Makrab

1005 Kata
Ardan memerhatikan meja besar itu. Tidak ada yang aneh di sana. Berapa berkas yang berantakan, laptop serta sebuah piguran. Ardan mengerutkan dahinya. Setidakpedulikah itu ia selama ini, sehingga benda itu berada terpajang di ruangan ini pun ia tidak mengetahuinya. Piguran yang ia lihat adalah sepasang anak kembar yang sedang tersenyum lebar dengan dikelilingi berbagai mainan dan alat menggambar. "Kenapa ada ini?" Papa menepuk pelan bahu sang anak. Mengambil alih bingkai foto yang tengah dipegang Ardan. "Ini ruangan Papa. Hak Papa juga mau naruh apa aja di sini." Tangan Ardan mengepal. "Kalo gitu kita bicaranya nggak di sini." Baru saja ia hendak membalik badannya, Papa sudah mencengkal pergelangan tangannya. "Sampai kapan kamu akan begini?" Ardan bungkam, sorot matanya menyatakan kemarahannya saat ini. "Adik kamu nggak salah. Dia sakit. Begitu juga Ibu kamu." Papa menghirup napas dalam-dalam berusaha mengisi paru-parunya yang terasa kosong. "Semua salah Papa." "Terus?!" tandas Ardan. "Terus Pa! Terus aja Papa nyalahin diri Papa sendiri. Lalu Papa mulai berambisi lagi dan pada akhirnya Papa juga sama kayak mereka yang ninggalin Ardan gitu aja." "Pa, cukup tentang masa lalu. Saat ini dan seterusnya cuma ada kita, Pa." Sorot mata itu, tak hanya kemarahan di dalamnya terdapat pula luka. "Nggak Ardan! Nggak hanya kita berdua. Bahkan di sini." Papa menunjuk dadanya. "Adik kamu masih ada. Bahkan Ibu kam--" "Stop, Pa! Aku bingung sama pola pikir Papa." Ardan mengembuskan napasnya kasar. "Sudah dicampakkan tapi masih mikirin juga." "Mereka nggak nyampakin kita!" tandas Papa. "Nyawa adik kamu taruhannya. Hal yang sama yang akan kita lakukan kalo itu ada di posisi kamu. Dan apa kamu pikir kehidupan adik kamu jauh lebih bahagia. Kamu tidak ada Ibu dan dia tidak ada ayah di sampingnya. Kalian sama tersiksanya. Jadi, jangan membenci adikmu lagi. Jangan membenci dia karena kelemahannya, karena penyakitnya." Ardan tersentak dengan ucapan terakhir ayahnya. Napas yang sedari tadi menderu perlahan teratur. Papa melonggarkan cekalannya kala melihat anaknya sudah lebih tenang. "Papa udah ketemu mereka lagi." Kalimat itu, bak dihantam ombak dengan segala kebisingannya, kalimat yang selanjutnya diucapkan Papanya tak mampu ia dengar. "Dan kamu harus ketemu dengan mereka." *** "Princess, jangan sakit, ya. Nanti kita nggak bisa main sepeda lagi." "Princess, kalo udah gede mau jadi apa?" "Princess mau ke mana?! Jangan tinggalin Aku!" Teriakan, raungan, tangisan suara Ardan kecil kembali terngiang dalam mimpi Ardan malam itu. Ia terbangun, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Dari dulu bahkan hingga saat ini satu yang Ardan takuti. Ditinggalkan. Ia beranjak menuju dapur untuk mengambil air minum. Tenggorokannya terasa kering saat itu. Namun, sebelum niatnya terlaksana langkahnya terhenti di depan ruang kerja Papanya. Kali ini ia memaksa masuk tanpa adanya izin apa pun. Lalu tangannya terulur untuk mengambil bingkai foto. Menatapnya lamat-lamat, secercah perasaan menelusup ke hatinya. Iris cokelat itu memancarkan kerinduan dan sayang yang mendalam. Semakin diperhatikan foto itu mengingatkannya dengan seseorang. Buru-buru ia simpan foto itu dan langsung bergegas keluar dan langkahnya bukan lagi ke dapur, tetapi berbelok ke kamarnya. *** Tak terasa malam ini adalah malam penuh kenangan bagi anak-anak kelas 12 SMA Nusa Bangsa. Malam keakraban yang menjadi ritual tiap tahunnya. Acara ini tidak seperti acara prom nite pada umumnya, yang semuanya akan berpenampilan glamour. Seperti judulnya "Malam Keakraban", acara ini lebih mengedepankan keakraban dan kekompakan angkatan akhir yang akan berpisah itu. Bersama-sama mengulang kembali momen indah di SMA. Akan banyak acara yang diharapkan dapat lebih mengeratkan pertemanan di sekolah itu. Para siswa kini tengah sibuk mempersiapkan diri. Acara akan dimulai jam 5 sore. Ardan mengangkat pergelangan tangannya untuk melihat jam yang melingkar di sana. Ardan tersenyum kemudian bergumam, "It's time." Malam ini betapa indah dirasa. Sudah hampir dua jam Adel mematutkan penampilannya di depan cermin. Karena ini hanya malam keakraban yang mengusung tema kasual tidak seperti prom nite yang biasanya menggunakan pakaian formal seperti jas dan gaun. Maka dandanan yang digunakan Adel adalah dandanan natural dan segar. Ia hanya menggunakan lipstik merah muda, blush on, bedak, eye shadow berwarna senada dengan blush on. Ia berdandan menyesuaikan dengan pakaian yang dibelinya beberapa hari yang lalu. Ini pertama kali baginya memegang peralatan make up. Sebelum ini ia sudah mencobanya dengan didampingi bunda. Ternyata berdandan susah-susah gampang. Karena keamatirannya itu juga ia tidak berani menyentuh eye liner dan maskara. Bahkan menyentuh pensil alis pun ia tidak berani. Sentuhan terakhir ia menggunakan bandana polkadot pemberian Ardan serta menyemprotkan parfum di tubuhnya. Adel mengulum senyumnya kala melihat pantulan wajahnya di cermin. Lalu setelah menghela napas guna mengatasi kegugupannya ia bergegas mengambil tas selempangnya dan keluar dari kamar. "Gimana, Bun?" tanya Adel ketika mendapati Bundanya berada di ruang tamu. Bunda melihat riasan anaknya. "Not bad." Adel terkekeh dengan komentar singkat Bundanya. "Oke, nggak buruk, ya. Kalo gitu Adel pamit, ya." Bunda mengulum senyum dan mengangguk. "Hati-hati, ya." Adel lantas berjalan keluar rumah. Senyumnya mengembang kala melihat sedan hitam terpampang di depan gerbang rumahnya. "Hai," sapa Adel setelah memasuki sedan hitam itu. Namun, cowo itu tidak langsung menjalankan mobilnya. Ia mematung di tempat menatap wajah cewe itu. "Kenapa? Aneh, ya?" Ardan menggeleng, tetapi tak mengucapkan sepatah kata. "Iya, nih, aneh, buktinya diem." Baru saja Adel hendak menghapus riasannya kembali, tangan Ardan cepat-cepat menahannya. "Cantik kok, saking cantiknya jadi nggak tau mau ngomong apa." Semburat merah muncul di kedua pipi cewe itu. Untung saja ia memakai blush on, sehingga semburat itu tersamarkan. Mobil itu lalu jalan membelah ramainya jalan ibukota. *** Acara makrab dilaksanakan di lapangan terbuka SMA Nusa Bangsa. Adel merasa takjub dengan dekorasi panitia acara ini. Di kejauhan terlihat gerombolan teman Ardan yang sedang berjalan ke arah mereka. "Gila, bener-bener kapelan nih baju." Ardan melirik kepada Adel dan tersenyum miring. "Iyalah, 'kan punya kapelnya. Yang nggak punya nggak usah iri." "Sialan lo!" ucap Anto tak terima yang disusul tawa oleh teman-temannya yang lain. Tak lama suara mc acara itu menghentikan segala percakapan yang ada. Acara yang dimulai dengan kata sambutan kepala sekolah dilanjut dengan ketua panitia acara ini. Lalu selanjutnya acara yang akan diisi dengan beberapa siswa yang ingin tampil ke depan. Entah itu bernyanyi, memainkan musik, bahkan ada yang ber-stan up comedy. "Sana, Del, tampil main piano," kata Ardan sambil menyolek bahu cewe itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN