Real or Not

1030 Kata
Hari pertama ujian nasional, hari dengan mata pelajaran bahasa indonesia itu adalah hari yang paling membuat para siswa kelas 12 diserang rasa gugup. Meskipun demikian hari ini semua siswa dapat menjalankan ujiannya dengan lancar. Sepulang sekolah tak seperti biasanya, siswa dilarang berada dalam lingkungan sekolah yang artinya harus langsung pulang. Kegiatan ekstrakulikuler pun ditiadakan. "Gimana ujiannya?" kata Adel kala ia menaiki boncengan motor Ardan. "Biasa aja." Ardan menjalankan motornya keluar dari parkiran sekolah. "Rada deg-degan, sih." Adel tertawa renyah. "Biasa atau deg-degan?" "Dua-duanya, deh." Adel mengangguk dan tersenyum. Kedua tangannya ia lingkarkan di pinggang Ardan. "Sebentar lagi kita udah mau lulus," gumam Adel. Sedangkan Ardan hanya melirik dari kaca spion. *** Sesampainya di rumah Adel harus kembali keluar lagi dikarenakan Bunda yang menyuruhnya ke supermarket. Ia harus membeli beberapa stok di dapur yang sudah habis. Hari ini langit cukup cerah, bagaikan mewakili perasaannya saat ini. Belum sempat ia sampai di supermarket di kejauhan ia melihat sesosok laki-laki yang sangat ia kenal terjatuh dari motor. Jantung Adel berdebar kencang, ia berlari menghampiri kecelakaan itu. Orang itu meringis sakit, semua orang yang berada di sana membantu membawa motor itu menepi dan memapah cowo itu ke pinggir jalan. Adel berusaha menerobos kerumunan orang untuk melihat secara jelas keadaan laki-laki itu. Dengan napas yang tersengal-sengal karena habis berlari, Adel perhatikan kondisi orang di depannya. Terdapat beberapa luka di bagian kaki dan tangan. Ternyata bukan kecelakaan yang parah, tanpa ia sadari Adel mengembuskan napas lega. Kerumunan orang pun perlahan-lahan membubarkan diri. Apalagi karena sang korban yang menolak di antar ke rumah sakit dan mengatakan dirinya tak apa-apa. Adel berjongkok keberadaannya belum disadari orang itu. "Kenapa nggak mau dibawa mereka ke rumah sakit?" Laki-laki itu mendongak, dahinya mengerut lalu mengendur kala melihat jelas siapa cewe di depannya. "Adel?" "Kalo nggak mau dibawa ke rumah sakit ya udah tapi aku tetep bakalan ngobatin kamu." Adel beranjak hendak membeli obat merah dan kapas di warung yang terletak di sebrang jalan. Orang itu tak bereaksi apa-apa ia berusaha berdiri dan menaiki kembali motornya dengan susah payah karena nyeri di kaki dan tangannya. Ia menyumpah serapahi dirinya sendiri karena tak konsentrasi tadi. "Dion! Kamu mau ke mana?" Adel berlari menghampiri Dion yang hendak menyalakan motornya. Dion tak menghiraukan seruan Adel. Adel menghentikan pergerakan tangannya dan dengan sigap ia mematika kembali motor itu. Dilepasnya kunci motor itu lalu ia genggam. "Luka kamu diobatin dulu." "Balikin." Adel menggeleng. "Kenapa nggak mau diobatin, sih?" "Gue bilang balikin, Del!" teriak Dion. "Kenapa?!" Adel membalas dengan teriakan juga. Napasnya menderu ia sudah berlari tadi dan kini emosinya dipermainkan. "Karena gue, nggak mau deket sama lo." Adel menggeleng tak percaya. "Anggap aja ini balas budi aku karena sebelumnya kamu udah nolongin aku." "Dan gue nyesel udah nolongin lo." "Dion mulai sekarang, aku nggak bakal takut lagi sama sikap dingin kamu. Aku bakalan ngelawan itu." Setelah itu Adel mengambil tangan Dion yang terluka. "Gue bilang enggak." "Kasih alesan yang jelas dan aku nggak akan maksa." Dion terdiam. Pancaran mata Adel tajam menusuk tepat di iris gelap Dion. Adel kembali mengalihkan pandangannya pada tangan terluka Dion. "Kalo lo maksa, gue juga bisa." Adel mendongak belum sempat ia mencerna maksud ucapan cowo di depannya. Dion sudah memegang tengkuk Adel, menarik wajah cewe itu lalu ia langsung menyambar bibir tipis itu. Adel terpaku dengan tindakan Dion, ia terdiam sesaat kesadarannya entah ke mana. Setelah beberapa detik ia menyadarinya, Adel memberontak melepas pagutan itu. "Alesannya karena gue suka sama lo." Dion menarik tangan Adel, cewe itu kembali memberontak minta dilepaskan. Namun, ternyata Dion hanyalah ingin mengambil kunci yang diambil oleh Adel tadi. Dion menyalakan motornya itu, lalu pergi meninggalkan Adel yang kini tengah merasakan deja vu. Jika sebelumnya Dion memeluknya kini cowo itu berhasil merampas ciuman pertamanya. Saat itu juga, Adel merasa telah mengkhianati Ardan. Adel menengok ke arah motor Dion melaju. Ia menyesal karena sudah sempat khawatir dengan cowo itu tadi. Ia menyesal karena bersikeras menolong cowo itu. Detik itu juga ia merasa tak pernah ingin bertemu Dion. Mungkin saat ini Adel membenci cowo itu. *** Emosinya berada dalam satu titik, tangannya mengepal, raut wajahnya mengeras. Napasnya menderu karena emosi itu. Rasanya ia ingin memukul sesuatu untuk meluapkan semua emosinya. "Del, jadi nggak?" Deg! Saat itu juga, bagai tertarik dalam dimensi lain, dimensi di mana memang seharusnya ia berada. Adel mengerjap, raut wajahnya seketika berubah. Kepalan tangannya pun mengendur perlahan. "Kalo lo emang maksa ya udah, tapi cepet, gue harus buru-buru pergi." Dengan perlahan ia menggerakan wajahnya kembali lurus ke depan. Matanya membelalak kala ia melihat laki-laki itu masih berada tepat di depannya. Seperti orang linglung ia menoleh ke kanan dan ke kiri, orang berlalu begitu saja, tidak ada satu pun yang memerhatikan mereka. Adel menelan salivanya susah payah, apa yang sudah ia pikirkan. Adel menunduk dalam-dalam, ia takut cowo di depannya ini dapat mengetahui apa yang ia sudah pikirkan barusan. Terdengar helaan napas kasar dari cowo itu. "Gue lagi banyak pikiran, sorry tadi gue ngaco." Dengan cepat Adel menaikkan wajahnya menghadap Dion. "Ap-apa?" gugup ia bertanya. "Yang gue bilang nyesel udah nolong lo. Gue nggak maksud ngomong gitu. Maaf kalo lo tersinggung." "Oh! Enggak-enggak! Aku nggak tersinggung kok," tukas Adel. Ia pikir pernyataan suka laki-laki itu sungguhan dan dia meminta maaf. Ternyata hal itu memang hanya bayangannya saja. Dengan sigap Adel membersihkan luka di tangan Dion. Setelah itu Dion mengucapkan terima kasih dan mulai menyalakan mesin motornya. Sebelum menggas ia kembali bertanya. "Lo nggak pa-pa 'kan?" "Hah?" "Enggak, gue cuma kaget aja. Baru kali ini gue liat lo bisa ngebentak orang." Setelah mengatakan itu Dion baru menggas motornya. Pergi meninggalkan Adel yang masih bergeming sebab pikirannya yang melayang. Adel buru-buru berbalik dan setengah berlari menuju supermarket. Ia mengetuk-ngetuk kepalanya. Apa ini faktor ia yang sedang PMS? Entahlah. Kejadian tadi sangat aneh, mengapa ia sempat berpikir setelah ia mengatakan kalimat keras seperti itu Dion akan mengatakan sesuatu yang selama ini ia pikirkan. Adel bukannya kegeeran atau bagaimana, tetapi ia memang terkadang berpikir kalau ada sesuatu yang disembunyikan Dion. Adel cukup sadar dengan tingkah Dion yang menurutnya aneh. Apalagi kejadian di parkiran sekolah tempo lalu. Jadi, Adel belakangan ini selalu was-was kalau berada di dekat Dion apalagi kini ia sudah berpacaran dengan Ardan. Bisa-bisa usahanya mengakurkan dua orang itu bisa percuma.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN