Penyesalan Akibat Masa Lalu

1003 Kata
Jam sudah menunjukan pukul dua siang tanda aktifitas belajar mengajar di sekolah itu telah usai. Para murid lantas berhamburan keluar kelas. Gadis itu melayangkan pandangannya ke penjuru halaman sekolah. Tak terasa sudah satu semester ia bersekolah di sini. Ia bukan anak yang mudah beradaptasi dengan lingkungan. Namun, untunglah teman sebangkunya adalah tipe anak supel yang mudah bergaul sehingga memudahkan gadis itu untuk memiliki teman. "Din!" panggilan dari Selly memutuskan pandangan mata gadis itu. "Lo jadi hangout bareng kita?" tanya Selly ketika sudah berada di hadapan Dinda. Dinda sempat berpikir sebelum akhirnya menolak. "Enggak kayaknya, aku mau langsung pulang aja." Selly menghela napas pasrah, selalu penolakan yang ia terima ketika mengajak Dinda pergi jalan-jalan bersama teman satu gengnya yang lain. "Ya udahlah, hati-hati di jalan, Din." Dinda mengangguk lalu tersenyum. "Oke, kamu juga." *** Entah apa yang membawa Dinda memasuki salah satu toko buku yang sudah lama tidak ia kunjungi semenjak ia pindah ke luar kota dua tahun yang lalu. Sedikit perubahan yang terjadi pada desain toko ini. Tata bukunya rapi dan terlihat lebih padat. Lukisan karya seni yang indah terpajang di beberapa sisi dinding toko itu. Ketika matanya bergerak menyusuri buku-buku yang dipajang rapi dalam rak tak sengaja bola mata itu menangkap sesosok laki-laki yang belakangan ini selalu hadir dalam otaknya. Penampilannya saat ini mencerminkan pribadi yang berbeda dari yang pertama kali Dinda kenal. Dahulu laki-laki itu cenderung pasif di sekolah, tidak terlalu menonjol dalam hal apapun. Berbanding terbalik dengan teman dekat laki-laki itu. Rambut yang acak-acakan, seragam putih yang dikeluarkan, dan beberapa gelang karet yang melingkar di pergelangan tangan laki-laki di hadapannya itu. Alam bawah sadar Dinda membawa sepasang kakinya berjalan mendekati tempat laki-laki itu duduk. Namun, langkah kakinya terhenti kala suara orang lain menyebut nama laki-laki itu. "Ardan!" Ardan mendongakkan wajahnya. "Ayo, pulang!" "Del, selama itu kita muter-muterin rak buku. Cuma satu doang yang lo beli?" "Uang aku cukupnya buat beli satu doang." "Ya ud—" "Ayo, pulang, tadi udah nggak betah, 'kan?" Adel langsung menggamit telapak tangan laki-laki itu. "Lagian kita harus belajar buat besok." "Iya, sayang." "Ardan! Ih!" Seketika ia merasa udara enggan berada di sekelilingnya. Dinda terus mengamati sepasang remaja yang kini sudah berjalan keluar dari toko itu. "Kenapa rasanya sakit banget?" *** Dinda sudah menyadari bahwa semuanya sudah berubah. Kembali ke kota ini ternyata bukanlah hal yang benar. Kini ia kembali goyah, goyah dengan keputusan yang dia buat. Mungkin ini yang dulu pernah laki-laki itu rasakan. Jika memang seperti ini, Dinda merasa memang dirinya tidak pantas untuk dimaafkan. Perempuan tidak tau diri, egois, dan dengan seenaknya mempermainkan perasaan orang yang tulus terhadapnya. Karma sudah menyapanya. Itu yang ia rasakan. Beberapa waktu lalu ketika ia baru saja pindah kembali ke kota ini ia sempat bertemu secara tidak langsung dengan Dion. Ya, lelaki itu, cinta pertamanya, 'cinta monyet'nya. Saat itu ia melihat Dion yang sedang membonceng seorang perempuan. Namun, ketika melihat itu ia tidak merasakan perasaan apapun. Justru Ardanlah yang mampu membuat perasaannya kini sangat kacau. Dinda kembali mengingat perempuan yang bersama Ardan tadi. "Dunia sempit banget, ya, Del." Dinda tersenyum miris. "Semoga kamu nggak kayak aku, Del." *** Di sela-sela gordain kamarnya, Dinda melihat sesuatu yang membuat dadanya seperti diikat oleh tali tak kasat mata. Ia menggigit bibirnya menahan isakan. Ardan sedang mengantar Adel pulang dengan jaket laki-laki itu yang dipakai oleh Adel. Mereka tampak akrab dan asyik dengan candaan dan ejekan. Senyum dan tawa selalu ditampilkan di wajah mereka. Sampai pada akhirnya Adel berjalan memasuki pekarangan rumahnya dengan Ardan yang menancapkan gasnya dan berlalu meninggalkan suara deru motor yang masih menggema di telinga Dinda. Perlahan ia menutup kembali gordain itu. Ia menghapus jejak air mata di pipinya dan menghela napas. Dinda merebahkan tubuhnya di kasur dan kembali bergumam pada dirinya sendiri. "Aku harus segera minta maaf. Setelah itu aku bakal pergi." *** Beberapa kali Adel ragu akan keputusannya dan beberapa kali juga ia harus berusaha meyakinkan dirinya. "Ini udah bener," Adel menepuk pelan pipinya, "jangan pikirin yang aneh-aneh." Misinya dalam memperbaiki hubungan Dion dan Ardan sangat menantang ritme jantungnya. Belum pernah selama hidupnya ia terlibat hal seperti ini. Menyatukan hubungan yang sudah renggang adalah niat yang baik, kan? Kling Bunyi bel tanda pengunjung masuk, sontak membuat keringat Adel mengucur membasahi telapak tangannya. Adel tidak berani menghadapkan wajahnya ke arah pintu masuk. Ia menunggu orang itu yang menghampirinya. "Adel," tegur laki-laki yang sekarang sudah berada di sampingnya. Adel menggerakkan kepalanya melihat laki-laki itu yang kini telah mengambil tempat duduk di depannya. "Lo dah nunggu lama, ya?" Adel memaksakan senyum manisnya, menutupi ketegangan yang sudah ia rasakan sejak tadi. "E-enggak kok." Laki-laki itu hanya mengangguk paham. "Jadi kita mu—" "Dion?" Ardan yang baru saja kembali dari toilet mengernyitkan dahinya heran. Adel sontak beranjak mengetahui bahwa apa yang ia prediksi benar akan terjadi. "Jadi gini, aku ngajakin Dion belajar bareng kita juga, Dan." Baru saja Ardan ingin mengatakan sesuatu Adel sudah menarik Ardan untuk duduk di tempatnya. Sedangkan Adel mengambil tempat duduk yang letaknya di antara Dion dan Ardan. "Ayo kita mulai!" ucap Adel berusaha mengalihkan perhatian kedua laki-laki yang sedang bertatapan. Mereka masih tidak bergerak sama sekali. "Halo! Apa kalian akan buka mulut cuma untuk berdebat kayak waktu itu doang?" Adel mengingatkan kejadian di rumah Dion beberapa waktu silam. Dion pun mulai membuka bukunya diikuti oleh Ardan. Senyum Adel mengembang, tetapi selanjutnya ucapan Ardan berhasil membuat Adel tergagap. "Kenapa lo nggak bilang sebelumnya?" Adel menelan salivanya susah payah dan berusaha menampilkan senyuman—tidak terjadi apa-apa. "E-emangnya kenapa?" Adel tergugup. "Apa yang lo rencanain, Del?" kali ini Dion. Adel seperti ingin menghilang saja ketika melihat kedua laki-laki itu menatapnya mengintimidasi. "A-aku cuma ... mau kalian kembali akur." Kalimat itu akhirnya berhasil keluar dari mulut Adel. "Kalian nggak bisa kayak gini terus! Sama-sama menghindar tanpa ada yang mau nyelesain! Mungkin ini bukan masalah ringan karena menyangkut kepercayaan, tapi emangnya di antara kalian nggak ada yang mau nyelesain ini?!" Adel mengatur napasnya yang tidak teratur karena emosi yang sedang dirasakan. "Aku bakal ngasih waktu buat kalian." Setelah mengatakan itu Adel membereskan peralatan tulisnya dan beranjak dari tempat duduknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN