Pegawai Baru

1008 Kata
Perdebatan tadi malam berujung pertengkaran kecil sekarang. Dinda dan Ardan sama sekali tidak saling tegur. Bahkan Ardan berangkat kerja duluan, padahal Bunda sudah menyuruhnya berangkat bareng Dinda. "Kalian berantem?" bisik Adel. Dinda melirik ke luar rumah, Ardan tengah mengeluarkan motornya. "Ya, gitu. Kegep lagi ngeliatin aku. Terus marah." Penjelasan Dinda jelas membuat tawa Adel membuncah. Dinda lanjut menggunakan pantofelnya sambil menunggu Adel mengambil kunci mobil. "Kekanak-kanakan banget Ardan, gitu aja marah." Bola mata Dinda memutar. Helaan napas lolos dari bibirnya. Bagaimana nanti saat mereka bertemu di toko. Dinda yakin dia akan dicueki abis-abisan. Atau cowok itu akan menyuruhnya ini itu. "Ayo, Din. Berangkat!" ajak Adel sambil menggoyang-goyangkan kunci mobil di tangannya. *** "Makasih, Adel!" Dinda melambaikan tangannya pada Adel. Adel membunyikan klakson untuk meresponnya, lalu menjalankan mobilnya pergi menjauh. Seperginya Adel, Dinda mengayunkan kakinya menuju toko Ardan. Pelipisnya menyatu melihat satu orang laki-laki yang sudah duduk di balik meja kasir. Tak menyadari kehadiran Dinda, laki-laki yang diperkirakan seusia dengannya itu tengah menulis sesuatu di meja kasir. "Ivan, nanti lo coba ngisi rak kosong di sana." Ardan keluar dari ruang kerjanya dan memanggil lelaki itu. Mata Ardan dan Dinda bertemu. Ekspresi kesal cowok itu masih ada. Namun, karena ingin bersikap profesional Ardan tetap menegur Dinda. "Din, ini partner kerja lo yang baru namanya Ivan. Van, ini Dinda," ucap Ardan memperkenalkan mereka berdua. "Oh, iya, Van, kalau ada yang nggak paham ke ruangan gue aja, nanya." Lelaki bernama Ivan itu mengangguk. "Siap, Mas." Setelah mengatakan itu Ardan berlalu. "Mba Dinda silakan duduk." Ivan bangkit dari duduknya. Dan mempersilakan Dinda duduk. "Nggak usah pake mba, panggil Dinda aja," koreksi cewek itu. "Saya lebih muda dua tahun dari Mba. Nggak enak, ah, pake Mba aja biar sopan." Mulut Dinda membulat membentuk huruf o. Seorang pembeli datang. Membuat percakapan antara Dinda dan Ivan terputus. Ivan hanya tersenyum tipis lalu mulai mengerjakan apa yang Ardan suruh. *** Keberadaan Ivan sangat membantu Dinda. Ia yang biasanya harus mengerjakan semua sendirian, dengan adanya Ivan ia hanya mengerjakan setengahnya. Tidak ada peraturan pasti apa-apa saja yang harus dilakukan Dinda atau Ivan. Ivan mempunyai inisiatif sendiri untuk melakukan pekerjaan yang sedikit berat seperti mengepel lantai dan mengangkat kardus-kardus dagangan. Pada awalnya, Dinda merasa Ivan adalah orang yang membosankan. Namun, setelah mereka berinteraksi beberapa kali, dan saat itu tak jarang Ivan melayangkan guyonan. Ketika itulah Dinda merasa bahwa Ivan orang yang seru juga. Seperti saat ini, keseruan Dinda dan Ivan yang tengah membicarakan salah satu jalan cerita drakor membuat keduanya tidak menyadari kalau Ardan sudah memanggil mereka. "Nggak kebayang sih, aku kalau misal Mba Dinda ini ternyata jiwanya cowo. Ahahah!" kata Ivan sambil mengepel lantai "Iya, terus kira-kira cowo yang suka sama aku bakalan nyesel atau enggak, ya?" Dinda yang tengah mencatat serta memilah produk kadaluarsa, ikut berkelakar. "Yang jelas sih atasan kalian yang akan nyesel karena pegawainya pada nggak denger," celetuk Ardan yang berdiri di ujung rak. Ivan yang tengah mengepel lantas mendongak dan berlari menghampiri Ardan. Cowok itu berdecak kala menyadari lantai yang baru ia pel sudah tercetak cap sepatunya. "Maaf, Mas. Ada apa?" tanya Ivan kepada Ardan. "Sebentar lagi produk minuman bakalan dateng, stand by aja. Nanti dikasih nota, tinggal tanda tangan." Ardan memberikan instruksi singkat. "Oiya. Jangan keasyikan ngobrol nanti kerjaannya nggak kelar." "Siap, Mas." Ivan menunduk sopan. Embusan napas terdengar oleh Dinda kala Ardan sudah tenggelam di pintu ruang kerjanya. Suara tawa lolos dari bibir Dinda. "Kok ketawa Mba? Itu Mas Ardan marahnya serem juga, ya. Nggak ngamuk sih, tapi auranya." Ivan bergidik. Jujur, bulu kuduknya meremang saat tadi ia berhadapan dengan Ardan. "Nggak apa-apa. Lucu aja liat kamu tegang banget. Santai aja. Ardan emang tegas gitu." Ivan mengangguk paham. Ia lantas kembali mengepel lantai yang barusan ia injak. "Mana ini jadi kotor lagi." "Hahaha! Makanya jangan panik kayak tadi." *** "Mba, pulang bareng nggak? Rumahnya di mana?" "Di perumahan permai. Kamu?" "Wah, beda arah. Dari lampu merah kalau Mba kan belok kanan, aku belok kiri." "Yahh, gagal dapet tumpangan gratis," desah Dinda pura-pura kecewa. "Hehe, makan bareng aja gimana? Kita kan belum makan malam nih," ajak Ivan sambil mencangkelkan ranselnya. Dinda yang tengah merapikan kertas kuitansi di atas meja menoleh sekilas. "Makan apa?" "Pecel lele yang di deket lampu merah. Nanti dari situ baru misah kita." Dinda bergumam, menimbang ajakan Ivan. Saat ia sedang berpikir seperti itu, Ardan keluar dari ruang kerjanya. Reflek Dinda memanggil cowok itu. "Mau ikut makan malam nggak?" Ivan jelas melongo. Tidak menyangka Dinda akan berani mengajak atasan mereka. Tanpa ia tahu bahwa Dinda dan Ardan sudah kenal lama. Dinda juga tercenung dengan dirinya sendiri. Dari mana keberanian yang ia punya ini untuk mengajak mantannya makan bersama. Dinda sudah mempersiapkan hati jika Ardan menolak ajakannya. "Di mana?" Tak diduga. "Di lampu merah. Kalau Mas Ardan nggak suka tempat kayak gitu nggak apa-apa," jawab Ivan. "Boleh!" tukas Ardan. Membuat mata Dinda sukses melebar. Ardan? Menerima ajakan makan malam dia? Seperti mencari kesempatan dalam kesempitan Dinda sudah mendekati Ardan dan berkata ingin menumpang di motornya. Padahal Ivan sudah menawarkannya. "Nggak apa-apa, Van. Kebetulan rumah aku sama Ardan satu arah, cuma beda perumahan aja." Mau tidak mau Ardan menyetujui permintaan Dinda. Hanya karena ia tidak ingin dicap sebagai atasan yang buruk di depan Ivan. "Masih marah?" Dinda bertanya saat tengah menggunakan helm. Ardan yang sudah berada di jok menggeleng. "Marah apa?" "Tadi malem," jelas Dinda singkat sambil meraih bahu cowok itu untuk menaiki motor Ardan yang tinggi joknya seperti menaiki bukit. "Tadi malem ngapain emang?" Kebiasaan. Dinda memutar matanya malas. Kalau Ardan sudah membolak-balikan kalimatnya seperti ini tandanya cowok itu tidak mau membahasnya lagi. Ivan melajukan motornya lebih dulu. Ardan mengikutinya dari belakang. Karena posisi duduk Dinda, mengharuskan cewek itu memeluk Ardan dari belakang. Cewek itu menempatkan pipinya di punggung Ardan. Hal yang sering ia lakukan dulu. "Kangen masa dulu, Dan." Entah, karena suara angin malam yang berembus. Suara Dinda sepertinya tidak terdengar oleh cowok itu. Mata Dinda bergerak ke kiri dan kanan. "Dan?" Ardan tidak membalas. Mungkin memang cowok itu tidak mendengarnya. Yakin Ardan tidak mendengar ucapannya, Dinda kembali bergumam. "Dinda masih sayang Ardan. Kita bisa balik kayak dulu nggak, ya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN