Kacau

1202 Kata
Ardan melirik cewe di sampingnya yang sedari tadi hanya menatap fokus ke buku tebal yang ia bawa. "Del, mata lo kaga capek apa, liat buku mulu," ucap Ardan. Awalnya, Adel ingin ke perpustakaan seperti biasa. Namun, Ardan memaksa untuk ikut ke kantin. Bukan untuk mentraktir, melainkan agar dapat ia suruh-suruh. Alhasil, setelah disuruh-suruh oleh Ardan, Adel membaca buku di kantin. "Aargh, aku udah berusaha, tapi tetep nggak bisa konsen!" keluh Adel, karena memang membaca di kantin itu kurang tepat, bukan? "Ya, udah, sih, tutup dulu bukunya. Nih, makan dulu bekalnya. Udah dibuatin juga sama bunda lo." Akhirnya, Adel menutup buku besar itu dan mulai membuka kotak makan. “Ups, sorry.” Entah sejak kapan Bella berada di dekat meja Adel dan berpura-pura terkejut dengan ulahnya sembari menutup mulutnya dengan 3 jari tertingginya, berlebihan. “Waduh!” Anto berseru. Semua yang ada di situ tersentak kaget. Suara gesekan kursi dengan lantai serempak terdengar dari tujuh orang yang awalnya sedang duduk itu. “Heh, lo sengaja numpahin es itu ke Adel,” ujar Ryan retoris. “Enggak tuh,” sangkal Bella. “Udah gak apa-apa.” Melihat teman-temannya tampak tersulut emosi Adel berusaha bersikap tidak apa-apa. “Aku ke toilet dulu.” Adel berjalan menuju toilet. Bella menatap kepergian Adel dengan senyum miring tercetak di wajahnya. Ketika ia hendak beranjak dari tempatnya berdiri tiba-tiba sebuah tangan mencekal lengannya. “Sepertinya lo gak paham, kalo gue gak terima kalo ada orang yang mengganggu ataupun menyakiti orang-orang yang ada di sekeliling gue,” ucapnya tajam. “Ma-maksud lo ap--” ucapannya terpotong dengan nada dingin Ardan. “Gue harap lo gak lupa tentang kejadian waktu itu di mana Kevin cidera gara-gara pemain basket sialan itu.” Seketika wajah Bella mulai pucat, dengan keringat yang mulai bercucuran. Bella sangat mengingat kejadian itu, di mana dia sebagai anggota cheers berada tidak jauh dari kejadian itu sehingga terlihat sangat jelas. “I-iya gue inget.” Suaranya terdengar bergetar. “Dan Adel, sekarang dia udah jadi temen gue. Gue harap lo tau bagaimana cara bersikap!” peringat Ardan lalu melepas cekalannya dengan kasar. Bella segera pergi meninggalkan tempat itu tapi belum saja jauh, suara itu terdengar lagi. “Dan gue tau siapa yang udah ngancurin sepeda Adel kemaren,” ucapnya sarkas. Kali ini Bella mengernyitkan dahi dan melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu. *** Ardan menyusul Adel ke toilet, saat melihat Adel keluar ia langsung menghampirinya sembari menyodorkan jaket. “Ini pake,” ucapnya geregetan, karena Adel hanya melihatnya alih-alih mengambil jaket. “E-eh iya ... makasih,” ucapnya berterima kasih yang hanya dijawab dengan gumaman. “Lo gak apa-apa, 'kan?” tanya Ardan. “Enggak apa-apa, lagian cuma ketumpahan air doang.” “Bukan ke tumpahan, Del. Tapi di tumpahin. Dia itu sengaja tau gak.” “...” “Lo biasa diginiin ya? Sama dia,” tanya Ardan. “Gak biasa juga sih.” Ardan menghela napas lalu berkata, “Tenang aja Del, mulai sekarang gak akan ada yang berani gangguin lo lagi.” “Kenapa?” “Karena lo temen gue, itu gunanya teman, 'kan? Saling membantu.” Ardan berucap mengikuti perkataan Adel tempo hari. Adel tersenyum, dan reflek tangan laki-laki itu terangkat mengusap lembut pucuk rambut Adel. Membuat Adel seketika membeku dan lagi-lagi perasaan aneh itu muncul. *** SMA NUSA BANGSA sedang bertanding basket dengan SMA HARAPAN. Suasana di area lapangan itu sangat meriah apalagi di saat Ardan sudah berada dekat di ring lawan. Saat itu Ardan dihadang oleh dua pemain lawan. Ardan melihat keberadaan temannya di dekat ring dengan gerakan menipu ia berhasil men-shoot bola ke arah Kevin. Namun, ketika Kevin ingin meraihnya, salah satu pemain lawan bernomor punggung 7 itu mendorong punggung Kevin dengan sangat keras. Membuat Kevin pada saat itu mengalami patah tulang bagian lengan. Ardan yang tidak terima dengan perlakuan yang diterima temannya itu langsung saja menghajar lawan bernomor punggung 7. Hal itu membuat suasana menjadi riuh dan akhirnya pertandingan diberhentikan. “Ardan!” panggilnya membuyarkan lamunan Ardan dengan ingatan itu. “Eh iya, ada apa Del?” sahut Ardan. Sekarang sudah jam pulang, Ardan dan Adel kembali pulang bersama. Dan kini mereka sedang berada di parkiran. Namun, Adel melihat Ardan yang hanya diam mematung seperti sedang memikirkan sesuatu. “Ayo kita pulang.” Setelah Adel menaiki boncengan itu, Ardan langsung melajukan motor besarnya meninggalkan lingkungan sekolah. Angin yang berembus menerpa wajahnya membuat cewe itu memejamkan matanya sepanjang perjalanan. Sampai tak terasa motor hitam milik Ardan sudah berada tepat di depan gerbang rumahnya. “Makasih ya.” Adel turun dari motor itu lalu merapikan rok selutunya yang sedikit berantakan. “Ya, sama-sama.” “Kamu gak mau masuk dulu? Masuk aja dulu,” ajak Adel. “Enggak us...” ucapan Ardan terpotong dengan tarikan tangan Adel. “Udah, ayo masuk,” ajak Adel, sembari menarik tangan Ardan membuat cowo itu mau tak mau harus turun dari motornya dan mengikuti tarikan tangan Adel. “Assalamualaikum, Bun,” ucap Adel ketika sudah berada di depan pintu. “Waalaikumsalam, eh ada Ardan, duduk sini, Nak,” ujar Bunda, mempersilahkan duduk. “Makasih, Tan.” “Iya, kamu udah makan?” “Aku belum, Bun,” Adel langsung menjawab. “Bukan kamu! Tapi Ardan,” sanggah Bunda membuat Adel mengerucutkan bibirnya. “Hehe, belum tante,” Ardan terkekeh melihat tingkah ke dua orang di hadapannya ini. “Ya sudah, kalo begitu makan dulu ya.” “Gak usah, Tan, saya makan di rumah aja.” “Di sini aja Ardan. Ayo, masuk sini!” Bunda masih keukeuh mengajak Ardan makan bersama, setidaknya itu adalah salah satu sikap balas budinya kepada Ardan karena sudah berbaik hati membantu anaknya. “Iya Ardan makan aja dulu di sini,” Adel ikut membujuk. Akhirnya Ardan meng'iya'kan ajakan makan tersebut. Saat Ardan hendak mengambil nasi, tiba-tiba saja Bu Ratna menyendokkan nasi untuknya. “Biar saya aja Tante yang ngambil.” “Udah tante aja,” ucap Bu Ratna tak terbantahkan. Adel memasang wajah puppy face-nya. “Aku juga dong, Bun.” “Kamu ambil sendiri,” ucap Bunda kembali membuat Adel mengerucutkan bibirnya. *** Ardan merasa sangat bahagia dan nyaman berada di rumah Adel. Mungkin karena dia baru merasakan hangatnya perlakuan seorang ibu. ‘Lo beruntung banget sih, Del,’ batin Ardan. Sesampainya di rumah ia melihat sang ayah yang sedang menatapnya dengan tatapan marah, terlihat dari rahangnya yang mengeras. Namun, bukannya menghampiri, Ardan malah berjalan menuju kamarnya. “Ardan,” panggilnya dengan nada dingin. Ardan yang mendengar panggilan itu bukannya berhenti malah meneruskan jalannya. “Ardan, saya ingin bicara dengan kamu!” “Hm, bicara aja.” “Apa yang telah kamu perbuat di sekolah?” “Nggak ada,” jawabnya acuh sambil mengendikkan bahu. “Jawab yang benar Ardan, saya tau kamu masih suka bolos dan tawuran, 'kan!” “Sepertinya Anda sudah memiliki jawabannya. Lagi pula sejak kapan Anda peduli dengan saya?” ucapnya formal. Setelah itu Ardan berjalan masuk ke kamarnya dan tidak menghiraukan panggilan ayahnya di belakang. Ia membanting pintu kamarnya, dan saat itu juga ia luruh di sana. Cowo itu tertunduk, menempatkan wajahnya di antara lututnya yang ia tekuk. Kembali melakukan kebiasaannya, menangis dalam diam. Tanpa isakan atau pun tubuh yang bergetar, hanya air mata yang luruh jatuh bersama segala harapan yang tidak mungkin terjadi dalam hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN