Ivan memang memiliki mata yang sipit, kulit putih, dan bibir yang merah. Dinda yakin cowok itu tidak kenal rokok. "Kamu minggu gini ke undangan orang, pacar nggak ngambek?" Ivan cepat bergeleng. Menepis pertanyaan Dinda. "Enggak punya pacar aku, Mba," katanya diakhiri dengan senyumnya yang melebar. Satu ciri khas Ivan. Anak itu murah senyum. "Masa?!" Dinda benar-benar terkejut. Bukan bercanda. Memang ia tidak percaya. Orang se-good looking Ivan jomblo? Kepala cowok itu bergerak ke atas ke bawah. Membuat poninya ikut bergerak. "Emang kenapa, Mba?" "Ya, aneh aja. Itu ditolak atau emang nggak pernah nembak cewe." "Aku terakhir nembak cewek kelas enam SD," aku Ivan membuat tawa Dinda membuncah. Membayangkan anak berseragam putih merah mengungkapkan rasa suka membuat Dinda geli sendiri. "Serius, Mba." Nadanya terdengar kesal. "Iya maaf, maaf. Abisnya nggak nyangka banget. Kelas enam SD udah berani nembak cewek. Terus gimana? Diterima?" "Ditolak," jawab Ivan singkat lalu menyuap makanannya. Jelas membuat Dinda tertawa lagi. "Mba," desis Ivan. Dinda mengangkat kedua tangannya. "Maaf, keceplosan." Air matanya sampai keluar karena tertawa. "Terus abis itu trauma nembak cewek?" tebak Dinda. "Iya. Dulu aku culun banget kayaknya. Udah ditolak pake dikatain lagi sama ceweknya." Pupil Dinda membesar. Untung saja makanannya belum masuk mulut karena tanpa ia sadari mulutnya ikut terbuka. "Ekspresinya gitu banget, Mba." Mata Dinda lantas menutup lalu bergeleng cepat. "Seriusan dikatain?" tanya Dinda saat matanya membuka lagi. "Iya. Dibilang krempeng. Katanya muka aku kayak orang bego." "Emang orang b**o diliat dari muka apa." "Namanya juga pikiran bocil, Mba." Jari Dinda menjentik. "Itu dia. Kan itu bocil yang ngomong lupain aja. Kenapa malah trauma?" "Enggak trauma sebenernya. Cuma setiap aku mau nembak cewek jadi mikir takut bukan kriterianya." Tangan Dinda mengibas. Sambil mengunyah, cewek itu kembali berkata, "Siapa tau ada cewe yang berharap kamu tembak, tapi nggak kamu tembak sampai sekarang. Jangan buat rumit gitulah." Ivan hanya tersenyum, tidak membalas ucapan Dinda dan kembali menghabiskan makanan di piringnya. Entah, dia tidak punya feelling sama sekali apakah perempuan yang ia suka balik menyukainya. Dan Ivan tidak mau mengulangi rasa sakit ditolak seperti yang ia rasakan dulu. Dinda beberapa kali mencuri pandang pada Ardan dan perempuan di sebelahnya. Sakit. Sudah jelas. Nafasnya terasa berat saat melihat itu. Berbagai dugaan berkecamuk di kepalanya. Berbicara dengan Ivan dan tertawa seperti tadi setidaknya membuat Dinda melupakan sesak yang ia tengah rasakan. "Itu pacarnya Mas Ardan? Cantik, ya," komentar Ivan saat melihat Ardan. Dinda terdiam. Suaranya tercekat di tenggorokan. Akan terdengar bergetar jika ia menjawab Ivan. Untuk itu ia hanya bergeleng sambil melempar penglihatannya ke piringnya. Dinda menyuap makanannya dengan lahap, yang ia pikirkan saat ini hanya satu. Ia ingin cepat menghabiskan makanannya dan segera pulang. *** Ardan menyapu pandangannya ke seluruh aula hotel. Semenjak dipanggil Bunda, ia tak melihat Dinda dan Ivan. Tidak mungkin mereka berdua akan pulang tanpa bertemu dengannya dulu. Mau bertanya kepada Adel, Ardan urung. Bukannya mendapat jawaban. Ia akan habis digodai oleh adik ceweknya itu. Namun, rasa penasarannya membuat ia pada akhirnya mengirim pesan kepada Ivan. Udah pulang, Van? From: Ardan Udah, Mas From: Ivan Ardan berdecak kesal. Balasan Ivan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Kok ga nemuin gue dulu? From: Ardan Maaf, Mas, tadi saya nyari Mba Dinda sampe keluar gedung terus jadi lupa sama Mas Ardan. Maaf, ya, Mas. Maaf banget. Tolong sampaikan maafku juga ke adiknya Maa Ardan, ya From: Ivan Dinda? Emang dia ke mana? From: Ardan Nggak tau Mas. Kayaknya dia pulang sendiri tadi. Saya pas ngambil kue balik ke meja dia udah nggak ada. Tapi tadi saya udah chat katanya dia udah pulang From: Ivan Ardan membaca pesan dari Ivan dengan tanda tanya besar di kepalanya. Ada apa? Tidak mungkin Dinda tiba-tiba pergi jika tidak ada masalah. Namun, mustahil jika Ardan bertanya langsung kepada cewek itu. Setelah memasukkan ponselnya ke saku celana, Ardan berjalan keluar gedung menuju parkiran. Besok ia harus mulai bekerja. Tadi ia sudah izin pulang duluan kepada bunda dan papanya. Dengan rasa penasaran yang amat besar, Ardan berusaha menahannya dalam hati. Ia tidak akan melewati batas. Setidaknya sampai detik ini, Ardan masih bisa bertahan dengan prinsipnya. *** Ardan tidak menyangka bahwa perempuan yang dari tadi ia cari berada di teras rumahnya. Tengah menunduk sambil berjongkok. "Lo mabuk lagi? Gue kan udah bilang—" "Gue nggak mabuk, Dan. Gue masih sadar." Ardan tersentak. Suara Dinda terdengar bergetar. Cewek itu mendongak. Terlihat bekas air mata di pipinya. Bahkan eyeshadow sampai luntur hingga membuat mata Dinda menghitam. "Lo tau kan gue masih suka sama lo? Tapi kenapa lo terus-terusan ngedorong gue? Capek, Dan. Pura-pura nggak ada apa-apa. Pura-pura nggak suka lo. Capek, Ardan." Sebulir air mata menyembul dari kelopak mata Dinda. "Apa nggak ada lagi kesempatan buat gue?" Mata mereka bertabrakan. Mata yang masih sama seperti dulu. Tangan Ardan mengepal kencang. Ingin rasanya ia berlari dan memeluk tubuh ringkih itu. Namun, sekali lagi. Ia masih bisa menahan itu. Ia masih berada dalam prinsipnya. Maka dari itu, meskipun dengan susah payah. Walaupun tenggorokannya terasa kering. Ardan tetap memaksa berbicara. Menyampaikan garis yang jelas kepada Dinda. "Hubungan kita udah berakhir, Din. Gue mohon. Jangan berharap sama gue." Ardan harap ucapannya itu tidak terlalu menyakiti perempuan di depannya. Ardan harap setelah ini Dinda melupakannya dan Ardan harap ia tidak akan menyesali perkataannya malam ini. Ardan harap sanggup memegang prinsipnya sampai akhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN