Pengacau

1686 Kata
“Adel!” panggil Ardan. “Ya, ada apa.” Adel yang hendak membuka pagar harus tertahan dengan panggilan Ardan. “Gue ikut.” “Hah? Ikut? Ke rumah Dion? Ngapain? Gak usah, Dan, aku kan mau kerja kelompok. Nanti kalo kamu bosen gimana?kalo kam ....” cerocos Adel yang dihentikan oleh Ardan. “Iya Adel, ya ampun, bawel banget sih, gue cuma mau ikut doang.” “Tapi, kan, kamu masih sakit, harus istirahat kata Bunda,” kata Adel memberi alasan agar Ardan tidak ikut bersamanya. “Gue udah gak kenapa-kenapa kok,” elak Ardan. “Tapi, kan ....” ucap Adel yang disela oleh Bunda, yang tidak tahu sejak kapan sudah berdiri di belakang Ardan. “Ardan, kok kamu gak istirahat di dalam?” tanya Bunda. “Bun, aku udah gak kenapa-kenapa kok. Sekarang aku boleh ikut Adel kan? Sekalian jagain dia di jalan, Bun, lagian yang di datengin Adel kan temen aku juga,” ujar Ardan memberi alasan. “Boleh aja, kalo Adel gak keberatan,” kata Bunda sembari melirik Adel. “Adel gak keberatan kan?” tanya Ardan, di tatapnya Adel dengan tatapan mengancam, yang ditatap hanya menggeleng. “Tuh bun, kita berangkat dulu, Bun,” pamit Ardan. “Eh, tunggu dulu, kalian pergi naik apa, mobil kamu kan rusak,” tanya Bunda memberhentikan langkah keduanya. “Nah iya, tuh gak mungkinkan kamu mau naik angkot.” Adel masih berharap Ardan tidak ikut dengannya. “Tapi kalian bisa naik motor Bunda,” usul Bunda yang dihadiahi senyuman kemenangan oleh Ardan. “Nah! ide bagus tuh Bunda,” ujar Ardan seraya menyeringai kepada Adel. *** “Kamu tau rumahnya Dion?” tanya Adel saat diperjalanan. Ardan menjawabnya dengan deheman, ”Hmm.” “Lo ngerjain tugasnya berdua doang?” tanya Ardan dengan pandangan yang masih fokus ke jalan. “Enggak, bertiga. Aku, Dion sama Sarah,” jawab Adel, Ardan hanya ber’oh’ ria saja. “Dah sampai,” instrupsi Ardan seraya memberhentikan motornya maksudnya motor bundanya Adel di depan pagar besar itu. “Aku masuk duluan ya,” pamit Adel setelah turun dari motor. “Ya.” “Hai Dion, “ sapa Adel ketika bertemu Dion di teras rumahnya. "Hm, ke sini sama siapa?” tanya Dion sembari melihat orang yang baru masuk pagar rumahnya dengan menggunakan helm. Kemudian orang itu membuka helmnya. “Gue.” Dion tampak terkejut karena suara dan orang yang kini ada di hadapannya. “Adel, kok lu bawa temen sih?” protes Dion takut-takut tugasnya itu tidak selesai kalau ada orang lain. “Emangnya kenapa?” tanya Ardan yang kini berdiri di samping Adel. “Lo tau, kan, gue sama Adel itu mau belajar bukan main.” “Ya gue tau, tenang aja gue gak akan ngeganggu kalian. Jadi, lo gak perlu khawatir,” ucap Ardan memberi penekanan dalam kata ‘ngeganggu kalian'. “Tapi gue merasa terganggu!” sergah Dion. “Oh, ya? Apa yang membuat lo terganggu, heh? Gue bukan orang yang mau mengganggu hubungan orang lain.” “Sikap lo yang buat gue terganggu,” ujar Dion dengan menunjuk d**a Ardan. “Sikap gue yang kaya gimana? Seburuk-buruknya gue, gue sangat menjunjung tinggi pertemanan asal lo tau,” ucap Ardan sarkas. “Adel gak butuh pertemanan yang lo maksud itu.” “Dan gue gak akan tega mengambil sisa kebahagiaan temen gue sendiri,” ucap Ardan santai tapi terlihat guratan emosi di wajahnya. “Apa maksud lo!?” emosi Dion mendengar ucapan Ardan. Perbincangan mereka ini seperti ambigu kedengarannya. Membuat Adel bingung karena perdebatan yang tidak penting, tetapi dibicarakan dengan kata-kata yang memiliki makna dalam. “Kalian berdua kenapa, sih? Ini 'kan cuma masalah sepele,” ujar Adel menengahi. “Bilang ke temen lo ini Del, gue gak suka dia di sini,” ucap Dion sarkas. “Dan bilang juga ke orang ini Del, gue gak akan pergi untuk kesekian kalinya!” Lagi-lagi yang terlontar dari ucapan Ardan itu ambigu. “Udahh!! Cukup! Kalian tau gak? Perdebatan kalian ini makan waktu setengah jam.” “Enggak,” ucap Ardan dan Dion berbarengan. “Ih, bukan itu maksud aku. Gini, ya, Dion maaf sebelumnya aku bawa Ardan cuma buat nemenin aku diperjalanan. Dan Ardan, aku mohon tolong jangan ganggu kita, karena kita harus secepatnya menyelesaikan ini. Jadi, gimana? Udahkan, masalah selesai?” Adel mencoba melerai. “Belum,” sekali lagi mereka yang bertengkar menjawabnya kompak. “Yaudah kalau belum aku pulang sendiri aja.” Adel mulai pasrah dengan sikap kedua laki-laki dihadapannya. “Eh, jangan pulang dong Del, tugasnya gimana?” “Ya makanya, kehadiran Ardan gak usah dipermasalahkan.” Dion mengembuskan napas menyerah. “Ok, yaudah ayo masuk, dan lo tetap di luar.” Menunjuk ke arah Ardan. “Eh, tunggu-tunggu. Del, kata lo kerja kelompok nya bertiga? Temen lo yang satu lagi mana?” tanya Ardan memberhentikan langkah mereka. “Oh iya, ya, Sarah ke mana Dion?” Adel baru menyadari ketidak hadiran Sarah. “Dia gak bisa dateng hari ini.” “Tuh, kan, berarti kalian cuma berdua doang, dong,” Ardan kembali protes. “Emang kenapa? Lagian kitakan ngerjain tugas kalo lo lupa.” “Gue ikut ke dalem,” ucap Ardan sembari berjalan masuk tanpa aba-aba. “Gak bisa.” Dion menahan bahu Ardan dengan satu tangannya. “Kalian mulai lagi?” tanya Adel pasrah. “Iya,” lagi-lagi mereka menjawabnya kompak. “Heh? Kompak gitu." “Udah gini aja, Ardan boleh masuk tapi duduknya jauh-jauhan, gimana?” Adel meminta persetujuan tapi tak direspon apa-apa. “Setuju gak? Kalo gak ya udah...” ucapannya terpotong karena kedua orang itu menahan kedua tangannya karena ia yang hendak pergi. “Eh, ok-ok, kalo gue setuju.” Akhirnya Dion menyetujuinya. “Gue juga.” Begitu pun Ardan. “Ya sudah, kalau begitu kita masuk,” ajak Adel. *** “Ardan duduk sini.” Adel menunjuk ruang tamu yang diikuti oleh Ardan. Sedangkan Adel dan Dion duduk di ruang keluarga yang masih bersebalahan dengan ruang yang Ardan tempati. Meskipun Ardan berada jauh dari Adel dan Dion tetap saja ada aja kelakuannya yang membuat Dion harus merutuki dirinya sendiri karena tak bisa mengusir Ardan. Mungkin jika kalian diposisi Dion kalian akan merasakan hal yang sama.mungkin. Seperti di saat mereka sedang berdiskusi mengenai hasil observasi, tiba-tiba saja Ardan bernyanyi-nyanyi dengan suara yang keras dan tidak jelas sekaligus memasang lagu melalui hp-nya dengan volume yang keras pula. Sehingga suara Dion pada saat itu tidak terdengar oleh Adel. “APA DION? GAK KEDENGERAN!” Adel pun bertanya dengan berteriak. “KITA HARUS MEMASUKKAN DATANYA DALAM BENTUK GRAFIK!” yang dijawab Dion dengan teriakkan juga. “HAH? APANYA? KATANYA? KOK KATANYA?” “DATANYA DEL, NIH LIAT MULUT GUE DA.TA.NYA!” Dion berusaha mengatakannya dengan artikulasi yang baik. “Oh, ok-ok, terus apalag—” Nyanyian dan suara musik yang berasal dari Hp Ardan semakin keras, Dion sudah tidak tahan dengan kelakuan Ardan. “Lo bisa gak sih kalo mo ngamen kejalanan sana.” “Deh, ganteng gini suruh ngamen, ya, enggaklah. Suruh jadi model tuh baru.” “Ardan bisa gak, gak nyanyi-nyanyi kaya tadi? Nanti gak selesai-selesai.” Adel mengatakannya dengan nada yang memelas. “Bisa kok Del, tenang aja gue gak bakal nyanyi lagi, tapi yang cepat ya ngerjainnya.” Lalu menampilkan nyengir kuda. “Ok,” jawab Adel. Adel dan Dion kembali mengerjakan tugasnya tapi tak lama dari itu suara Ardan kembali terdengar mengganggu. Kali ini bukan nyanyian melainkan ketawa. Ardan sedang menonton film komedi di hp-nya. Dan suara ketawanya itu sangatlah kencang. “HAHA, KOCAK BANGET SIH.HAHAHA.BEGO BANGET DAH.ITU p****t KAMBINGNYA GOYANG-GOYANG!” Bahkan saat mengucapkan adegan yang ia tonton pun diucapkan dengan nada yang kencang. Padahal membicarakan adegan pada saat kita sedang menontonnya itu kan hal yang tidak penting. “ARDAN!” panggil Dion mulai kesal kembali. “Yap?” yang dipanggil hanya memasang tampang watados. “Bisa gak volume suara lu dikecilin,” ucap Dion berusaha sabar. “Oh, ganggu ya?” tanyanya polos, membuat Dion hanya mendengus. “Ok, sorry ya. Lanjutin deh belajarnya.” Dion dan Adel kembali mengerjakan tugasnya itu. Tak lama dari itu, suara Ardan kembali terdengar. Bukan nyanyian, bukan tawaan tapi suara mengaduh. “Aduh! Aduh! Tolong! Tolong!” Mendengar ucapan itu membuat Adel panik, dan menghampiri Ardan yang sekarang tengah terduduk di lantai. Sedangkan Dion seperti sudah memahami apa yang terjadi. “Ada apa Ardan?” tanya Adel panik. “Tolongin gue Del, gue mau ... mau ....” “Mau apa? Cepet ngomong.” Adel sangat panik. “Mo kencing, toiletnya mana?” “Lo tuh sumpah yak, ngeselin banget!” Dion seperti sudah benar-benar tak tahan. “Kenapa? Gue cuma mo kencing, ada yang salah?” tanyanya memasang wajah tak berdosa. “Tuh, kamar mandinya!” dengan nada suara kesal. “Tapi, gue mau kencing bukan mau mandi, kok yang ditunjukin kamar mandi.” “Lo benar-benar yak!” “Eeh, ntar dulu gue mau kencing dulu oke, ngomel-ngomelnya tahan dulu oke.” Kemudian berlari masuk kamar mandi. Dion kembali menggeram kesal. “Ini nih, makanya Del, kalo kerja kelompok gak usah ngajak-ngajak dia lagi!” ucapnya dengan kesal. “Maaf.” Adel memang dari awal sudah memiliki firasat yang tidak enak. “Sekarang gini deh, kita mau lanjutin sekarang atau nanti lagi aja?” “Sekarang aja, Yon. Biar cepet selesai.” “Terus si kunyuk itu kalo gangguin lagi, gimana?” “Biar gue yang ngomong.” *** Dion dan Adel kembali mengerjakan tugasnya dengan baik tanpa gangguan apapun. Setelah Adel mengatakan sesuatu kepada Ardan akhirnya Ardan lebih memilih untuk diam. Padahal Adel hanya mengancam jika Ardan masih terus mengganggunya maka tindakannya itu akan ia laporkan ke Bundanya. Dan akhirnya seperti inilah yang terjadi. Tak beberapa lama, pekerjaan mereka pun usai. Adel pamit kepada Dion sekaligus berminta maaf, sedangkan Ardan dia hanya melengos saja keluar rumah menuju gerbang. Ketika Dion berjalan menuju ruang tamu—ruang yang ditempati Ardan— dia sangat terkejut. Bantal sofa yang berjatuhan di lantai, taplak meja yang sudah tidak pada tempatnya, tissue berserakan di mana-mana. Dengan perlahan dia menghirup nafas dalam-dalam dan setelah itu.. “ARDAANN!! LO APAIN RUMAH GUEE!!” Sedangkan yang disebut namanya hanya menampilkan senyum bahagia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN