Terjebak di Masa Lalu

1009 Kata
"Lepasin!" Shella menarik tangannya yang dipegang oleh Kevin. "Lo gila Kevin!" "Lo yang gila!" bentak Kevin. "Lo sadar sama apa yang lo lakuin barusan, hah?!" Kevin menatap nyalang kepada Shella. "Itu tokonya sahabat gue. Ardan itu sahabat gue. Dan lo ngerusuh di tempat dia?!" "Iya gue tau!" ucap Shella menantang. "Gue tau semua tentang lo Kevin. Bahkan cara lo memperlalukan mantan lo yang lain. Gue tahu itu. Dan gue nggak mau kayak mereka." "Gue nggak jalan sama Dinda. Gue ngikutin dia. Dan foto yang lo liat tadi, gue sengaja nyimpen foto itu buat gue kasih ke Ardan. Itu cewek yang Ardan suka. Intinya gue deketin dia bukan karena gue suka gue lakuin itu karena Ardan," jelas Kevin panjang lebar. Ponselnya bergetar. Ia segera mengeceknya. Ia menarik satu sudut bibirnya. "Good. Lo buat gue babak belur malam ini, Shan." Kevin mengangkat ponselnya dan memperlihatkan kalimat yang ada di layar ponsel cowok itu. Shella mengernyit membaca kata hadiah. "Gue harap lo nggak sebego itu mengartikan kata hadiah yang dimaksud Ardan." Shella terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya. Kevin menyugar rambutnya ke belakang. Merogoh saku celana dan mengambil sebatang rokok. "Abis ini lo nggak perlu datengin gue lagi, Shel," kata Kevin sambil menyalakan nikotinnya dengan pemantik. Shella bergeleng cepat. Ia memegang lengan Kevin. "Maafin, gue, Vin. Gue yang bakalan ketemu Ardan. Biar gue yang ke sana." Kevin terkekeh sambil mengisap rokoknya dan mengembuskan asapnya pelan. "Lo belum liat sisi monsternya Ardan. Dengan lo bersikap gitu dia bukannya maafin gue malah bisa bunuh gue." Kevin menegapkan tubuhnya lalu melempar kunci mobilnya ke Shella. "Pulang sana bawa mobil gue. Kalau gue nggak bisa dihubungi langsung ke rumah sakit aja." Kevin tersenyum tipis saat mengatakannya. Sikap santainya justru membuat Shella tambah gila. "Vin, please!" Shella menarik lengan Kevin. "Lo ngerasa bersalah? Kita putus kalau lo ngerasa bersalah." "Nggak!" jerit Shella. "Gue nggak akan mau lo buang gitu aja kayak mantan lo yang lain. Enggak, Vin, enggak!" "Lo nggak bakal tahan sama gue, Shel. Eh, enggak." Kevin bergeleng. "Gue yang nggak tahan sama lo." Cowok itu melepas pegangan Shella di lengan bajunya. Ia berjalan mundur sambil melambaikan tangan. Shella menggigit bawahnya khawatir. Rasa khawatirnya kini bukan lagi tentang dirinya dan Kevin yang akan putus. Justru keadaan Kevin nanti. Sial! Dia kali ini benar-benar bodoh. *** "Nggak pulang?" Suara Ardan menginterupsi Dinda yang tengah mencatat barang-barang yang sudah kadaluarsa. Dinda mengecek jam di pergelangan tangannya. "Pulang jam sebelas kan gue bilang tadi." Alis Ardan terangkat. "Serius?" Matanya mengerjap cepat. "Maksud gue ... lo beneran mau pulang jam sebelas?" Dinda mengangguk cepat tanpa ragu. Mulut Ardan terbuka. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal lalu merampas buku dan pensil yang dipegang Dinda. "Sekarang pulang." Dinda hendak membantah, tetapi Ardan kembali berkata. "Gue nggak segila itu nyuruh anak cewe orang pulang jam sebelas." Ardan melambaikan tangannya mengusir. "Sana pulang." Dinda tak bisa membantah lagi pada akhirnya menuruti perintah cowok itu. Ia mengambil tas dan baju kotornya di dalam laci. "Gue pamit dulu, ya." Saat sudah sampai ambang pintu, cewek itu berbalik lagi untuk mengatakan sesuatu. "Ardan," panggilnya. "Makasih bantuannya." Kemudian perempuan berambut panjang itu berbalik meninggalkan Ardan yang tak bergeming. *** Awalnya Ardan memang ingin menghajar sahabatnya itu. Namun, ia mengurungkan niatnya itu. Penggantinya, Ardan mengajak Kevin adu basket. Ardan tidak membiarkan Kevin berhenti berlari. Adu basket satu lawan satu seperti ini sudah dapat dipastikan Kevin akan selalu kalah. Untuk itu Ardan menambah peraturan bahwa kalah satu poin harus berlari keliling lapangan sebanyak lima kali. Sampai akhir pertandingan poin terbanyak di pegang Ardan sebanyak 97 poin. Ardan benar-benar serius memberi hadiah pada Kevin. "Lo emang nggak mukul gue, Dan. Tapi lo buat jantung gue pecah kalo gini caranya." "Lakuin aja," ucap Ardan dingin. Nada dingin Ardan membuat Kevin tak lagi membantah. Cowok itu merebahkan diri di tengah lapangan sambil mengawasi sahabatnya berlari mengelilingi lapangan. Ardan memandang gelapnya langit malam itu. Melihat Dinda kacau seperti tadi jelas membuat Ardan kesal setengah mati. Namun, ia baru menyadari sekarang. Kenapa ia harus merasa sekesal itu? Kenapa hatinya memanas? "Dia pegawai gue. Tanggung jawab gue," tekan Ardan pada diri sendiri. "Kemaren pulang jam berapa kalian?" tanya Ardan. Kevin melirik sahabatnya yang tengah berbaring menghadap atas. Senyum tersungging di wajahnya. "Kenapa? Mau tau banget." Ardan berdecak kesal. "Dia terlambat sejam hari ini. Kesiangan katanya. Lo bawa pulang dia jam berapa? Lo kalo mau deketin dia jangan pulang malem-malem dia harus kerja. Gue yang rugi kalau dia telat," jelas Ardan. Mengingat adegan ftv tadi siang, Ardan kembali berkata, "Kalau lo mau deketin Dinda yang serius. Jangan lo nyakitin anak orang. Dia pegawai gue kalau dia galau terus kinerjanya jelek. Gue juga rugi." Bug! "Sialan!" maki Ardan karena sebuah bola basket melayang ke arahnya. "Lo masih nggak mau jujur juga. Segala nyangkutin sama kerjaan." Ardan bangun dari tidurannya. Ia menatap garang Kevin yang tengah cengengesan. "Nggak kapok juga lo?" "Apa?" tanya Kevin. "Gue serius. Gue ngebebasin lo mau deketin Dinda tapi jangan sampe nyusahin usaha gue." Kevin menyemburkan tawanya. "Nggak ada yang rugi. Lo bisa pecat dia kalau ngerasa Dinda kerjanya nggak bener. Dia bisa kerja di rumah makan kakak gue." Ardan kini memilih berdiri. Lebih baik dari awal dia memukul wajah slengean itu. "Ahaha! Bangun dia!" Kevin berlari menjauhi Ardan. "Santai, enggak beneran. Bercanda doang, sumpah!" Ardan berhenti mengejar Kevin. Ia mengambil jaketnya yang berada di pinggir lapangan lalu berjalan ke rumahnya. Kevin mengikuti sahabatnya dari belakang. Nyatanya, Kevin tidak benar-benar menyelesaikan hukumannya. Ardan pun tidak mempermasalahkan. "Gue nggak akan ngedeketin dia lagi. Gue deketin dia cuma buat nyadarin lo doang. Kalo lo ngerasa nggak suka saat gue deketin dia, tandanya lo masih suka. Lo cuma terlalu egois sama diri lo sendiri. Ardan lo masih terjebak sama masa lalu. Padahal lo lagi ada di masa sekarang." Ardan tak menjawab. Ia terus berjalan lurus dan Kevin membuntutinya dari belakang. Saat Ardan membuka pagarnya, Kevin tidak ikut masuk. "Dan, lo bukan terjebak di masa lalu. Lo punya kuncinya. Tapi lo terlalu takut untuk ngebuka kunci itu. Lo yang nggak mau untuk keluar dari masa lalu itu. Gue harap sekali aja. Lo dengerin omongan sahabat lo yang gila ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN