Ombak yang Datang

1038 Kata
Seusai membeli beberapa stok makanan di supermarket ia kembali ke rumahnya. Ia berjalan gontai memasuki rumahnya. Menaruh kantong plastik berukuran sedang di atas meja makan lalu berjalan menuju kamarnya. Ia meraih kotak beludru di atas meja belajarnya. Dipandangnya liontin berbentuk huruf E itu dengan pandangan rindu. Nanti malam ia akan bertemu lagi dengan ayahnya, tetapi rasanya saat itu juga ia ingin bertemu. Ia menegakkan punggungnya, menutup kotak itu dan meletakkannya kembali di atas meja belajar. Pandangannya bertubrukan dengan topi abu-abu yang berada di antara buku-bukunya yang berjejer. Adel menarik topi itu keluar. Ia kembali memerhatikan topi itu. "Kok aku bisa lupa ya muka cowo itu," gumam Adel lalu meletakkan topi itu kembali ke atas meja belajarnya tepat di samping kotak beludru. *** Hari terakhir pelaksanaan ujian nasional. Tak terasa padahal baru kemarin mereka harus sibuk mempersiapkan segala tentang UN dari mulai peralatan tulis, hapalan, serta soal-soal rumit yang harus dikerjakan sebagai latihan. Kini hari itu telah usai. Begitu leganya perasaan anak kelas 12 saat ini. Rasanya segala yang berkaitan dengan UN dari mulai buku pelajaran sampai ke pensil 2b ingin sekali dimusnahkan saat itu juga, pertanda bahwa beban yang selama ini dirasakan ingin benar-benar dihilangkan. Dan ritual selepas UN, mereka akan mulai mencorat-coret seragam putih abu-abu dengan pilok dan spidol. Seperti sudah yakin lulus saja, padahal pengumuman kelulusan baru akan diterima sekitar 2 minggu lagi. Seperti itulah yang terjadi. Ketika seluruh seragam putih tak luput dari berbagai macam warna, ternyata masih ada dua seragam yang tampaknya belum tersentuh coretan pilok. "Masih bersih." Ardan menyerahkan piloknya kepada Adel. "Semprot." Ardan melangkah mendekati cewe itu. Menyuruh Adel untuk menyemprotkan pilok itu, memberi warna pada seragamnya yang masih putih. Adel melihat pilok di tangannya lalu beralih ke mata Ardan yang menatapnya lekat. Adel tersenyum. "Setiap satu coretan sebutin satu impian masa depan kita. Gimana?" Ardan tersenyum simpul lalu mengangguk singkat. "Oke. Gue duluan. Gue mau kuliah jurusan manajemen." Adel menyemprot pilok itu di ujung bawah seragam Ardan. Lalu pilok itu beralih ke tangan Ardan. "Aku mau jadi desainer." Ardan mengernyit. "Sejak kapan?" Cewe itu hanya mengendikkan bahu. "Ada sesuatu yang buat aku jadi pindah haluan dari guru ke desainer." Ardan mengangguk paham. Menyemprotkan pilok itu di sisi kanan tubuh Adel lalu mengusap gemas pucuk rambut cewe itu. "Semoga tercapai." "Gue pengen hubungan kita nggak pernah putus." Impian Ardan selanjutnya. Adel menatap manik cokelat itu. Ketulusan yang terpancar menyejukan hatinya. Ia kembali menyemprotkan pilok di bagian d**a cowo itu. Lalu giliran Adel. "Aku mau punya keluarga lengkap seperti dulu di mana orangtuaku, aku, kakakku, kami tinggal di atap yang sama. Mungkin itu mustahil terjadi untuk saat ini. Tapi suatu saat aku pengen keluarga kecil kami bisa kumpul lagi." Adel mengerjap, air matanya luruh tanpa bisa ditahan. Tangan Ardan terulur untuk mengusap air mata yang membasahi wajah cantik Adel. Semprotannya kini berbentuk emoticon smile. "Tetap tersenyum, Del, maka semua akan lebih baik." "Gue suatu saat nanti pengen jadi orang sukses. Punya keluarga sendiri dan bisa jadi ayah dan suami yang bisa diandalkan." Adel terkekeh. "Lucu." Kemudian ia menyemprot asal membentuk pola abstrak. "Lucu kenapa? Gue serius, tau," protes Ardan. Adel menggeleng. "Iya, keren kok impiannya. Baru tau aja kalo cowo juga punya impian kayak gitu." Ardan meringis. "Ini rahasia kita, ya." Mendengar pengakuan Ardan dengan cara berbisik seperti itu membuat tawa Adel membuncah. "Sekarang giliran lo." "Aku mau nanti di masa depan saat aku dilamar itu dengan cara yang paling romantis. Semoga aja my future husband bisa denger ini." "Calon suaminya udah denger kok." Adel kembali tertawa, itu sangat menjijikan sebenarnya, tetapi mendengar impian Ardan mengenai hubungan sakral seperti itu membuat ia menjadi melakukan itu juga. "Yang terakhir ini harus serius," ujar Adel. "Ya ampun, lo pikir gue becanda. Gue serius sumpah, impian gue mau jadi suami idaman," sahut Ardan. Adel menggeleng tak percaya lalu mengacak-acak rambut Ardan yang sudah acak-acakan. "Oke, yang terakhir. Gue sayang lo, Del. Impian gue buat masa depan, semoga lo juga tetep sayang sama gue juga." "Dan impian aku semoga apa yang kita ucapin tadi bisa tercapai." Selanjutnya Ardan menyemprotkan pilok itu di punggung Adel membentuk hati dan tengahnya ia tulis huruf A. Pilok itu beralih ke Adel, ia menyemprotkannya di punggung Ardan membentuk hati juga dan tengahnya ia bumbuhi tanda tangannya. Baju seragam SMA ini adalah salah satu bukti dari impian-impian mereka di masa mendatang. Baju ini juga yang akan menjadi pendamping mereka di kala impian itu menjadi nyata. Mimpi yang menjadi nyata. *** Siulan itu memenuhi seluruh isi rumah. Seragam yang sudah dipenuhi coretan berwarna, dengan dua kancing teratas dibuka pemandangan yang pertama kali dilihat oleh orang yang ada di rumah itu. "Cie, yang udah lulus." Ardan membuka kulkas ketika ucapan itu terlontar. Ia melirik pembantu sekaligus pengasuhnya sejak kecil dan melemparkan senyuman. "Belum lulus tau, Bi." Pandangannya kembali fokus ke isi kulkas untuk mengambil minuman dingin di sana. "Iya, toh? Belum lulus? Masih ngulang setahun lagi?" Gerakannya yang ingin menyeruput minuman terhenti. Ia terkekeh singkat. "Ya, nggak juga lah, Bi. Ini itu semacam ritual selesai mengerjakan UN. Dan yang pasti, lulus SMA itu udah suatu keyakinan mutlak bagi kami ini." Ardan lalu menandaskan isi minuman itu. Terlihat Bi Imas mengernyit tak begitu paham dengan ucapan pemuda di depannya. Atau dengan pola pikir anak sekolah? "Oh, ya wes lah kalo gitu. Tadi Den Ardan dipanggil Bapak ke ruang kerjanya." "Oh, Papa udah pulang?" Ardan segera berlari ke lantai atas. Ucapannya barusan memang tak perlu dijawab. Ia tidak langsung ke ruang kerja sang ayah, lebih memilih kamarnya untuk merapikan diri. Seusai mandi dan berganti pakaian ia langsung menuju ruang ayahnya. Ketika memasuki ruang itu suasana kantor sangat dominan dirasa. Dinding bercat merah marun dengan rak buku di sisi kanan dan kiri. Satu meja besar berbahan kayu jati berada di dalamnya. Ardan berdehem kala ia melihat seseorang yang berada di kursi depan meja itu tengah asyiknya membaca sesuatu di map. Papanya mengangkat kepala senyum singkat terukir kala melihat sosok anak laki-lakinya sudah berdiri di ambang pintu. Ardan mengetuk pintu dan menanyakan, "Apa saya boleh masuk?" Ia seperti sedikit menyindir peristiwa waktu itu. Bukannya marah justru sang ayah tertawa. Pria paruh baya itu beranjak dari kursi kebesarannya dan melambaikan tangan tanda menyuruh anaknya masuk. "Ada apa?" tanya Ardan to the point. "Harusnya Papa nggak kaget melihat sikap frontal kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN