Keluarga Baru

1195 Kata
Dinginnya malam, langit yang menggelap hanya bercahayakan bulan adalah teman dari pemuda yang kini sedang menghisap putung rokoknya yang ia selipkan diantara jari tengah dan telunjuk, sedangkan tangan yang satunya memegang botol alkohol dan sesekali meneguknya. Baru saja ia merasakan kebahagiaan tapi tidak lama dari itu kesedihan kembali datang padanya. Kebahagiaan menurutnya hanyalah seperti mimpi, datangnya hanya sebentar. Sedangkan dalam dunia nyata? Dia sekarang sedang berada di pinggir jalan tepatnya di dalam mobil yang ia biarkan bagian jendelanya terbuka untuk mengeluarkan asap rokoknya itu. Dia tidak ingin pulang sekarang, tapi dia bingung ingin ke mana. Mungkin mengunjungi salah satu rumah temannya adalah hal yang tepat. Baru saja ia menyalakan mesin mobilnya, kepalanya terasa sangat pusing. Namun, dia harus tetap menjalankannya, untung saja kondisi jalan pada saat itu tidak ramai. Ardan masih cukup sadar untuk tidak mengendarai mobilnya dengan kecepatan maksimal. Mobil dari arah berlawanan berjalan di jalur kanan, entah pengemudi itu sama maboknya. Namun, setidaknya Ardan masih cukup sadar untuk mengendarai mobil sesuai jalur, Ardan membantingkan setirnya ke arah kiri, alhasil mobilnya menabrak pohon. Tabrakan itu tidak cukup keras tapi mampu merusak kap depan mobil Ardan. Setelah itu ia tidak tau apa-apa lagi. *** Ardan terbangun dari tidurnya, bukan, lebih tepatnya dari pingsannya. Entahlah yang jelas dia sudah terbangun. Hari sudah siang terlihat dari cahaya matahari yang masuk melewati celah gordennya. Bukan gordennya, itu bukan gorden kamarnya. Lalu dia melihat sekeliling ruangan itu ternyata bukan hanya gorden tapi ruangan ini pun bukan ruang kamarnya. Lalu ini di mana? Ardan masih sangat pusing untuk memikirkan apa yang telah terjadi pada dirinya sehingga ia berada di tempat asing ini. Kepalanya sangat berat diangkat padahal dia hanya ingin mendudukan tubuhnya. “Kamu udah bangun? Tiduran dulu Ardan, kamu masih pusing, 'kan?” Suara itu, pemilik suara itu yang membuat dia sangat nyaman. Apakah dia mimpi? Karena kebahagiaannya itukan hanyalah mimpi. Tapi pada saat dia melihat dengan jelas siapa orang yang sekarang tengah tersenyum padanya sambil memegang nampan berisi bubur dan s**u yang kemudian dia taruh di atas nakas di samping tempat tidur. “Tante? Tante yang bawa saya ke sini?” “Iya," jawab Bu Ratna, ya, orang yang sekarang tengah tersenyum teduh itu adalah Bu Ratna, bundanya Adel. “Nah, sekarang kamu makan dulu.” Saat Ardan ingin meraih mangkuk berisi bubur itu tiba-tiba saja kepalanya sakit dan akhirnya Bu Ratnalah yang mengambilnya. “Biar Tante yang suapin.” “Gak usah, Tan,” tolak Ardan. “Kepala kamu masih sakit itu loh. Udah biar Tante aja." Pada akhirnya Ardan mau untuk disuapi Bu Ratna. Terjadi keheningan yang sangat lama. Hanya terdengar suara dentingan dari sendok dan mangkuk yang bersentuhan. Saat suapan terakhir, Bu Ratna melihat lekat-lekat pemuda yang ada di hadapannya ini. “Ada apa, Tan?” tanya Ardan menyadari bundanya Adel yang sedang memandanginya. “Kamu ... Gak pulang begini, apa gak dicariin?” Bu Ratna akhirnya mengeluarkan suara. “Siapa yang mau nyariin aku, Tante, Papa jarang ada di rumah, sekalipun ada paling pembantu saya." Ardan mencoba untuk bergurau. Bu Ratna tau bahwa Ardan tidak tinggal bersama ibunya, Adel yang menceritakannya. Tapi tentang alasannya kenapa, Adel tidak tau. Sebenarnya Bu Ratna ingin sekali menanyakan masalah apa yang anak ini alami, tapi ia urungkan karena dia merasa tidak sepantasnya menanyakan itu. “Adel, beruntung, yah, punya ibu. Apalagi ibunya itu kayak Tante." “Kalo kamu mau.. Kamu bisa menganggap saya ibu kamu juga." Awalnya Bu Ratna ragu mengatakan itu tapi dia tetap mengatakannya. Dia paham untuk anak seusianya itu sangat perlu sekali perhatian dan bimbingan dari orang tua. Dan bu Ratna tidak keberatan untuk memberikan perhatian dan bimbingan itu kepada anak selain anaknya. “Maksud tante?” “Yah l, kamu bisa manggil saya Bunda, menganggap saya ibu kamu jadi kalo ada masalah mau itu besar ataupun kecil kamu harus cerita sama saya. Seperti Adel yang selalu menceritakan segala hal kepada tante. Kalo kamu mau." Ardan hanya memandang wanita yang berada di hadapannya ini, terdapat ketulusan di matanya pada saat ia mengatakannya tadi. Ardan sempat bingung kenapa wanita ini tidak memarahinya karena dia adalah anak remaja nakal yang berteman dengan anaknya. Ardan pikir wanita ini akan menyuruhnya menjauhi putrinya itu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, dia menyuruh Ardan menganggapnya... Ibu. Bukannya menjawab Ardan malah berhambur dalam pelukan bu Ratna. Di sana, di pelukannya untuk pertama kalinya ia merasakan kehangatan seorang ibu. Setelah beberapa saat, Ardan meregangkan pelukannya dan menatap wajah wanita di depannya ini. “Tante, yakin?” Bu Ratna menjawabnya dengan anggukan. “Terima kasih, Tan, terima kasih.” “Berarti kamu harus janji jika punya masalah tempat yang pertama kali kamu kunjungi adalah tante." “Iya, Tante, saya janji,” ucapnya yakin. “Dan satu lagi, jangan panggil tante tapi bunda.” “Bunda.” Ada perasaan lain ketika ia mengatakan satu kata itu. Hangat. Itulah yang ia rasakan. *** Adel sedang bersiap-siap ingin pergi ke rumah Dion. Mengerjakan tugas bahasa Indonesianya itu. Ia mengetahui bahwa di rumahnya sedang ada Ardan. Tadi malam saat ibunya pulang dari rumah neneknya ia terkejut karena bundanya membawa Ardan sedang dalam keadaan kacau. Dia membantu bunda menggotong Ardan ke kamar tamu, tercium bau alkohol dan asap rokok di tubuhnya. Mobil bagian depannya pun penyok seperti habis menabrak sesuatu yang keras. Dia sempat berpikir apa bundanya itu yang membuat mobil Ardan penyok, karena bundanyalah yang mengendarai mobil. Dan akhirnya bunda menceritakan semua. Flasback on Bunda menceritakan bagaimana kronologinya. Dari mulai ia melihat keramaian di pinggir jalan. Sampai pada akhirnya Bunda menyadari bahwa korban yang ada di dalam mobil itu adalah Ardan. Adel hanya ber'oh' ria saja, mendengar penjelasan panjang sang bunda. “Kayaknya dia ada masalah, ya.” Yang disampaikan bunda itu pernyataan bukan pertanyaan. Adel hanya mengedikkan bahunya. “Menurut kamu apa ya masalahnya?” tanya Bunda. “Aku gak tau, Bun, aku belum kenal banget sama Ardan. Yang aku tau cuma Ardan itu di tinggal ibu dan saudaranya pergi,” jelas Adel. Pada saat itu Bunda tampak terkejut dan setelahnya Bunda hanya menyuruh Adel tidur karena hari sudah malam. Flashback off. Setelah selesai bersiap-siap ia melangkah keluar kamar. Adel memanggil-manggil bundanya untuk berpamitan tapi tak ada sahutan. Dia baru ingat kalau tadi bundanya itu masuk ke kamar tamu untuk melihat keadaan temannya. Tok.Tok.Tok Pintu itu terbuka, Bunda yang membukanya. “Bun, aku berangkat dulu ya,” pamit Adel seraya mencium punggung tangan Bunda. “Lo mau ke mana?” tanya Ardan yang masih duduk di pinggiran kasur. “Ngerjain tugas bahasa Indonesia ke rumah temen,” jawabnya. “Oh, kirain temen yang lu punya cuma gue doang,” ucapnya lalu tertawa. Adel hanya mendengkus kesal. Di saat-saat seperti ini Ardan masih saja menggodanya. “Ke rumah siapa Del?” Bunda bertanya. “Dion, Bun,” jawabnya singkat, tapi dapat membuat laki-laki yang tengah duduk itu terkejut. “Yaudah sana,” ujar Bunda. “Siapa tadi lo bilang?” tanya Ardan dengan nada yang terkejut. “Dion, kenapa?” “Bunda keluar dulu ya, kamu istirahat aja dulu,” ujar Bunda ke Ardan lalu keluar dari kamar itu. Dan diikuti Adel yang juga berjalan ke arah luar. “Dion. Dion Ardiansyah, lo lagi,” gumamnya lalu beranjak dari tempat tidur mengejar Adel yang kini sedang membuka pagar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN