Hujan dan Ketenangan

1082 Kata
Adel dan Ardan kini sedang berjalan bersisian di pelataran toko. Mereka melangkah memasuki toko buku. "Gue yakin seratus persen kalo yang lain tau gue ke tempat ini mereka bakal ngetawain gue tujuh hari tujuh malam." Ardan bergumam sambil menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru isi toko. Adel terkekeh mendengar ucapan Ardan. Mereka mulai menelusuri rak-rak buku itu, mengambil salah satu buku untuk dibaca judulnya lalu dikembalikan lagi. "Apa yang lo suka dari buku?" Ardan kembali bertanya ketika melihat Adel yang sedang sibuk membaca salah satu novel biografi. "Kamu tau, istilah 'Buku itu jendela dunia'? Ada banyak hal yang bisa kamu dapatkan dari buku," ucap Adel dengan masih memusatkan pandangannya pada novel itu. "Nggak bosen?" Kini Adel beralih menatap Ardan. "Jika kamu menginginkan sesuatu, apa yang kamu lakukan?" Alis Ardan terangkat, tampak bingung dengan jawaban Adel yang malah balik bertanya. "Yaaa, di cari." "Itu yang aku lakukan ketika aku membaca buku. Aku lagi menginginkan sesuatu dan aku harus mencari untuk mendapatkannya." Adel melebarkan senyumnya, lalu kembali menancapkan netranya pada deretan kalimat. Untuk menghilangkan suntuknya Ardan mondar-mandir di depan Adel. Sesekali ia mengambil buku di rak. Membukanya beberapa halaman dan menutup kembali. Tidak tertarik. Lalu mengembalikan buku itu lagi ke dalam rak. Matanya melirik Adel yang masih belum berganti posisi. Masih asyik dengan wajah menunduk. "Masih lama ya?" tanya Ardan tidak tahan. Adel mendongak. "Kalo kamu mau pulang, pulang aja. Lagian kan tadi aku dah bilang kamu bakalan bosen di sini." "Eh, enggak-enggak!" Ardan buru menggeleng. "Aku nggak akan ninggalin kamu di sini," kata cowok itu sambil menyedekapkan tangannya. Gerakan tangan Adel saat ingin mengganti halaman terhenti. Ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengatakan, "Aku-kamu?" Ardan mengerjap. "Hah? Apa?" "Tadi Ardan bilangnya 'aku-kamu'?" tunjuk Adel menyudutkan cowok itu. Ardan tergagap, pasalnya ia tidak menyadari ketika mengatakan itu. "Kapan gue ngomong." Mata Ardan berkeliling menghindari mata Adel. "Salah denger kali lo." Adel menggeleng keras. "Aku belum b***k dan aku denger je-las." Ia mengulum senyumnya. "Kok aku-kamu sih, Dan?" goda Adel. "Ini gara-gara elo, Del," sanggah Ardan. Kening Adel mengernyit. "Kok aku?" "Iya, lo ngomongnya 'aku-kamu', gue kan jadi ngikutin," gerutu Ardan sambil berlalu. Adel hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Ardan yang menurutnya aneh. Di salah satu bangku panjang di dalam toko itu Ardan duduk dengan merutuki diri sendiri karena sikapnya. "Alesannya nggak logis banget, ah elah kapan sih gue logis? Dengan suka sama dia aja udah nggak logis menurut gue." Ardan masih berceloteh sendiri tanpa menyadari sedari tadi ada yang mememperhatikan ia yang kini tengah mengacak-acakan rambut "Ardan!" Ardan mendongakkan wajahnya. "Ayo, pulang." "Del, selama itu kita muter-muterin rak buku. Cuma satu doang yang lo beli?" Adel merenggut. "Uang aku cukupnya buat beli satu doang." "Ya ud—" "Ayo, pulang, tadi udah nggak betah kan?" Adel langsung menggamit telapak tangan laki-laki itu. "Lagian kita harus belajar buat besok." "Iya, sayang." Adel memutarkan kepalanya dengan cepat. Ardan tersenyum menggoda melihat wajah memerah Adel. "Ardan! Ih!" Adel berjalan duluan dengan menghentak-hentakan kakinya salah tingkah. Di belakangnya Ardan sudah tertawa melihat tingkah lucu gadis itu. Pasalnya Adel lebih baik dibilang aneh, jelek, cupu, atau apalah ejekan Ardan yang lain dibandingkan mendapatkan kata-kata manis dari Ardan. Kalimat sederhana yang sering diucapkan orang akan menjadi sesuatu yang 'wow' jika diucapkan Ardan, cowo dengan tingkat kejailan yang tinggi yang tidak pernah berkata manis kepada perempuan. *** "Kita mampir makan dulu, ya, Del," ujar Ardan yang tengah mengendarai motor andalannya. "Tadi di kantin udah makan juga." Adel tidak habis pikir dengan kapasitas lambung Ardan yang sepertinya tidak pernah penuh. "Itu, kan, tadi bukan sekarang." Kini mereka sudah berhenti di salah satu rumah makan padang favorit Ardan. Setelah menyampaikan pesanannya, Ardan dan Adel kini sedang duduk manis di salah satu tempat duduk pilihan Ardan—yang dekat kipas. "Udah makan tapi ikutan mesen," cibir Ardan kembali mengejek Adel. Seperti biasa, Adel tidak akan menjawab hanya mencebikkan mulutnya kesal. Tidak beberapa lama, makanan pesanan mereka datang. "Kita nggak challenge lagi, nih." Ardan yang hendak menyuapkan makanan ke mulutnya terhenti di udara. Adel memandangnya dengan senyum mengejek. "Jangan coba-coba ngejek gue. Nanti gue bales lo baru tau." "Siapa yang ngejek? Aku cuma nanya," jawab santai Adel dengan masih mempertahankan senyum jailnya. "Nggak usah senyum-senyum gitu, kayak badut ancol." Adel langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi ekspresi kesal. "Dasar!" Lalu ia melempar selembar tisu yang telah digumpalkan. "Eh-eh nyampah." Telunjuk Ardan mengarah ke tisu dan muka kesal Adel. "Wah, gue bilangin bapaknya." "Bodo!" Ardan tertawa geli melihat Adel yang menyuap makanannya kesal. *** Setelah menyelesaikan makanan mereka dengan dibarengi keributan kecil, kini mereka kembali harus bertengkar karena harus kejebak hujan. "Ardan, sih, pake makan dulu. Kalo dari tadi kan enak, nggak kejebak hujan. Pasti sekarang aku lagi selonjoran di kasur." "Ye, yang makannya lama siapa coba? Gue udah selesai makan itu belum hujan. Kalo lo makannya nggak lama dari tadi juga gue udah pulang," balas Ardan tidak mau kalah. "Ya, kan, emang ngunyah itu harus lama. Emangnya kamu makan nggak dikunyah!" sungut Adel. Tangannya berada di pinggang menunggu jawaban dari Ardan. Ardan tidak menjawab lebih memilih duduk di bangku panjang yang berada di depan rumah makan. Adel mengikuti gerakan Ardan dari belakang. "Nggak baik kalo lagi hujan malah berantem," ucap Ardan tenang. Adel mengerutkan dahinya. "Kenapa?" Ardan melirik Adel sebentar sebelum ia merogoh sesuatu dalam kantung jaketnya. "Karena hujan itu membawa ketenangan." Cowok itu memantik rokoknya. "Bahkan dia meredamkan suara pertikaian. Coba aja kita berantem, nggak akan kedengeran karena suara hujan," kata Ardan sambil mengembuskan asap rokoknya. "Itu tanda kalo hujan itu membawa kedamaian," jelas cowok itu. "Baru denger teori kayak gitu," kata Adel sambil ikut duduk di samping Ardan. "Karena gue baru ngomong." "Ya-ya-ya." Sejujurnya Adel risih melihat Ardan melakukan itu. "Kamu bisa berhenti itu nggak?" Ardan menoleh, memahami maksud perkataan Adel, ia menggeleng. "Nggak bisa. Susah, Del. Serius." Adel terdiam. "Perhatian banget sih. Ngelarang ngerokok karena itu bisa bikin kamu sakit," ucap Ardan diiringi tawa kecil. "Bukan itu. Yang sakit itu aku bukan kamu. Perokok pasif lebih bahaya dari aktif kalau kamu lupa." Tawa Ardan berhenti. Ia berdecak. "Iye iye, nih gue matiin." "Pede banget, sih, kamu ahaha!" Adel tertawa melihat muka menekuk Ardan. Tidak menyangka bahwa Ardan akan berpikiran ke situ. "Makin lama kok lo makin ngeselin sih, Del?" "Kamu duluan gitu, aku cuma ngebales," kata Adel sambil melempar pandangannya kepada tetesan air di depannya. Ardan memiringkan wajah menatap lekat gadis di hadapannya yang tengah melihat ke arah hujan yang turun. "Berarti kalo gue sayang sama lo, lo bakal ngebales juga dong?" Adel memutar wajahnya dengan cepat melihat Ardan yang kini sedang menatapnya dalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN